Di era di mana banyak keluarga retak, Nabi Ibrahim mengajarkan dunia sebagai kepala keluarga, seorang imam, pendidik, dan pelindung akidah umat sepanjang masa
Hidayatullah.com | IDUL ADHA bukan sekadar hari raya yang dipenuhi gema takbir dan aroma daging qurban. Ia adalah momentum spiritual yang menyentuh akar terdalam jiwa, membawa kita menyusuri jejak-jejak luar biasa sosok agung yang tak lekang oleh zaman: Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Ia bukan sekadar nabi. Ia adalah “ummatan” — sebuah umat dalam dirinya sendiri, pemantik peradaban yang menyalakan cahaya tauhid di tengah pekatnya kegelapan. Allah memujinya dalam firman-Nya:
اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan, patuh kepada Allah, dan hanif (menjauh dari kebatilan), dan dia bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. An-Nahl: 120)
Ayat ini bukan sekadar pujian — ia adalah deklarasi kemuliaan. Bahwa dalam satu sosok Ibrahim, berkumpullah keteladanan seorang hamba yang taat, suami yang bijak, ayah yang kuat, dan pemimpin umat yang kokoh.
Sang Arsitek Rumah Tangga Langit
Kisah Ibrahim adalah kisah tentang cinta yang tak menjadikan dunia sebagai tuan, tetapi Allah sebagai pusat dari segalanya.
Lihatlah ketika perintah qurban datang — bukan sekadar menyembelih hewan, tapi anak tercinta yang telah lama dirindukan. Bukannya ragu, Ibrahim menyambutnya dengan ketundukan. Dan yang lebih menggetarkan, sang istri dan anak tidak protes. Mereka ikut dalam simfoni ketaatan.
قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ
“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)
Satu kalimat itu adalah bukti betapa Ibrahim sukses membangun madrasah iman di rumahnya. Anak dan istri bukan sekadar ‘ikut’ agama, tapi hidup dalam ruh keimanan yang mendalam. Rumah tangga mereka bukan hanya rumah fisik, tapi istana spiritual.
Pemimpin Perubahan, Bukan Pengikut Arus Zaman
Ibrahim bukan produk zamannya — ia adalah pencipta zaman. Di tengah umat penyembah patung, ia berdiri sendiri menantang budaya turun-temurun.
Ia tidak berteriak, tetapi berdialog. Ia tidak menghina, tapi mengajak berpikir. Dengarkan kalimatnya yang menusuk logika:
اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْـًٔ
“Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?” (QS. Maryam: 42).
قَالَهَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ
أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ
“Apakah berhala-berhala itu dapat mendengar doamu, atau memberi manfaat, atau menimpakan mudarat?” (QS. Asy-Syu‘ara: 72–73)
Dengan gaya santun tapi tegas, Ibrahim menunjukkan bahwa kekuatan dakwah bukan pada volume suara, tapi kekuatan argumen dan kejernihan akal.
Melahirkan Generasi Surga
Di era di mana banyak keluarga retak karena hal sepele, Ibrahim mengajarkan kepada dunia bahwa kepala keluarga bukan sekadar pencari nafkah, tapi juga imam, pendidik utama, dan pelindung akidah.
Ibrahim mendidik Ismail, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan contoh hidup. Sehingga ketika saat pengorbanan itu tiba, Ismail tidak lari — tapi bersiap, karena ia telah tumbuh dalam atmosfer tauhid dan kepatuhan.
Sebagai suami, ia tak mendikte Hajar atau Sarah, tetapi membimbing mereka dalam cinta yang berakar pada iman. Maka ketika perintah Allah datang untuk meninggalkan Hajar dan bayi mungilnya di lembah tandus, tidak ada protes, hanya iman yang berkata: “Jika ini dari Allah, maka Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Jejak Ibrahim di Zaman Kita
Dunia hari ini dipenuhi oleh krisis keteladanan: ayah yang gagal memimpin, suami yang enggan mendidik, pemimpin yang lebih sibuk dipuja daripada memikul amanah.
Di sinilah pentingnya kita kembali meneladani Ibrahim — bukan hanya mengaguminya dalam khutbah, tapi menapaki langkahnya dalam kehidupan nyata.
Jadikan rumah kita seperti rumah Ibrahim: sederhana tapi penuh makna, tidak mewah tapi menjadi tempat lahirnya generasi sabar, tangguh, dan bertauhid.
Jadikan peran kita sebagai suami, ayah, dan pemimpin tidak hanya simbol, tapi fungsional — menghadirkan solusi, bukan sekadar tuntutan.
Belajarlah dari Ibrahim
Idul Adha bukan sekadar perayaan, tetapi pengingat. Bahwa kita diminta bukan hanya menyembelih hewan, tapi menyembelih ego, hawa nafsu, dan cinta dunia yang membelenggu.
Karena di balik sembelihan itu ada kisah cinta Ibrahim kepada Rabb-nya. Cinta yang membuatnya rela kehilangan segalanya — demi meraih segalanya, yaitu ridha Allah SWT.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُ
“Sungguh pada diri Ibrahim ada teladan yang amat baik bagimu…” (QS. Al-Mumtahanah: 4).*/ Ali Mustofa Akbar, seorang guru ngaji