Hidayatullah.com — Taliban telah meminta Kongres Amerika Serikat untuk membebaskan aset Afghanistan yang dibekukan setelah pengambilalihan pihaknya atas negara itu pada Agustus lalu, Al Jazeera melansir pada Rabu (17/11/2021).
Dalam sebuah surat terbuka pada hari Rabu, Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi mengatakan tantangan terbesar yang dihadapi Afghanistan adalah ketidakamanan keuangan, “dan akar dari kekhawatiran ini mengarah kembali ke pembekuan aset rakyat kita oleh pemerintah Amerika”.
“Saya meminta … agar pintu untuk hubungan di masa depan dibuka, aset Bank Sentral Afghanistan dicairkan dan sanksi terhadap bank kami dicabut,” tulisnya, sambil memperingatkan gejolak ekonomi di dalam negeri dapat menyebabkan masalah di luar negeri, mendorong migrasi massal yang “akibatnya akan menciptakan masalah kemanusiaan dan ekonomi lebih lanjut”.
Washington telah menyita hampir $9,5 miliar aset milik bank sentral Afghanistan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan. Pada bulan Oktober, Wakil Menteri Keuangan Amerika Serikat Wally Adeyemo mengatakan kepada komite Senat AS bahwa dia tidak melihat situasi di mana Taliban akan diizinkan untuk mengakses cadangan bank sentral Afghanistan.
Sementara itu, ekonomi Afghanistan yang bergantung pada bantuan secara efektif telah runtuh. Negara itu tidak mampu membayar pegawai negeri selama berbulan-bulan serta tidak mampu membayar impor.
Negara-negara yang peduli telah menjanjikan bantuan ratusan juta dolar, namun banyak yang enggan memberikan dana tersebut kecuali Taliban menjanjikan pemerintahan yang lebih inklusif dan menjamin hak perempuan serta minoritas.
“Saya menyampaikan pujian kami kepada Anda dan ingin berbagi beberapa pemikiran tentang hubungan bilateral kami,” tulis Muttaqi, mencatat bahwa 2021 adalah seratus tahun Washington mengakui kemerdekaan Afghanistan.
“Seperti negara-negara dunia lain, hubungan bilateral kita juga mengalami pasang surut,” tambahnya.
Taliban Bentuk Pengadilan Militer untuk Menegakkan Hukum Islam di Afghanistan
Hingga saat ini, Washington belum mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah di Afghanistan. Meskipun pekan lalu pemerintahan Presiden Joe Biden mengumumkan bahwa Qatar akan menjadi perwakilan diplomatiknya di negara tersebut.
‘Pahami kekhawatiran’
Dalam surat itu, Muttaqi berpendapat bahwa Afghanistan menikmati pemerintahan yang stabil untuk pertama kalinya dalam lebih dari 40 tahun. Periode yang dimulai dengan invasi oleh Uni Soviet pada 1979 dan berakhir dengan penarikan pasukan AS pada 31 Agustus.
Taliban sebelumnya memerintah Afghanistan dari tahun 1996 hingga 2001, memberlakukan kebijakan brutal yang melanggar hak asasi manusia. Kebijakan yang terutama berdampak kepada perempuan dan anak perempuan. Kembalinya mereka ke kekuasaan telah memicu kekhawatiran tentang hak asasi manusia.
Sejak mengambil alih kekuasaan, para pemimpin kelompok tersebut telah berusaha untuk meyakinkan masyarakat internasional bahwa mereka berniat untuk melakukan hal-hal yang berbeda kali ini. Meskipun keputusan mereka untuk tidak menunjuk menteri perempuan sejauh ini dan sebagian besar melarang anak perempuan kembali ke sekolah menengah, sedikit untuk mengurangi kekhawatiran.
“Langkah-langkah praktis telah diambil menuju pemerintahan yang baik, keamanan dan transparansi,” tulis Muttaqi.
“Tidak ada ancaman yang diarahkan ke kawasan atau dunia dari Afghanistan dan jalan dipersiapkan untuk kerja sama positif.”
Muttaqi mengatakan warga Afghanistan “memahami keprihatinan masyarakat internasional”, tetapi semua pihak perlu mengambil langkah positif untuk membangun kepercayaan.
Dia memperingatkan, AS berisiko lebih merusak reputasinya di negara itu “dan ini akan menjadi kenangan terburuk yang mendarah daging di Afghanistan di tangan Amerika”.
“Kami berharap para anggota Kongres Amerika akan berpikir matang dalam hal ini,” tutupnya.*