Ramadhan bukan festival jajanan tahunan dan sibuk berburu makanan (takjil war), atau adu petasan, berujung tawuran. Ia adalah madrasah para muttaqin dan sholihin yang harus kita hidupkan
Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Hidayatullah.com | “JIKA engkau memandang bulan Ramadan sebatas salah satu dari dua belas bulan, maka nanti malam kau akan mengucapkan selamat tinggal. Namun jika engkau menganggapnya sebagai gaya hidup, maka engkau tidak akan pernah meninggalkannya. Jika ibadah puasa, membaca Al-Qur’an, bersedekah, shalat malam dan ibadah lainnya terus kita lakukan berkesinambungan, niscaya Ramadhan akan tetap bersemayam dalam hati selamanya,” demikian kutipan catatan singkat sarat makna yang ditulis menjelang akhir Ramadhan di salah satu kanal sosial media.
Lebaran telah berakhir, namun kehidupan masih akan terus berlanjut. Dan selama kehidupan masih berjalan selama itu pula perjuangan mempertahankan keimanan dan ketaqwaan mesti terus dilakukan.
Caranya tentu dengan melawan musuh-musuh penghalang jalan kita menuju Allah yaitu dengan mujahadatun nafs. Sebab musuh terbesar manusia adalah hawa nafsunya sendiri.
Habib Abdullah Al Haddad bahkan mengatakan di dalam kitabnya bahwa hawa nafsu manusia lebih berbahaya daripada tujuh puluh Setan.
Nah, hawa nafsu yang selama bulan Ramadhan itu dipaksa menjadi jinak kini selepas Ramadhan tentu akan berpotensi menjadi buas kembali. Hal ini dikarenakan instrumen-instrumen pengekang nafsu sudah mulai ditinggalkan.
Apa instrumen itu? Tiada lain adalah kegiatan berpuasa yang mewajibkan pelakunya untuk menahan diri dari kegiatan makan, minum, dan berhubungan suami-istri mulai waktu munculnya Fajar Shodiq hingga Maghrib (Puasa kaum Awam dalam trilogi klasifikasi puasa ala Al Ghazali).
Bahkan bukan hanya hawa nafsu, kini manusia harus melawan tandem abadi hawa nafsu yakni Setan.
Sosok penggoda manusia yang selama bulan Ramadhan dibelenggu itu kini diberi hak kembali untuk menggoda manusia. Bersama hawa nafsu, setan akan berkolaborasi kembali untuk menjatuhkan manusia dari titian jalan taqwa.
Dan untuk menghadapi itu semua, hasil didikan “madrasah” Ramadhan selama sebulan kemarin bisa dijadikan sebagai benteng pertahanan sekaligus senjata perlawanan.
Apa hasil didikan Ramadhan tersebut? Tentu (salah satunya) adalah ibadah puasa. Sebab Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ ، فَضَيِّقُوا مَجَارِيَهُ بِالْجُوعِ ” ، ذَكَرَهُ فِي الْإِحْيَاءِ ، قَالَ الْعِرَاقِيُّ : مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ مِنْ حَدِيثِ صَفِيَّةَدُونَ قَوْلِهِ: فَضَيِّقُوا مَجَارِيَهُ بِالْجُوعِ
“Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah anak Adam, maka persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah ﷺ juga pernah berwasiat kepada Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha sebagaimana dikutip oleh Imam Al Ghazali dalam Asrorus Shoum min Kitabil Ihya’ Ulumuddin nya,
داومي قرع باب الجنة، قالت: بماذا؟ قال صلى الله عليه وسلم: بالجوع
“Wahai Aisyah teruslah mengetuk pintu surga.” Sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha berkata, “Dengan apa Ya Rasulullah?” Rasulullah ﷺ menjawab, dengan (ber)puasa.”
Berlapar diri adalah laku spiritual yang ampuh dalam melawan hawa nafsu dan Setan. Dan inilah jalan yang ditempuh oleh para Nabi dan kaum sholihin sepanjang zaman.
Yahya bin Mu’adz Rahimahullah pernah mengatakan,
مذهب جميع الصالحين الجوع ، فمن فر منه فهو من الفاسقين
“Mazhab (jalan) semua orang-orang Soleh adalah (jalan) lapar. Maka barangsiapa berlari (keluar) dari jalan ini maka dia adalah termasuk orang-orang yang fasik.” (Tanbihul Mughtarin Lil Imam Abdul Wahab as Sya’roni, Hal 251 cet. Darul Kutub Islamiyah (DKI) Jakarta).
