Arus globalisasi perdagangan hewan ternak dunia, akibat perdagangan bebas berdampak pada Indonesia
Hidayatullah.com | PENYAKIT mulut dan kuku (PMK) saat ini, menjadi hal yang sangat menakutkan bagi sebagian besar kalangan petani peternak. Sebab PMK yang disebabkan oleh virus bisa membuat kematian massal bagi ternak hingga bisa menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi para peternak.
Apalagi mendekati Hari Raya Idul Adha, dimana harga hewan ternak kambing dan sapi mengalami peningkatan seiring meningkatnya permintaan pasar.
Terbayang sudah kerugian luar biasa jika ternak sapi dan sejenisnya, jika sampai terkena penyakit PMK ini. Pasti ratusan juta rupiah lebih.
Akhirnya, untuk mengantisipasi kerugian yang diderita para petani peternak, pemerintah melalui Menko perekonomian, berinisiatif menggulirkan dana bagi seekor hewan yang dimusnahkan ataupun dimatikan paksa. Pemerintah akan menyiapkan ganti rugi.
Terutama untuk peternak UMKM sebesar Rp 10 juta per sapi. Seperti yang disebutkan oleh Airlangga Hartarto, sebagai Menko Perekonomian saat ini, seperti dilansir laman Bisnis.com, Juni 2022.
Penyakit PMK yang menyebar luas saat ini disebutkan oleh para pakar peternakan, disinyalir akibat tertular dari hewan ternak yang berasal dari hewan impor, yang kerannya dibuka bebas masuk kedalam negeri. Dan hal ini menyebabkan status indonesia sebagai negara yang bebas dari penyakit PMK dicabut dan ditangguhkan oleh Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE).
Akhirnya menjadi kerugian yang cukup besar yang hari ini harus dtanggung negara. Sudahlah hewan ternak dalam negeri tertular penyakit PMK dari luar, negara pun harus menanggung biaya pemulihan bagi para petani peternak yang hewannya mati tertular oleh penyakit PMK ini.
Karenanya untuk menghentikan penularan dan penyebaran penyakit PMK ini, semestinya dan selayaknya melakukan langkah-langkah yang bersifat pencegahan dan penanggulangan manakala penyakit ini telah kadung menular secara masif, antara lain :
Memisahkan hewan ternak yang tertular dan hewan ternak yang masih sehat atau yang diduga tertular.
Melakukan vaksinasi bagi hewan yang masih sehat.
Mengobati hewan ternak yang diduga tertular dan sudah kadung tertular penyakit PMK dan mengisolasinya, dengan isolasi kawasan yang ketat.
Melakukan pembersihan kawasan bagi ternak yang tertular penyakit PMK dengan metode dan teknik yang tidak memungkinkan bagi virus tersebut untuk menularkannya kembali kepada yang lain. Dengan membakarnya atau sejenisnya yang bisa membuat mati virus PMK.
Menghentikan keran impor hewan ternak dari luar negeri kedalam negeri, untuk sementara waktu, dan kembali membukanya apabila kondisi peternakan dunia telah bebas PMK.
Melakukan skrining dan pemantauan yang ketat atas kedatangan hewan ternak impor dari luar negeri. Hewan sehat diperbolehkan masuk, sedangkan yang diduga berpenyakit tidak diperkenankan masuk.
Memanfaatkan dan mencukupkan kebutuhan hewan ternak dalam negeri dari produksi dalam negeri, dan jikapun harus mengimpornya haruslah dengan prosedur kesehatan yang ketat atas hewan ternak yang akan diimport.
Demikianlah hal yang bisa dilakukan. Selain juga, harus ada keberanian untuk memilah produk luar yang akan masuk kedalam negeri, hingga sampai pada hewan ternak sekalipun.
Walaupun arus globalisasi perdagangan hewan ternak dunia, sulit untuk dihindari, sebagai konsekuensi dari perdagangan bebas yang hari ini arusnya menyeret masuk seluruh negara didunia. Tidak terkecuali Indonesia.
Sebuah arus yang hanya bisa dihadang dengan kekuatan besar kemandirian bangsa. Yang bisa dimulai dengan melakukan kemandirian pangan, kemandirian ekonomi hingga kemandirian politik. Tidak tergantung pada produk impor, dan tidak tunduk pada hegemoni negara luar dengan segala macam bentuknya.
Walaupun pada tataran fakta, Indonesia adalah negara satelit dari negara besar saat ini, dimana semua kebijakan yang dikeluarkannya akan diselaraskan dengan poros putaran, yaitu negara adidaya. Termasuk dalam kebijakan terkait dengan kebijakan ekspor-impor hewan ternak, pasti akan disesuaikan dengan standar dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh organisasi perdagangan dunia (WTO) dibawah pimpinan Amerika (AS).
Termasuk ekspor-impor segala hal yang terkait dengan hewan ternak, semisal kebutuhan vaksin, obat, pakan dan yang sejenisnya yang terkait dengan kebutuhan hewan ternak.
Sehingga sebab posisinya sebagai negara satelit atas negara-negara besar dunia, Indonesia lebih banyak berperan sebagai tujuan pasar dunia yang menggiurkan, dengan jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang sangat luas. Sehingga tidak mengherankan jika Indonesia harus membuka keran impor yang seluas-luasnya bagi produk-produk hasil perdagangan dunia.
Walaupun produk perdagangan dunia tersebut mampu dan bisa diproduksi didalam negeri sendiri, seperti produk pertanian-peternakan.
Ditambah lagi pola pengelolaan negeri yang sangat kapitalistik, sehingga negara hampir tidak memiliki daya dan kekuatan untuk menolak kedatangan barang impor yang membanjiri pasar dalam negeri dan keluar dari posisinya sebagai negara satelit. Negara dibuat miskin, sebab sumber-sumber kekayaaan milik negara untuk mandiri, telah dikuasai oleh para kapitalis.
Maka tak ada pilihan lain, selain dengan merubah pola pengelolaan negeri, dengan pola pengelolaan yang bisa mengantarkan negeri pada kemandirian, tidak kapitalistik dan manusiawi. Sehingga bisa memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri semisal hewan ternak yang sehat, vaksin dan obat-obatan yang diperlukan untuk menjaga kesehatan hewan ternak, hingga pakan yang baik yang bisa membentuk hewan ternak menjadi hewan ternak yang sehat dan montok, yang bisa digunakan untuk konsumsi harian masyarakat dalam negeri bahkan cukup untuk memenuhi kebutuhan permintaan ekstra hewan Qurban, jelang Idul Adha. Wallahualam.*/Ayu Mela Yulianti