Berdirinya Muhammadiyah adalah ikhtiar KH Ahmad Dahlan sebagai benteng peralawanan gerakan Freemasonry dan Kristenisasi yang didukung penjajah Belanda, pembebasan umat dari pengaruh Barat sekuler
Hidayatullah.com | NAMA aslinya Muhammad Darwis bin KH Abu Bakar bin KH Sulaiman. Namun di kemudian hari, ia dipanggil dengan sebutan KH Ahmad Dahlan.
Ia dilahirkan di Jogjakarta pada 1868, pada sebuah lingkungan Kauman yang agamis. Lingkungan inilah yang membentuk karakter dan kepribadiannya.
Istilah Kauman itu sendiri sering diartikan sebagai singkatan dari “Kaum Beriman”, karena biasanya letak perkampungan Kauman tak jauh dari Masjid Agung.
Sang Ayah, KH Abu Bakar bin KH Sulaiman adalah seorang ketib di Masjid Agung Kesultanan Jogjakarta, yang bertugas menjadi imam masjid dan pemangku urusan-urusan agama.
Darah ulama mengalir di keluarga besar ayahnya. Bahkan silsilah keluarganya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim, tokoh yang menjadi bagian dari sembilan orang penggerak dakwah di tanah Jawa.
Tak hanya dari garis ayah, sang ibu, Siti Aminah, juga memiliki garis keturunan Kiai. Ia putri dari seorang penghulu di Kesultanan Jogjakarta.
Demikianlah nasab Darwis atau Kiai Dahlan tersebut. Karena berasal dari lingkar elit Islam yang berada di lingkungan keraton, tak heran jika pada usia muda, 23 tahun, Kiai Dahlan sudah berangkat ke Makkah Al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan mempelajari ilmu-ilmu agama.
Pada masa lalu, orang yang berhaji tak sekadar menjalankan ritual kewajiban haji saja, tetapi juga membicarakan nasib umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Dari sinilah nanti nampak corak perjuangan Kiai Dahlan, yang lebih cenderung pada dunia pergerakan (harakah) untuk memajukan umat Islam dan mengeluarkannya dari lingkaran gelap takhayul, bid’ah, dan khurafat. Kepeduliannya terhadap kaum miskin dan pendidikan umat Islam juga menjadi fokus perjuangan Kiai Dahlan.
Kelak, ketika pemerintah kolonial menerapkan kebijakan untuk mengawasi orang-orang yang baru pulang dari Makkah dan menyita semua kitab-kitab dan bacaan lainnya yang mereka bawa, KH Ahmad Dahlan berhasil menyelundupkan kitab-kitab dan bacaan lainnya, seperti Majalah Al-Urwah Al-Wutsqa dan Al-Manar melalui pelabuhan Tuban.
Pemikiran-pemikiran dalam majalah-majalah dan buku bacaan yang dibawa Kiai Dahlan dari Timur Tengah itulah yang kemudian banyak mempengaruhi pemikirannya terutama dalam bidang tajdid (pembaruan), sehingga Muhammadiyah yang dibidaninya disebut sebagai Harakah At-Tajdid (Gerakan Pembaruan).
Pada saat itu, bacaan-bacaan dari Timur Tengah dianggap oleh Belanda membawa ajaran Pan-Islamisme yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al-Afghani, yang menyuarakan penentangannya terhadap penjajahan di negara-negara Muslim.
Dalam pertemuan tahunan ibadah haji di Tanah Makkah, tokoh-tokoh Islam dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Nusantara, membincangkan upaya untuk menyelamatkan negeri-negeri Muslim dari kolonialisme negara-negara kafir.
Masa kecil Kiai Dahlan adalah zaman dimana sekolah-sekolah pendidikan yang dikelola oleh orang-orang Belanda banyak bertebaran di pulau Jawa.
Namun di lingkungan Kauman yang terkenal agamis, ada anggapan bahwa siapa saja yang masuk sekolah gubernuran (sekolah yang dikelola pemerintah Belanda), maka dianggap kafir atau murtad. Karena itu, Darwis alias Kiai Dahlan kecil, diasuh dan dididik oleh ayahnya sendiri di rumah.
Setelah remaja, Kiai Dahlan kemudian pergi ke Makkah untuk berhaji dan menimba ilmu. Sekembalinya dari Makkah, pada 1909, KH Ahmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo.
Namun keberadaanya dalam organisasi yang berada dalam pengaruh kuat Gerakan Freemasonry dan Theosofi ini tak lama. Kiai Dachlan melihat Boedi Oetomo tak mempunyai kepedulian terhadap Islam. Para aktifisnya ketika itu lebih kental mengamalkan kebatinan, dibandingkan menjalankan ajaran-ajaran Islam.