Yahya bin Mu’adz Rahimahullah juga berkata,
واعلموا أن من كثر أكله كثر لحم بطنه، ومن كثر لحم بطنه كثرت شهواته، ومن كثرت شهواته كثرت ذنوبه، ومن كثرت ذنوبه قسا قلبه، ومن قسا قلبه غرق في الذنوب والآفات، ومن غرق في الذنوب والآفات دخل النار
“Ketahuilah sesungguhnya barangsiapa yang banyak makannya, maka banyak daging perutnya (gendut), barangsiapa yang banyak daging perutnya maka banyak syahwatnya, barangsiapa yang banyak syahwatnya maka banyak dosanya, barangsiapa yang banyak dosanya maka keras hatinya, barangsiapa yang keras hatinya maka akan tenggelam dalam dosa dan kesalahan, dan barangsiapa yang tenggelam dalam dosa dan kesalahan maka (kelak) masuk ke dalam neraka.”
Jalan berlapar diri (puasa) adalah jalan mulia yang ironisnya mulai banyak ditinggalkan oleh umat Islam. Jangankan di luar Ramadhan bahkan di dalam bulan Ramadhan saja banyak umat Islam yang tidak berpuasa (tanpa udzur syar’i) dan mirisnya kian berani terang-terangan di tempat umum.
Pelanggaran secara terang-terangan semacam itu menandakan bahwa mereka sedang menunjukkan kemunafikan dan kefasikan dirinya.
Islam hanyalah sebuah tulisan formalitas untuk mengisi kolom agama di KTP.
Maka pantas jika Allah kala menyerukan kewajiban berpuasa di dalam Al Qur’an (surah Al Baqoroh ayat 183) memakai kalimat wahai orang-orang yang beriman bukan yang lain.
Sebab hanya orang-orang beriman lah yang mampu memenuhi seruan Allah untuk mengemban kewajiban berpuasa tersebut.
Jika ditanyakan apakah tujuan utama daripada berpuasa. Tentu jawabannya adalah agar menjadi hamba yang bertaqwa. Dan implementasi daripada ketaqwaan di segala lini kehidupan itu tentu sangat luas.
Pantas lah jika para sholihin ketika mewasiatkan apapun kepada orang lain selalu didahului dengan nasihat taqwa, yakni bertakwalah di manapun kalian berada.
Para muttaqin yang meresapi nilai filosofis daripada ibadah puasa tentu hatinya akan lebih lembut dan sensitif terhadap keadaan saudara-saudara di sekitarnya.
Puasa yang secara bahasa sederhana bermakna bisa menahan diri dari sesuatu (Imsak an as Syai’) tentu sangat relevan jika dilakoni sebagai jalan hidup.
Contoh kasus adalah ketika melihat produk-produk pro Zionis yang secara terang-terangan membantu pendanaan dalam membantai rakyat di Palestina, tentu para muttaqin yang sudah meresapi nilai-nilai filosofis daripada ibadah puasa akan memboikot produk-produk tersebut dan beralih kepada produk serupa namun yang tidak terafiliasi dengan Zionis.
Meskipun terkadang di satu situasi tertentu para muttaqin secara manusiawi ingin terhadap produk pro-Zionis tersebut, namun nilai filosofis puasa (Imsak an as Syai’) yang sudah tertanam tadi mampu mencegahnya terhadap keinginan tersebut.
Dan hal ini berkebalikan dengan para munafikin yang bahkan sedari awal telah gagal mendapatkan pelajaran selama “madrasah” Ramadhan.
Syahwat perut dan birahi mereka yang gagal dididik selama Ramadhan tentu akan semakin binal ketika berada di luar Ramadhan. Maka tidak heran jika hari ini masih banyak didapati orang-orang yang “kebetulan” menempel atribut agama Islam di tubuhnya (seperti berhijab, berpeci, berjenggot dsj) namun masih doyan makan di restoran waralaba pro Zionis, memakai produk-produk Zionis dan bahkan menjadi brand ambassador produk-produk mereka.
Rasa empati dan simpati telah hilang dari hati mereka terhadap penderitaan rakyat Palestina. Padahal Rasulullah ﷺ pernah mengancam bahwa siapapun yang tidak peduli urusan kaum Muslimin maka dia bukan termasuk golongan daripada umat Nabi Muhammad ﷺ.
