Oleh: Abdullah al-Mustofa
WACANA “Islam Nusantara” kini tidak hanya kian marak dibicarakan dan dibahas, tapi juga kian marak “disyiarkan” dan “diamalkan’ oleh kelompok liberal.
Salah satu “syiar” dan “pengamalan” wacana tersebut yang paling fenomenal adalah pembacaan ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan langgam Jawa pada acara Isra’ Mi’raj di Istana Negara baru-baru ini.
Tidak cukup dan puas di acara itu, pembacaan Al-Quran dengan langgam Jawa berlanjut di acara “Ngaji Qur’an Langgam Jawa & Pribumisasi Islam” yang digelar oleh Majlis Sholawat GUSDURian di Pendopo Hijau Yayasan LKiS di Sorowajan (Rabu, 27/05/2015).
Islam Hanya dan Cukup Satu
Allah Subhanahu Wata’ala telah menciptakan dan menentukan bahwa agama Islam itu hanya ada satu. Agama yang diterima dan didakwahkan oleh semua Nabi dan Rasul adalah agama Islam yang satu. Demikian juga halnya yang diterima, diajarkan dan disebarluaskan oleh Penutup para Nabi dan Rasul yakni Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Semua Nabi dan Rasul tidaklah berasal dari, mukim dan berdakwah di satu tempat yang sama. Di antara mereka juga selama hidup berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal itu tidak membuat terbaginya agama Islam yang mereka ajarkan berdasarkan wilayah atau suku bangsa.
Sebagai contoh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Beliau as lahir, besar dan berdakwah di suatu tempat bernama Faddam A’ram di dalam wilayah kerajaan Babilonia. Lalu berpergian ke dan menempatkan Hajar dan Ismail di tempat yang sekarang bernama Makkah.
Tapi beliau tidaklah menciptakan dan mendakwahkan beragam Islam sesuai dengan nama tempat, wilayah atau suku bangsa dimana pernah beliau tempati dan kunjungi. Demikian pula pada masa para Nabi dan Rasul lainnya. Sehingga tidak ada Islam Mesir, Islam Syam, Islam Saba’, Islam ‘Aad dan Islam Madyan, Islam Tsamud dan lain sebagainya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mukim dan berdakwah di Makkah dan Madinah. Beberapa shohabah radhiyallahu ‘anhum pada masa hidup dan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mukim dan berdakwah di dalam bahkan di luar wilayah apa yang sekarang disebut negara-negara Arab atau Timur Tengah. Tapi tidak muncul istilah Islam Makkah, Islam Madinah, Islam Hijaz, Islam Mesir, Islam Syam, Islam Iraq, Islam Khurasan, Islam Yaman, Islam Persia, dan lain sebagainya.
Di dalam Al-Quran penyebutan agama Islam hanya mengacu kepada satu Islam. Tidak ditemui di dalam sumber pertama dan utama ajaran Islam tersebut ayat-ayat yang menyebut beragam agama Islam baik yang diembel-embeli dengan nama suku maupun lainnya seperti nama tempat atau seseorang.
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآَيَاتِ اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS: Ali Imron [3]: 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS: Ali Imron [3]: 85)
Hal yang sama juga berlaku di dalam sumber pokok kedua ajaran Islam, yakni Alhadits.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadlan”. (HR. Bukhori Muslim)
“Islam Nusantara” adalah hasil kreasi baru yang muncul dan sengaja dimunculkan di Indonesia baru-baru ini. Momentumnya pas atau memang sengaja dipaskan yakni setelah dan ketika terjadi apa yang disebut dengan terorisme atas nama Islam dan radikalisme agama Islam baik yang terjadi di Timur Tengah maupun di negara-negara selainnya.
Kedua hal tersebut dijadikan atau menjadi alasan, legitimasi dan anti-tesis bagi di-muncul-kan dan menyebarnya (disebarluaskannya) wacana “Islam Nusantara” yang diklaim sebagai Islam yang ramah terhadap non Muslim, toleran, moderat, damai, cinta damai, rohmatan lil ‘alamin dan “wasathon” (adil dan pertengahan). (Baca “Islam Nusantara”, Makhluk Apakah Gerangan? [1])
Islam sudah sempurna dan lengkap sehingga otomatis bersifat, berisi ajaran dan mengajarkan umatnya aspek-aspek yang diklaim “Islam Nusantara” yakni ramah kepada non Muslim, cinta damai, moderat, toleran, damai, rohmatan lil ‘alamin, adil dan pertengahan. Sehingga Islam itu hanya ada dan cukup satu, dan “Islam Nusantara” atau “Islam-Islam” lainnya seperti Syi’ah dan sekte-sekte sesat lainnya – baik yang diklaim sebagai bagian maupun bukan bagian dari Islam – tidaklah perlu dan tidak juga diperlukan bahkan mubadzir.