Sejak awal berdiri, Boedi Oetomo sudah didekati oleh Gerakan Freemasonry (Vrijmetselarij) yang oleh orang Jawa pada waktu itu disebut sebagai Golongan Kemasonan. Ketua pertamanya, Raden Mas Tirtokoesoemo adalah seorang anggota Freemasonry, begitupun ketua-ketua selanjutnya.
Selama di Boedi Oetomo, ia pernah berupaya mengadakan pengajian keislaman, namun usaha itu ditolak oleh para anggota lainnya yang kebanyakan para penganut kejawen.
Kia Dahlan juga gencar melakukan dakwah kepada tokoh-tokoh lain di kalangan Kemasonan dan Kristen, seperti Dirk van Hinloopen Labberton (Tokoh Theosofi-Freemasonry) dan Van Lith (Tokoh Katolik Serikat Jesuit), juga dikalangan elit keraton Jawa seperti Ki Ageng Soerjomentaram.
Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku Sejarah Kota Yogakarta Tempoe Doeloe menjelaskan keprihatinan KH Ahmad Dahlan dengan tumbuh suburnya pendidikan netral bercorak Barat, yang dikelola oleh Gerakan Kemasonan (Freemasonry).
Selain itu, Kiai Dahlan juga prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi pemerintah Belanda, yang dalam kerap melakukan upaya kristenisasi.
Semua sekolah-sekolah ini, selain mendapat dukungan pemerintah kolonial, juga mendapat dukungan elit pemerintahan setempat yang kebanyakan sudah berada dalam pengaruh Gerakan Kemasonan (Freemasonry).
Dukungan pemerintah kolonial terhadap sekolah-sekolah milik Gerakan Kemasonan dan Kristen adalah upaya untuk mendirikan sekolah pribumi yang mampu bersaing dengan pesantren yang menjadi basis pendidikan umat Islam.
Tujuan pendidikan netral yang didirikan oleh Gerakan Kemasonan dan menjamurnya sekolah-sekolah Kristen tak lain adalah upaya mematikan peran pesantren.
Pendidikan netral bertujuan menumbuhkan jiwa loyalitas masyarakat pribumi terhadap pemerintah kolonial atau mengubah anak-anak elit Jawa menjadi ”bangsawan holland denken” (bangsawan yang berorientasi kebelandaan).
Karena itu, untuk mendapatkan kaki tangan yang setia bagi pemerintah kolonial dalam bidang pemerintahan dan jaksa, dibuatlah sekolah pamong praja, Opleiding School voor Indische Ambtenaren (OSVIA).
Karena prihatin dengan sekolah-sekolah yang membawa misi anti-Islam itu, KH Ahmad Dahlan kemudian mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912, yang secara tegas menonjolkan identitas keislamannya.
Muhammadiyah mempunyai tujuan:
Pertama, ”Menjebarkan pengadjaran Igama Kandjeng Nabi Muhammad ﷺ kepada pendoedoek boemipoetra di dalam residentie Djokjakarta.” Kedua, ”Memadjukan hal Igama anggauta-anggautanya.”
Sebab-sebab berdirinya Muhammadiyah selain faktor internal, yaitu umat Islam tidak lagi memegang teguh tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi ﷺ dan merajalelanya kemusyrikan, juga disebabkan faktor eksternal, yaitu kesadaran akan bahaya yang mengancam akidah umat Islam yang disebabkan oleh upaya Kristenisasi yang marak saat itu.
Faktor eksternal lainnya adalah, merebaknya kebencian di kalangan intelektual saat itu yang menganggap Islam sebagai agama kolot, tidak sesuai zaman. Dan yang terpenting dari sebab berdirinya Muhammadiyah adalah upaya untuk membentuk masyarakat dimana di dalamnya benar-benar berlaku ajaran dan hukum Islam.
Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan beberapa aktivis Islam lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang pengajaran dan membendung usaha-usaha Kristenisasi yang didukung oleh pemerintah kolonial lewat kebijakan Kerstening Politiek (Politik Kristensiasi) yang dimulai pada tahun 1910 oleh kelompok konservatif di Nederland dan dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg.
Di antara kebijakan Kerstening Politiek adalah dikeluarkannya ”Sirkuler Minggu” dan ”Sirkuler Pasar” yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal pada 1901.
Sirkuler Minggu menegaskan bahwa tidak patut mengadakan perayaan kenegaraan pada hari Minggu. Kegiatan pemerintahan pada hari Minggu diliburkan. Sirkuler Pasar melarang diadakannya hari pasaran pada hari Minggu.
Sejak tahun 1900-an, kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan Hindia Timur atau Indonesia saat ini, adalah menggunakan berbagai pendekatan halus, yang disebut dengan Politik Etis (Etische Politiek).