Dan kelakuan kaum munafik ini adalah gambaran produk gagal daripada Ramadhan. Dimana Allah telah memberi kesempatan emas berupa bulan termulia namun malah disia-siakan.
Bukti dari penyia-nyiaan terhadap Ramadhan adalah tidak giat beribadah di dalamnya namun malah sibuk bermain- main.
Bulan Ramadhan dipandang tidak lebih dari sekedar festival jajanan tahunan dimana mereka sibuk berburu makanan (takjil war), sibuk adu petasan berujung tawuran, asik bangunkan sahur meskipun tidak sedikit yang paginya tidak ikut berpuasa.
Maka wajar dari dua sudut pandang (worldview) yang berbeda ini muncul dua golongan berbeda dalam penyikapan terhadap akhiran bulan Ramadhan.
Yang satu menangis saat berpisah dengan bulan Ramadhan (yakni kaum Sholihin) dan golongan yang satunya malah berbahagia saat Ramadhan usai sebab Ramadhan dianggap telah mengekang dan membatasi ruang kemerdekaan syahwat mereka.
Mengenai dua golongan tersebut, Hatim Al A’shom Rahimahullah pernah mengatakan,
من علامة المؤمن أن يفعل الطاعات ومع ذلك يبكي، ومن علامة المنافق أن ينسى العمل ثم يضحك
“Termasuk tanda-tanda orang beriman adalah (mereka) melakukan ketaatan sembari di saat yang sama mereka menangis. Dan termasuk daripada tanda orang munafik adalah (mereka) lupa (dilupakan) terhadap amal (sholeh) alias tidak mengerjakannya kemudian (mirisnya) mereka malah tertawa.”
Walhasil, Ramadhan adalah madrasah tahunan yang diadakan untuk mendidik orang-orang beriman agar bisa menjadi manusia bertaqwa dimana golongan muttaqin inilah yang dilabeli Allah sebagai sebaik-baik golongan di sisi Allah.
Dan implementasi daripada nilai-nilai ibadah selama bulan Ramadhan adalah di luar bulan Ramadhan itu sendiri. Inilah ajang pembuktian kelayakan kita sebagai orang yang bertaqwa, pantas atau tidakkah kita menyandangnya. Puasa telah mendidik kita agar mampu mengendalikan syahwat perut, kemaluan, anggota badan lahiriah dan batiniah. Dimana kerusakan masyarakat bahkan negara (berupa merajalelanya korupsi dsj) berasal dari syahwat-syahwat tersebut. Dan kemampuan dalam mengendalikan syahwat lahiriah serta batiniah (hati) inilah yang menjadi ciri khas pembeda antara orang beriman dan orang munafik.
Imam Abdul Wahab as Sya’roni mengutip hadis Nabi di dalam kitabnya Tanbihul Mughtarin yang berbunyi,
المنافق همته في الطعام والشراب، والمؤمن همته في الصيام و الصلاة
“Semangat (passion) orang-orang munafik adalah pada perihal makanan dan minuman, sedangkan semangat (passion) orang-orang beriman adalah pada (ibadah) puasa dan sholat.”
Nah, jika benar adanya kita adalah para penyembah Allah (Hamba Rabbani) maka tidak peduli baik di dalam maupun di luar bulan Ramadhan pun, keistiqomahan dalam meniti jalan taqwa adalah sesuatu yang wajib senantiasa dijalani.
Berbeda dengan para kaum yang “menyembah” Allah di waktu tertentu saja (Ramadhan misalnya) tentu mereka hanya akan giat beribadah di waktu tertentu itu dan selepas darinya mereka akan kembali malas beribadah.
Dalam kutipan di awal tulisan ini dikatakan jika kita hanya memandang Ramadhan sekedar bagian daripada dua belas bulan dari almanak, maka Ramadhan akan datang dan berlalu.
Namun jika (nilai-nilai) Ramadhan bisa dijadikan sebagai gaya hidup maka selamanya nilai kebaikan Ramadhan akan selalu menghiasi kehidupan kita. Dan jika kita benar-benar mendaku sebagai hamba Rabbani (bukan hamba Ramadhan) Kegiatan khas Ramadhan seperti berpuasa, mendaras Al Qur’an, sholat berjamaah, bersedekah, peduli kepada sesama (tidak korupsi) akan mudah kita lanjutkan di luar bulan Ramadhan. Wallahu A’lam Bis Showab.*
Penulis seorang santri