Hidayatullah.com–Ratusan umat Yahudi Jerman dan Muslim menggelar unjuk rasa bersama di Berlin pada hari Minggu (9/9/2012), suatu aktivitas jarang terjadi, menuntut “kebebasan beragama” mereka dihormati, setelah pengadilan memutuskan melarang ritual khitanan.
Pada Juni Pengadilan di Cologne telah memberi keputusan terkait kegiatan khitan, yang langsung memicu perdebatan sengit tentang kebebasan beragama di negara yang sensitif terhadap setiap tuduhan intoleransi berkaitan pemerintahan Nazi di masa lalu.
Meskipun larangan itu hanya berlaku di wilayah Cologne, dokter di seluruh negeri telah menolak melakukan operasi khitan karena khawatir menghadapi risiko tindakan hukum.
Sebanyak 300 pemrotes Muslim dan Yahudi, serta para pendukungnya berkumpul di lapangan Bebelplatz, Berlin, yang di buku-buku dikenal sebagai lokasi pembunuhan masal dengan cara dibakar terhadap orang-orang Yahudi.
Mereka melambaikan spanduk bertuliskan “Kulup? Tidak Terima kasih”, atau “Akhirnya, Jerman Jadi Penganut kolonial lagi” , disertai sejumlah gambar kartun seorang anak yang kulupnya diwarnai bendera Jerman. Juga ada sejumlah orang hadir dengan dibungkus bendera Israel.
“Kami sakit dan lelah terhadap semua omong kosong dan ocehan tidak kompeten mengenai khitanan,” kata Lala Suesskind, mantan kepala komunitas Yahudi Berlin, kepada Reuters.
“Jadi hari ini, kami ingin menjelaskan beberapa hal melalui rabi kami … apa sunat itu dan apa artinya bagi agama kami?” tambahnya.
Bagi umat Yahudi bayi laki-laki harus disunat setelah berusia delapan hari, sedangkan untuk umat Islam pelaksanaan khitan dilakukan bervariasi sesuai dengan keinginan keluarga dan kebiasaan masing-masing negara.
Berlin pekan lalu menjadi yang pertama dari 16 negara bagian Jerman yang melindungi aktivitas khitan. Para dokter secara hukum dibolehkan menyunat bayi laki-laki dengan alasan agama.
Pemerintah pusat dengan didasarkan satu undang-undang baru melegalkan operasi khitan di seluruh negeri guna menolak keputusan Cologne.
“Pemerintah Jerman harus memperkenalkan undang-undang yang mengecualikan kegiatan khitanan bebas dari hukuman,” kata kepala komunitas Turki di Jerman, Kenan Kolat.
“Selama bertahun-tahun, kami telah memiliki perdebatan tentang aborsi. Aborsi juga merupakan tindakan fisik, tetapi hukum telah mensahkan tindakan aborsi bebas dari tindakan hukum, setelah dikombinasikan dengan konseling… Khitan juga, bisa ada konseling sehingga orang mendapatkan informasi, ” kata Kolat.
Dengan langkah cepat, anggota parlemen nasional pada Juli menyepakati undang-undang baru yang menggarisbawahi sensitivitas mereka atas tuduhan intoleransi dan diskriminasi, terutama terkait orang-orang Yahudi dalam tindakan Holocaust oleh Nazi selama Perang Dunia Kedua.
Kanselir Angela Merkel mengatakan, Jerman berisiko menjadi “bahan tertawaan” jika orang-orang Yahudi tidak diizinkan melaksanakan kegiatan ritual mereka.
Sekitar 120.000 orang Yahudi yang tercatat tinggal di Jerman, bersama sekitar 4 juta Muslim. Umat muslim banyak berasal dari Turki.
Kasus hukum seorang anak Muslim yang menderita pendarahan setelah disunat, pengadilan Cologne mengatakan, praktik tersebut timbul akibat kekerasan fisik dan tidak boleh dilakukan pada anak laki-laki, tetapi dapat dilakukan pada orang dewasa dengan persetujuan.*