Politik Etis dikeluarkan oleh Ratu Wilhelmina pada 1901, sebagai upaya untuk melakukan pembaratan, yang disebut oleh Ratu Wilhemina dengan ”kewajiban moral” terhadap masyarakat pribumi.
Conrad Theodore (CT) van Daventer, salah seorang propagandis gerakan ini, menyebutnya sebagai “Politik Balas Budi.”
Sebelumnya, Belanda menerapkan kebijakan politik liberal dan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang dimulai pada tahun 1830 sampai penghujung tahun 1800-an.
Hasil tanam rakyat di tanah jajahan dibeli dengan harga yang murah. Kalau pun rakyat dipekerjakan di ladang-ladang yang dikuasai mereka, maka harga upahnya sangat murah.
Politik Etis kemudian menjalankan programnya dengan mendekati para priyai dan anak keturunan priyai, untuk bisa dididik dalam pola pendidikan Barat, dan kemudian menjadi aparat pamong praja di bawah mereka atau setidaknya menjadi penghubung antara pemerintah kolonial dengan rakyat di tanah jajahan.
Istilah “Priyai” di sini, menurut Robert van Niel dalam buku “Munculnya Elite Modern Indonesia (1984: 30) adalah kelompok yang disebut elite bagi orang Indonesia, khususnya Jawa, yang berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur, dan menuntun masyarakat.
Maka kalangan priyai dan anak keturuanannya inilah yang kemudian disasar menjadi target kebijakan Politik Etis. Mereka ditawarkan untuk bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda, mempelajari kebudayaan Barat, dan lain sebagainya.
“Putra-putri dari turunan Paku Alam terutama telah mengikuti sistem pendidikan Eropa. Tentu saja asal keturunan yang menjadi faktor utama yang memungkinkan ini. Paku Alam Studie Fond (Dana Studi Paku Alam) dengan bantuan dan rangsangan dari Freemason telah membantu kemungkinan-kemungkinan ini menjadi kenyataan,” terang Van Niels (1984: 73).
Dalam kebijakan Politik Etis inilah diantaranya dijalankan program “asosiasi” dan “asimilasi.” Pendekatan-pendekatan dengan berbagai iming-iming, utamanya tawaran menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Belanda dengan nilai-nilai Barat yang dianggap modern, dilakukan pada kelompok priyai tersebut.
Selain itu, dibuka juga sekolah lanjutan dalam bidang aparatur pemerintahan (pamong praja), sekolah kedokteran, sekolah hukum, sekolah guru, dan lain-lain.
Dari sinilah kelak, lahir tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan atau tokoh-tokoh nasional Indonesia. Dalam perjalanan itu, tersebutlah nama-nama seperti Snouck Hurgronje, Dirk van Hinloopen Labberton, CT van Daventer, KF. Holle, Hendrik Kraemer, Abendanon, dan lain sebagainya yang ditugaskan untuk melakukan berbagai pendekatan dalam mewujudkan keberhasilan Politik Etis.
“Minat dan perhatian pribadi Snouck Hurgronje telah menyebabkan anak asuhannya amat terpengaruh oleh kebudayaan Barat. Snouck Hurgronje bukanlah satu-satunya orang Eropa yang mempunyai perhatian seperti itu terhadap kelompok orang Indonesia. Nama Abendanon telah disebut juga dan nama-nama seperti Engelenberg, Van Lith, Hardeman, dan lain-laian dapat pula masuk ke sini, tetapi mereka tetap merupakan kelompok kecil,” tulis Van Niels (1984: 72)
Snouck Hurgronje, K.F Holle, Abendanon, di antaranya melakukan pendekatan dengan RA Kartini, tokoh yang kemudian dijadikan ikon perjuangan perempuan Indonesia.
Sementara Dirk van Hinloopen Labberton, tokoh yang di kalangan kebangsaan saat itu disebut sebagai “Bapak Kebatinan” menjadi mentor Boedi Oetomo. Sedangkan Hendrik Kraemer, seorang yang disebut sebagai pembawa misi Kristen, melakukan mentoring pada organisasi Jong Java (Perhimpunan Pemuda Jawa).
Kelak, Kraemer-lah orang yang dianggap berperan penting dari tersingkirnya anak-anak muda Islam di organisasi itu, sehingga kemudian para pemuda Islam itu keluar dari Jong Java dan mendirikan Jong Islamietend Bond (Perhimpunan Pemuda Islam).
Sejak kedatangan orang-orang penganut humanisme dari Eropa ke Hindia Timur sejak tahun 1900-an tersebut, maka upaya pembaratan terhadap rakyat semakin kuat.
Kebanyakan para humanis Eropa yang datang ke wilayah ini pada masa itu, sebagaimana keterangan Van Niels, adalah orang-orang yang aktif di organisasi Masoos dan organisasi “Order of Eastern Star” (Ordo Bintang Timur). Ordo Bintang Timur ini ternyata erat kaitannya dengan kelompok Vrijmetselaarij (Freemasonry).
