Hidayatullah.com-Dengan lebih dari 7.000 pria, wanita dan anak-anak di pusat penahanan imigran di seluruh Australia, negara itu memperoleh ketenaran karena kebijakan perbatasan ketatnya, yang telah dikecam karena melanggar hak asasi manusia internasional.
Di dalam pusat penahanan adalah para pengungsi dan imigran, yang melarikan diri dari seluruh dunia dengan harapan membangun kehidupan baru di Australia.
Meskipun begitu, bagi banyak orang, pusat penahanan Australia telah menjadi rumah untuk kehidupan yang tidak biasa mereka, dengan impian kebebasan mereka hancur oleh apa yang mereka katakan adalah penantian tanpa akhir.
Inilah dua kisah mereka dari tempat penahanan.
Pengungsi Suriah yang Dideportasi Libanon Langsung Ditangkap Rezim Assad
Said yang tak berwarganegara
28 Januari, 2010 di Bandara Internasional Melbourne
Said Imasi tiba di Bandara Internasional Melbourne dari Norwegia. Dia dikawal oleh polisi keluar dari terminal dan dibawa ke sebuah ruangan hotel untuk diinterogasi.
Lelaki berumur 21 tahun dicurigai memiliki paspor Norwegia curian. Tiga hari kemudian, petugas mengkonfirmasi dokumen tersebut palsu, dan Said langsung dikirim ke sebuah pusat penahanan.
Dijuluki pria tanpa kewarganegaraan, kasus Said jarang terjadi. Dia tidak mengetahui di mana dia dilahirkan dan memiliki lebih dari delapan nama berbeda.
Kroasia Klaim Pakai Kekerasan Hanya Sedikit untuk Hadapi Pengungsi
Di umur enam tahun, sebuah organisasi non-pemerintah menemukan Said ditelantarkan di Sahara Barat.
Organisasi sosial itu kemudian mengirimnya ke sebuah panti asuhan di kepulauan Las Palmas, Spanyol.
Dari situ dia berpindah dari satu panti asuhan ke panti asuhan lain di seluruh Eropa hingga, di umur 10, Said melarikan diri dari sebuah keluarga asuh yang kasar di Belgia.
Setelah melarikan diri, dia berada di jalanan selama berminggu-minggu, menumpang kereta dari satu negara ke negara lain.
“Pertama kalinya Saya merasakan cinta ketika berada di Belanda.” Sebagai anak kecil, sebuah geng narkoba mengadopsi Said.
“Mereka memberiku makanan dan pakaian. Mereka bahkan membelikanku sepatu. Saya tidak pernah punya sneakers sebelumnya.”
Said tanpa sadar menjadi kurir narkoba internasional dan dikirim untuk melakukan pengiriman lintas-perbatasan.
“Saya tidak pernah bertanya apa itu, Saya hanya akan mendengarkan dan melakukan apa yang mereka katakan padaku.”
Pada tahun 2004, Said tertangkap dan ditahan di Norwegia. Sementara dia berada di penjara anak, dia dikirim ke sebuah keluarga untuk dirawat oleh layanan perlindungan anak.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia bersekolah, mengembangkan minatnya di olah raga, bergabung dengan sebuah tim lari dan meninggalkan kejahatan.
“Saya bahagia dengan kehidupan saya hingga geng mulai menghubungiku lagi, mengancamku untuk kembali atau mereka akan melukaiku Saya harus melarikan diri.”
Menemukan Selandia Baru sebagai tujuannya, Said meminjam paspor dari temannya dan meninggalkan Norwegia pada 27 Januari 2010.
200 Ribu Pengungsi Rohingya Peringati Dua Tahun ‘Hari Pembersihan’ Muslim
Pukul 16.00 13 Februari, 2019, Mahkamah Agung Australia
Saat ini Said Imasi yang berumur 30 tahun berdiri di hadapan tujuh hakim di Mahkamah Agung Australia. Para pengacaranya berusaha untuk membatalkan undang-undang, yang memungkinkan penahanan tak terbatas terhadap mereka yang tidak memiliki jejak masa lalu.
Dikelilingi teman-teman yang dikenalnya di kelompok komunitas yang sering mengunjungi pusat penahanan, Said menutup wajahnya dengan kedua tangan ketika ketua MA menolak kasusnya.
Nasibnya masih tidak jelas. Dia masih ditahan di Pusat Penahanan Imigrasi Villawood di Sidney.
Ghader, seorang bapak yang direnggut
2009, Iran
Ghader memimpin sebuah protes di jalan menentang penindasan terhadap kelompok minoritasnya. Dia seorang Ahwazi dari Iran; etnis Arab yang sebagian besar tinggal di barat daya negara yang kaya sumber daya itu, di perbatasan Iraq.
Pidatonya menentang pemerintah membuatnya masuk daftar sasaran.
“Jika saya tinggal saya akan langsung dibunuh, seperti yang terjadi banyak orang seperti saya. Jika saya kembali saya akan dibunuh dan begitu juga keluarga saya, karena mereka berbohong demi melindungi saya ketika saya pergi. Mereka bahkan sudah membuatkan sertifikat kematian untuk saya.”
