MANUSIA yang takabur menciptakan keburukan di atas keburukan. Takaburnya sendiri telah merupakan keburukan, selanjutnya dengan sikap takabur sesungguhnya ia memaksa orang lain memendam rasa dendam dan antipati terhadapnya, bahkan menghina dan mencaci makinya. Kalau itu tidak di hadapannya (si mutakabbir) dan dengan suara keras, maka di belakangnya dengan suara sayup atau di dalam hatinya.
Hanya di satu tempat dibenarkan seorang bertakabur membuat-buat kebesaran pada diri sendiri, yakni di hadapan orang lain yang bertakabur terhadapnya. “Bertakabur atas orang-orang yang bertakabur adalah sedekah”.
Bertakabur terhadap mereka dimaksudkan agar yang bersangkutan menyadari dirinya dan tidak berlarut dalam keangkuhannya. Itu pula sebabnya berjalan dengan angkuh saat peperangan, dibenarkan oleh Rasul Shalallaahu ‘Alahi Wasallam. Beliau sambil memperhatikan seorang yang berjalan angkuh saat berkecamuknya peperangan bersabda, “Sesungguhnya ini adalah cara jalan yang dibenci Allah, kecuali dalam situasi seperti ini.”
Tapi sekali lagi itu adalah takabur, atau membuat-buat kebesaran pada diri sendiri, bukannya lahir dari kibir (keangkuhan) yang ada di dalam hati, karena sabda Nabi, “Tidak akan masuk surga seseorang yang terdapat di dalam hatinya sebesar zarrah keangkuhan.”
Kalau sifat kibriya’ Tuhan akan Anda teladani, maka camkanlah pandangan Imam Ghazali berikut ini menyangkut manusia yang mutakabbir: “Yang mutakabbir dari hamba-hamba Allah adalah yang zahid menjauhkan diri dari kenikmatan dunia lagi arif. Zuhudnya seorang arif adalah dengan melepaskan diri dari apa yang dapat menyibukkan dirinya menyangkut apa yang diperebutkan makhluk. Memandang diri lebih besar dan agung dari segala sesuatu kecuali Allah, dan dengan demikian ia akan memandang kecil dunia dan akhirat, sehingga ia berada dalam posisi tidak disibukkan oleh keduanya dari memandang kepada Allah.
Ada pun zuhudnya manusia yang belum arif, maka ia berinteraksi dalam bentuk pertukaran. Dia membeli akhirat dengan kenikmatan duniawi, dia meninggalkan sesuatu yang bersifat sementara untuk memperoleh yang berlipat ganda dan bersifat langgeng di akhirat sana. Interaksinya adalah membayar dahulu dan menerima barangnya kemudian. Ada pun yang diperbudak oleh syahwat makanan dan pernikahan, maka dialah yang hina –kalau yang demikian itu selalu dilakukannya. Hamba Allah yang mutakabbir, adalah yang memandang hina dan rendah semua syahwat dan perolehan yang dapat diraih juga oleh binatang.
Jika tak mampu melakukan yang demikian, maka jauhkan diri dari sifat takabur dan lupakan dahulu upaya meneladani Allah dalam sifat-Nya itu.
Ya Allah, aku mohon kepada-Mu, dengan nama-Mu yang suci, serta keagungan dan kebesaran-Mu yang bila dimohonkan kebajikan dengannya diperoleh kebajikan itu. Bila ditolak keburukan dengan menyebutnya terjauhkan keburukan itu. Ya Allah hindarkanlah aku dari segala keburukan, campakkanlah ke dalam jiwaku keindahan-Mu serta sifat-sifat-Mu yang terpuji, agar tunduk dengannya semua kalbu, serta luluh semua jiwa, sejuk karenanya semua mata dan tenang semua pikiran, lagi tunduk merendah semua yang angkuh dan pembangkang. Wahai Tuhan, Ya Mutakabbir Ya Qahhar. Wa Shalallaahu ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa ‘Ala Alihi Wa shahbihi Wa sallam”.*/M. Quraish Shihab, tertuang dalam bukunya Menyingkap Tabir Ilahi.