Hidayatullah.com—Kekecewaan mendalam menyelimuti warga di timur laut Suriah setelah sebuah kendaraan militer Amerika Serikat (AS) terekam berpatroli di wilayah mereka dengan tulisan mencolok dalam huruf Arab: “Kafir”, berdampingan dengan simbol salib Kristen.
Tulisan yang dianggap menyinggung keyakinan mayoritas Muslim itu memicu kemarahan, kecemasan, dan tuduhan bahwa pasukan asing tidak menghormati budaya serta agama lokal.
“Kami merasa dihina. Mengapa mereka datang ke tanah kami untuk membantu melawan ekstremisme, tetapi justru membawa simbol seperti ini?” ungkap Jihan, seorang perempuan Kurdi yang tinggal di Hasakah, kepada media internasional.
Banyak warga mengaku terkejut dan terluka. Kata “kafir” bukan hanya sekadar istilah; dalam sejarah konflik Suriah, kata itu digunakan kelompok radikal seperti ISIS untuk menjustifikasi kekerasan brutal terhadap lawan mereka—termasuk terhadap sesama Muslim.
Maka ketika istilah itu terpampang di kendaraan pasukan AS, masyarakat menilai itu sebagai provokasi yang sangat tidak sensitif.
Insiden ini memicu kehebohan besar di kalangan warga lokal dan komunitas internasional, menimbulkan pertanyaan tajam: siapa yang dimaksud sebagai kafir? Dan apakah pesan ini sengaja diarahkan kepada umat Islam Suriah?
Kata “kafir” secara harfiah berarti “orang yang tidak beriman”, dan dalam konteks konflik Suriah, istilah ini mengandung sejarah kelam.
Kata tersebut sering digunakan oleh kelompok teroris seperti Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) untuk membenarkan aksi kekerasan terhadap lawan mereka, termasuk sesama Muslim yang berbeda ideologi.
Namun kali ini, kata itu muncul bukan dari kelompok ekstremis, melainkan tertempel di kendaraan pasukan AS yang secara resmi hadir di Suriah sebagai bagian dari Koalisi Internasional anti-ISIS.
Foto kendaraan itu dengan jelas menunjukkan tulisan “Kafir” di bagian depan, di samping simbol salib Kristen. Kombinasi yang sangat provokatif—baik secara religius maupun politik.
Apakah Ini Sebuah Pesan Anti-Islam?
Sejumlah warga lokal menilai tulisan tersebut sebagai “penghinaan terang-terangan” terhadap identitas mayoritas Muslim Suriah.
Di kota Hasakah, tempat insiden terjadi, banyak yang bertanya-tanya apakah tulisan itu dimaksudkan sebagai pernyataan superioritas agama, atau lebih buruk, sebagai ejekan terhadap keyakinan lokal.
“Kami tidak ada hubungannya dengan ISIS. Kami tidak pernah menyebut orang Amerika atau Kristen sebagai kafir,” ujar Jihan, seorang warga Kurdi berusia 34 tahun, kepada Middle East Eye.
“Tulisan itu terasa seperti ejekan. Provokasi murahan yang sangat tidak pantas dari militer besar seperti Amerika.”
Beberapa pengamat regional menilai kemunculan kata “kafir” bisa menimbulkan konflik identitas baru, khususnya di wilayah yang baru bangkit dari trauma perang agama dan sektarian.
Reaksi Militer AS
Menanggapi kehebohan ini, pihak Combined Joint Task Force – Operation Inherent Resolve (CJTF-OIR) yang mewakili Koalisi Pimpinan AS segera mengeluarkan pernyataan resmi. Mereka menyebut bahwa simbol dan tulisan di kendaraan itu “tidak disetujui” dan “melanggar kebijakan Departemen Pertahanan AS.”
“CJTF-OIR telah memulai penyelidikan formal dan akan menjatuhkan tindakan disipliner berdasarkan Uniform Code of Military Justice,” kata pernyataan resmi tersebut.
Militer AS juga menegaskan bahwa insiden ini tidak mencerminkan profesionalisme pasukan mereka, dan menegaskan kembali bahwa misi mereka adalah mengalahkan ISIS secara permanen, bukan memicu konflik baru berbasis agama atau ideologi.
Operasi militer AS di Suriah dimulai pada Oktober 2014 sebagai bagian dari strategi global yang mengklaim menghapus keberadaan ISIS.
Saat ini, masih terdapat sekitar 2.000 tentara AS di Suriah, namun jumlah tersebut diperkirakan akan berkurang separuhnya dalam waktu dekat.
Menurut utusan khusus AS untuk Suriah, dari delapan pangkalan, hanya akan tersisa tiga, seluruhnya berada di provinsi Hasakah. Namun, meski jumlah personel berkurang, jejak kerusakan konflik bertahun-tahun masih terasa jelas.
Kerugian Masyarakat
Sepanjang satu dekade terakhir, masyarakat Suriah menderita kerugian besar akibat kehadiran pasukan asing dan AS dan perang yang tak kunjung usai.
Ribuan warga tewas atau terluka akibat serangan udara dan konflik bersenjata. Infrastruktur rusak parah: sekolah, rumah sakit, masjid, dan fasilitas air bersih hancur.
Krisis pengungsian dan ekonomi memburuk, terutama di wilayah timur laut tempat pasukan AS sering beroperasi.
Penduduk juga mengeluhkan kurangnya akuntabilitas dari pasukan asing yang kerap beroperasi tanpa koordinasi dengan warga lokal.
Insiden tulisan “kafir” kini menambah daftar luka psikologis yang dalam. Bagi banyak warga, itu bukan hanya kata, melainkan simbol ketidakhormatan terhadap budaya, agama, dan martabat mereka sebagai manusia.
Media internasional seperti Middle East Eye dan The Cradle menyebut insiden ini sebagai “tamparan diplomatik” dan “contoh dari arogansi kekuatan militer besar di tanah asing.”
Mereka mendesak Washington tidak hanya memberi sanksi administratif, tapi juga merefleksikan kebijakan luar negerinya di kawasan rawan konflik seperti Suriah.
Jika tak ditangani serius, insiden semacam ini dapat menyalakan kembali api sektarian yang coba dipadamkan selama bertahun-tahun.*