2010, Pulau Christmas
Sejumlah 88 pria, wanita dan anak-anak berhasil mencapai pantai Pulau Christmas, setelah melakukan perjalanan dari Indonesia berdesak-desakan di sebuah kapal berkarat tua. Ghader salah satu dari mereka.
“Saat itu saya senang, saya kira Australia adalah sebuah negara bebas,” Ghader mengatakan pada Al Jazeera.
Namun Ghader harus mendekam di tahanan selama dua tahun sementara status pengungsinya sedang diproses sebelum dia diberikan visa penghubung.
Meskipun visa itu tidak mengijinkannya bekerja, belajar, mendapat penghasilan atau mengakses layanan kesehatan publik, visa itu memberinya kebebasan untuk bertemu pasangan, menikah dan berkeluarga.
Di kota Melbourne, dia bertemu dengan istrinya.
“Kami memiliki kehidupan yang baik, kami sangat bahagia.”
2015, Melbourne
Delapan bulan sebelum Ghader menjadi ayah, dia mendapat panggilan dari imigrasi dan diberitahu bahwa visanya dibatalkan, karena dia tidak memenuhi persyaratan untuk status pengungsi.
Pengungsi Rohingya Tolak Kesaksian Aung San Suu Kyi bahwa ‘Tidak Ada Genosida’
Dia dikirim kembali ke pusat penahanan.
Ghader menggendong erat bayinya yang baru lahir, Aisha, di tangannya.
“Saya meminta mereka untuk membawa saya ke rumah sakit sehingga saya bisa ada di sana ketika dia lahir, tetapi mereka tidak memperbolehkan. Mereka mengatakan mereka menolak karena alasan keamanan.”
Beberapa hari kemudian, penjaga menerobos sel Ghader, memintanya untuk mengemas barang-barang. Dengan tangan terborgol dia dibawa dengan sebuah van, dia tetap diam, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Dia kemudian tahu dia diterbangkan kembali ke Pulau Christmas.
“Saya memohon pada mereka untuk tidak membawaku karena putriku berada di Melbourne, dan aku tidak mungkin dapat menemuinya di Pulau Christmas.”
2017, Pulau Christmas
Setelah beberapa upaya pengadilan gagal, Ghader menerima surat dengan ultimatum dari Menteri Imigrasi saat itu Peter Dutton. Dia diberi dua pilihan: kembali ke Iran atau tetap berada di penahanan tanpa batas waktu di Australia.
“Inilah yang memulai menciptakan masalah antara saya dan istri saya. Dia kehilangan harapan, dia tidak tahu apakah dia akan melihatku lagi.”
Pada tahun itu, Istri Ghader mengajukan gugatan cerai.
“Saya berkali meminta mereka untuk mengirimku ke Melbourne sehingga saya bisa dekat dengan putri saya, tetapi mereka malah mengirim saya ke Villawood.”
Ngeri Xenofobia, Pengungsi Asing Minta Perlindungan PBB di Afsel
Ghader ditahan di fasilitas Sydney selama dua tahun dan saat ini ditahan di kompleks penahanan Blaxland berkeamanan maksimum, ditemani para kriminal. Ghader adalah satu-satunya tahanan di kompleks itu yang tidak memiliki catatan kriminal.
“Mereka memperlakukan saya seperti saya adalah penjahat. Mereka menilai saya begitu karena saya berjanggut dan saya sholat. Ketika saya pertama kali tiba, saya tidak makan hampir selama satu bulan karena setiap mereka akan memberi saya babi. Saya mengatakan pada mereka setiap hari, saya tidak memakan babi karena agama saya, namun mereka tetap melakukan itu.”
Al Jazeera menghubungi menteri Dalam Negeri untuk menanyakan tuduhan Ghader dan mengapa undang-undang ketat seperti itu ada. Pernyataan dari kementrian mengatakan setiap kasus dinilai berdasarkan cirinya sendiri, sementara menolak untuk mengomentari kasus-kasus spesifik yang diselidiki Al Jazeera.
Terakhir kali Ghader melihat putrinya hampir lima tahun yang lalu ketika Aisha baru berusia beberapa bulan. Dia belum pernah mendengarnya berbicara atau melihatnya berjalan, dan tidak akan berada di sana untuk menggenggam tangan Aisha pada hari pertama sekolahnya tahun depan.
Tahun 2020 akan menandai 10 tahun penahanan Said dan Ghader. Setelah beberapa upaya untuk suaka di Australia gagal, sekarang yang mereka inginkan hanyalah kebebasan, di manapun mereka temukan.
“Saya berharap mereka akan mengirimku ke negara lain, negara manapun, tetapi mereka mengatakan tidak. Mereka hanya ingin mengirimku ke Iran tetapi jika saya pergi, saya tahu saya akan digantung. Pesan saya kepada para aktivis HAM adalah jika kalian benar-benar ada, bertindaklah,” kata Ghader.*