Orang-orang Eropa itu, yang menganut paham humanisme, banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan netral (neutral orderwijs), yang mengenyampingkan pelajaran-pelajaran agama.
Sementara itu, sebagian lain dari mereka mendirikan sekolah-sekolah Kristen yang lekat dengan jaringan missi (zending) agama mereka. Menjamurlah sekolah-sekolah tersebut, terutama di Jawa.
Sementara itu, kebijakan politik itu pun semakin menunjukkan coraknya yang lekat dengan agama tertentu, yaitu Kristen. Sehingga ada yang menyebut Politik Etis (Etische Politiek) tak lebih sebagai Politik Kristenisasi (Kerstening Politiek) terhadap umat Islam.
Apalagi, kata Van Niels, “kegiatan missi pemerintah juga melanjutkan pokok-pokok ajaran Kristen di dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tata pemerintahan Hindia Timur.” (Niels, 1984:117).
Niels mencontohkan dikeluarkannnya “Edaran Minggu” dan “Edaran Pasar” oleh Gubernur Jenderal pada tahun 1910, yang berisi larangan mengadakan kegiatan pemerintahan pada hari Minggu, dan melarang hari pasar pada hari yang sama juga.
Di dalam lingkungan elite keraton di Jogjakarta, KH Ahmad Dahlan, seorang pemuda yang pernah menempuh studi di Makkah Al-Mukarramah, berasal dari kampung Kauman, dan menjadi pemuka agama di Mesjid Ghede, merasa prihatin dengan kondisi ini.
Kyai Dahlan, sebagaimana ditulis dalam disertasi Dr. Alwi Shihab, prihatin dengan kondisi maraknya sekolah-sekolah yang dikelola oleh kelompok Kristen dan kalangan Freemason.
Atas hal tersebut, maka Kyai Dahlan merespon dengan mendirikan sebuah organisasai bernama Persyarikatan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang dakwah, sosial, dan pendidikan.
Dalam kondisi dimana upaya-upaya Politik Kristenisasi itu dikhawatirkan meluas, Van Niels menulis, “Yang menjadi pemimpin penyerang dari pihak oposisi Islam terhadap politik peng-Kristenan pemerintah adalah suatu organisasi pembaharu Islam bernama Muhammadiyah yang didirikan oleh Haji Ahmad Dahlan.” (Niels, 1984:118).
Langkah KH Ahmad Dahlan dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah menurut Dr. Alwi Shihab dalam disertasinya, adalah upaya membendung arus, dari upaya kristenisasi dan perkembangan Gerakan Kemasonan (Freemasonry).
Alwi menjelaskan, bahwa Freemasonry di Indonesia digerakkan oleh orang-orang Kristen yang sadar diri dan sangat peduli terhadap penyebaran Injil. Mereka melakukan upaya Kristenisasi, termasuk tentu saja mempropagandakan ajaran-ajaran Freemasonry.
”Lembaga ini (Freemason, pen) telah berhasil menggaet berbagai kalangan Indonesia terkemuka, dan dengan demikian mempengaruhi berbagai pemikiran berbagai segmen masyarakat lapisan atas… Merasakan bahwa perkembangan Freemasonry dan penyebaran Kristen saling mendukung, kaum Muslim mulai merasakan munculnya bahaya yang dihadapi Islam… Dalam upayanya menjaga dan memperkuat iman Islam di kalangan Muslim Jawa, (Ahmad) Dahlan bersama-sama kawan seperjuangannya mencari jalan keluar dari kondisi yang sangat sulit ini.
Untuk menjawab tantangan ini, lahirlah gagasan mendirikan Muhammadiyah.Dari sini, berdirinya Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari keberadaan dan perkembangan pesat Freemasonry,” demikian tulis Alwi Shihab.
Selain jawaban terhadap upaya Gerakan Kemasonan (Freemasonry) dan Kerstening Politik (Politik Kristenisasi), berdirinya Muhammadiyah juga sebagai respon dari berbagai pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh para aktivis kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo.
Dengan bahasa sindiran, Muhamadiyah menyatakan, ”Jika agama berada di luar Boedi Oetomo, maka sebaliknya Politik berada di luar Muhammadiyah,” demikian khittah perjuangan Muhammadiyah pada awal-awal berdirinya.
Perjuangan KH Ahmad Dahlan dalam membendung gerakan Freemasonry dan Kristenisasi, bisa dibaca selengkapnya dalam buku “Freemasonry dan Teosofi: Hubungannya dengan Elite Modern Indonesia” Cetakan Kedua yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar.*/Artawijaya, wartawan dan penulis buku-buku Sejarah