Hidayatullah.com–Di dalam pemukiman Shajaiya di bagian timur kota Gaza, Masjid Al-Thafar Damri membuktikan sejarah peradaban Islam yang prestisius selama periode Dinasti Mamluk. Masjid dengan dekorasi bagian depan dan halamannya menampilkan ayat-ayat Al-Quran dan dihiasi dengan dekorasi yang diukir di batu pasir dan lengkungan runcing.
Pemukiman Shajaiya dinamai dari Shuja al-Din al-Kurdi, seorang amir Ayyubiyah yang terbunuh dalam salah satu pertempuran antara Ayyubiyah dan Tentara Salib pada 1239 Masehi. Pemukiman ini dibangun pada era Ayyubiyah yang membentang sepanjang 14.305 hektar dan dihuni oleh lebih dari 110.000 orang.
Sebagian besar penduduknya bekerja di industri ringan seperti produksi pakaian dan pertanian. Pemukiman ini menyaksikan periode paling makmur selama era Mamluk.
“Masjid ini dinamai menurut pendirinya, Pangeran Mamluk Shihab al-Din Ahmad bin Azafir al-Thafer Damri dari Thafer Damar di negara-negara Maghreb. Dibangun pada 1360 M dan dianggap sebagai salah satu monumen Islam dan arkeologi tertua dan terpenting di Jalur Gaza,” kata Kamal Al-Afghani, imam Masjid Al-Thafar Damri, mengatakan kepada Al-Monitor.
Baca: Di Mana Bisa Kita Temukan Khalifah al-Mu’tashim di Zaman Ini?
Ia menambahkan, “Masjid terdiri dari dua bagian, satu modern dan satu kuno. Terdiri dari tiga iwan [aula persegi panjang] yang menghadap ke ruang sholat utama, dipisahkan oleh lengkungan runcing yang dipasang di dinding, ciri khas arsitektur Islam yang terkenal. Lengkungannya dihiasi ornamen berukir batu pasir, sedangkan jendelanya berbentuk busur tapal kuda. Setiap jendela dipisahkan dengan pintu gerbang yang memungkinkan masuknya jamaah ke ruang sholat utama. Luas masjid diperkirakan lebih dari 600 meter persegi dan dapat menampung hampir 800 jamaah.”
Afghani mencatat bahwa tebal dinding masjid lebih dari 80 sentimeter, sesuai dengan arsitektur yang berlaku selama periode Mamluk. “Masjid tersebut memiliki perpustakaan kecil dengan lebih dari 200 buku, sebuah tempat untuk menghafal Al-Quran dan ruang sholat bagi wanita, selain sebuah ruangan yang berisi makam Pangeran Al-Thafer Damri.”
Dia berkata, delapan puluh persen masjid hancur selama serangan ‘Israel’ di Jalur Gaza pada musim panas 2014. “Bagian modern dari masjid, yang dibangun pada tahun 2010, dihancurkan selama perang, katanya, yang telah direnovasi pada 2015 dengan sumbangan dari para relawan, termasuk perpustakaan, menara, beberapa tiang dan dua tiang yang dibangun dari lumpur dan batu yang terletak di sisi barat masjid,” katanya.
Pekerjaan renovasi mencoba untuk melestarikan detil arsitektur yang tepat dari era Mamluk kuno, jelas Afghani. Menurut panduan arkeologi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pariwisata dan Purbakala pada tahun 2013 yang mencatat situs-situs semacam itu di wilayah pesisir pantai, Gaza adalah rumah bagi 39 bangunan dan situs arkeologi, termasuk masjid, gereja, istana, tempat suci, dan rumah kuno.
Jamal Abu Raida, direktur barang antik dan warisan budaya di Kementerian Pariwisata dan Purbakala di Gaza, mengatakan kepada Al-Monitor, “Masjid Al-Thafr Damri, yang secara lokal dikenal sebagai Qazmari, adalah salah satu monumen Islam dan arkeologi terpenting di Lingkungan Shajaiya pada khususnya dan Jalur Gaza pada umumnya. Ini menandai era Mamluk di Palestina.”
