Hidayatullah.com– Sudan menyeret nama Uni Emirat Arab (UEA) dalam persidangan perselisihan terkait genosida Darfur di International Court of Justice di Den Haag, Belanda.
Dalam persidangan hari Kamis (10/4/2025), pihak pemerintah Khartoum mengatakan UEA punya andil dalam pembantaian komunitas Masalit di Darfur lewat dukungan yang diberikannya kepada Rapid Support Forces (RSF), kelompok paramiliter yang memerangi tentara pemerintah Sudan sejak 2023.
Dalam pembukaan kasus itu, Muawia Osman, penjabat sementara menteri kehakiman Sudan, mengatakan kepada ICJ bahwa “genosida yang sedang berlangsung tidak mungkin terjadi tanpa keterlibatan UEA, termasuk pengiriman senjata ke RSF”.
“Dukungan logistik langsung dan dukungan lainnya yang diberikan dan terus diberikan UEA kepada RSF menjadi kekuatan pendorong utama di balik genosida yang sedang terjadi saat ini, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, pengusiran paksa dan penjarahan,” papar Osman, seperti dilansir AFP.
Sudan menginginkan para hakim di ICJ untuk UEA menghentikan dukungannya terhadap RSF dan melakukan “perbaikan sepenuhnya”, termasuk memberikan kompensasi kepada para korban perang.
UEA membantah tudingan bahwa pihaknya menyokong para pemberontak dan menilai tuduhan yang dilayangkan Sudan sebagai “sandiwara politik” dengan maksud mengelak dari upaya penghentian perang saudara yang telah merenggut puluhan ribu nyawa itu.
Reem Ketait, seorang pejabat tinggi UEA, menggambarkan tudingan Sudan tersebut sebagai “penyalahgunaan secara terang-terangan sebuah institusi internasional yang dihormati” dan “sepenuhnya tanpa dasar hukum atau fakta”.
“Apa yang dibutuhkan Sudan sekarang bukanlah sandiwara politik, melainkan gencatan senjata yang mendesak dan segera serta komitmen serius dari kedua pihak yang bertikai untuk merundingkan resolusi damai,” kata Ketait dalam sebuah pernyataan.
Tuduhan Sudan itu dikemukakan sehari setelah Arab Saudi dan Amerika Serikat menyeru tentara Sudan dan RSF untuk kembali duduk di meja perundingan guna mengakhiri konflik.
Para pakar hukum mengatakan tuduhan yang dikemukakan Sudan ini kemungkinan akan gagal karena masalah yurisdiksi.
Ketika UEA menandatangani Konvensi Genosida, negara tersebut memasukkan “reservasi” pada klausul utama yang memungkinkan negara-negara untuk saling menyeret satu sama lain ke ICJ atas perselisihan yang terjadi. Artinya UEA menolak klausul itu.
“Oleh karena UEA membuat reservasi terhadap Pasal IX saat menyetujui Konvensi Genosida pada tahun 2005, ICJ dapat diperkirakan akan menyimpulkan bahwa mereka tidak memiliki yurisdiksi atas perselisihan tersebut,” tulis Michael Becker, pakar hukum internasional dari Trinity College Dublin, dalam kolom opini di situs web Opinio Juris.
Sudan berargumen bahwa reservasi UEA itu “tidak sesuai” dengan tujuan Konvensi Genosida, yang menekankan tanggung jawab kolektif global untuk mencegah terjadinya kejahatan terburuk di dunia.
“Menurut keyakinan kami, jika tidak ada dukungan dari UEA, semua pelanggaran (terhadap Konvensi Genosida) ini tidak akan mungkin terjadi,” kata Osman, kepada awak media yang ditemuinya di Peace Palace, di Den Haag, di mana ICJ berada.
Keputusan ICJ, yang mendengarkan perselisihan di antara negara-negara, bersifat final dan mengikat tetapi pengadilan itu tidak memiliki perangkat untuk memaksa para pihak mematuhi keputusannya. Sebagai contoh, para hakim ICJ memerintahkan Rusia untuk menghentikan invasinya atas Ukraina, yang sampai sekarang belum dipatuhi.*