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan potongan ayat di atas dengan penafsiran bahwa hal ini adalah nikmat terbesar yang dianugerahkan Allah Azza wa Jalla kepada umat ini dimana Allah Subhanahu Wata’ala telah menyempurnakan agama mereka. Dengan demikian mereka tidak memerlukan agama selain Islam. Lebih lanjut dan tegas Ibnu Katsir menjelaskan tidak ada agama kecuali yang telah Allah Subhanahu Wata’ala syari’atkan.
Ibnu ‘Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan kata diin itu adalah Islam. Ibnu ‘Abbas melanjutkan penjelasannya bahwa Allah Subhanahu Wata’ala telah menyempurnakannnya, sehingga tidak membutuhkan penambahanَ dan pengurangan.
Mengapa Berani Menentang?
Dengan adanya sebagian warga negara Indonesia baik pejabat negara, pejabat militer maupun rakyat jelata yang tidak atau belum melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara sempurna bukan berarti perlu dan dibenarkan memecahbelah negara Indonesia menjadi banyak negara bagian apalagi negara tersendiri. Hal yang perlu dan dibenarkan adalah lebih mengintensifkan pendidikan kewarganegaraan. Gerakan menentang “NKRI Harga Mati” disebut sebagai gerakan separatisme. Sedangkan pelakunya baik perorangan maupun kelompok masyarakat dilabeli sebagai separatis dan penentang pemerintah, serta mendapatkan sanksi hukum berupa penjara bahkan bisa hingga hukuman mati.
Logika yang sama juga (harus) berlaku bagi Islam. Dengan adanya sebagian Muslim yang tidak atau belum menjalankan Islam secara kaffah sehingga dalam hal ini tidak atau belum ramah terhadap non Muslim, toleran, berdamai, cinta damai, adil dan moderat dalam prespektif yang benar menurut Islam – apalagi jika menurut perspektif “Islam” Liberal -, bukan berarti perlu dan dibenarkan menciptakan Islam yang baru atau membagi-bagi Islam menjadi banyak Islam.
Hal yang perlu dan dibenarkan untuk dilakukan adalah lebih mengintensifkan pendidikan dan dakwah Islamiyah dengan memberikan pemahaman yang benar dan lurus. Gerakan menentang “Satu Agama Islam Harga Mati” yakni membagi-bagi Islam menjadi banyak agama Islam atau menciptakan agama Islam yang baru tapi diharapkan masih menjadi bagian dari Islam bukanlah sekadar perbuatan menistakan agama Islam, tapi juga menentang Allah dan Rasul-Nya. Para penentang Allah dan Rasul-Nya akan mendapatkan hukuman berupa adzab di neraka.
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ
“Tidaklah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka jahannamlah baginya, kekal mereka di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.” (QS, at-Taubah [9]: 63)
Siapakah kaum munafiq kontemporer di Indonesia? Mereka tidak lain adalah kaum “Islam” Liberal dan para simpatisannya. Jika dikatakan merekalah yang menjadi penggagas, pengusung, pendukung, penyebar dan “pengamal” wacana “Islam Nusantara” (dan wacana lainnya yang senada seperti Pribumisasi Islam) sangatlah tepat dan logis karena wacana-wacana nyleneh seperti itu adalah buah dari gerakan sekularisasi dan liberalisasi agama.
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin dalam mengkritisi maraknya gerakan sekularisasi dan liberalisasi agama di Indonesia mengatakan bahwa atas nama kearifan lokal kini seluruh urusan agama dipaksakan akan dilokalkan, mulai dari munculnya istilah Islam Nusantara hingga ke qiroatul Qur’an dengan langgam Jawa.
“Umat Islam harus berhati-hati, ini semua adalah buah dari pemikiran sekular dan liberal.” tegasnya. (Baca Al-Qur’an Dibaca Untuk Menambah Iman, Bukan Sibuk Berlanggam)
Jikalau kaum munafiq kontemporer di Indonesia sering menyatakan “NKRI Harga Mati” mengapa berani menentang “Satu Agama Islam Harga Mati”?
Penulis adalah anggota Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Kediri Jatim