Dia mencatat, “Orang Mamluk di Palestina sangat tertarik untuk membangun masjid, sekolah, istana, pemandian, dan penginapan bagi para pelancong. Mereka juga membangun caravanserai di jalan untuk melayani karavan komersial, sambil memastikan untuk melestarikan karakteristik Islam di kota-kota Arab. Arsitektur pada masa itu memiliki tanda-tanda dari periode Mamluk, saat Tatar dan Tentara Salib dikalahkan.”
Baca: Dua Masjid ‘Umari di Gaza, Dua Sejarah Hebat
Abu Raida mengatakan ‘Israel’ tidak hanya menargetkan Masjid Al-Thafer Damri selama perang tahun 2014 di Gaza tetapi juga menghancurkan masjid lain, seperti Masjid Mahkamah, yang juga dibangun pada era Mamluk. “Operasi pemboman Israel juga merusak situs arkeologi lainnya, seperti gereja Bizantium di Jabalia di Jalur Gaza utara. Mereka juga menghancurkan tembok timur Gereja Katolik Roma Saint Porphyrius di Kota Gaza dan menyebabkan retakan pada struktur Biara Al-Khader di Deir al-Balah di Gaza tengah. Serangan ini dimaksudkan untuk mendistorsi fakta sejarah dan menghancurkan peradaban Palestina.”
Abu Raida menambahkan bahwa kementerian pariwisata dan barang antik serta wakaf telah menyusun rencana untuk merestorasi Masjid Al-Thafer Damri. Menurut Kementerian Pariwisata Gaza, sektor arkeologi dan pariwisata Gaza menderita kerugian besar sebagai akibat dari serangan ‘Israel’ yang langsung dan disengaja terhadap fasilitas pariwisata dan situs serta bangunan arkeologi selama perang di wilayah yang diblokade itu.
Dalam pernyataan pada tahun 2014, kementerian Palestina menunjukkan bahwa sektor barang antik mengalami kerugian yang diperkirakan mencapai 850.000 AS Dolar atau 11,9 miliar Rupiah. Sejarawan dan peneliti Palestina Salim al-Moubayed mengatakan kepada Al-Monitor, “Jalur Gaza adalah rumah bagi beberapa situs dan monumen arkeologi dan sejarah, dengan lokasinya yang strategis sebagai gerbang utara ke Asia dan gerbang selatan ke Afrika. Daerah kantong itu adalah tempat singgah bagi orang Romawi, Bizantium, dan Tentara Salib… menuju selatan keMesir dan Semenanjung Sinai.”
Baca: Sang Penjaga Terakhir Masjid Al-Aqsha
Menurut Moubayed, Gaza memiliki sejarah kuno yang terkenal. Penyair dan sejarawan Mamluk Khalil Ben Shaheen Zaher menyebutnya ‘ruang depan Raja’. Napoleon Bonaparte menganggapnya sebagai pintu gerbang ke Asia dan garnisun Afrika, dan orang Arab menyebutnya ‘Hasyim Gaza’ mengacu pada makam Hashim ibn Abd al- Manaf, kakek buyut Nabi Muhammad.
“Jalur Gaza adalah tempat terjadinya beberapa pertempuran selama periode Babilonia, Asiria, dan Firaun,” kata Moubayed.
Dia mencatat bahwa lingkungan Shajaiya mencakup beberapa masjid kuno, seperti Masjid Othman Bin Affan dan Masjid Mahkamah. “Shajaiya juga merupakan wilayah di mana bukit Al-Montar berada, yang naik lebih dari 85 meter di atas permukaan laut. Bukit itu adalah tempat pasukan Napoleon ditempatkan serta pasukan Turki dan sejumlah tentara Arab.”
Moubayed menjelaskan, “Ada banyak harta sejarah dan arkeologi di Jalur Gaza, khususnya di daerah yang dikenal sebagai Gaza Lama yang membentang dari Masjid Shamaa di selatan hingga Masjid Al-Sayed Hashim di utara dan dari pemakaman Sheikh Shaaban di di sebelah barat hingga pemakaman Shajaiya di sebelah timur, semua bukti bahwa kota itu dibangun di atas reruntuhan masjid dan gereja kuno yang berusia ribuan tahun.*