AL-MUTAKBBIR sebagai sifat Allah, sebagaimana halnya Al-Jabbar, tidak ditemukan dalam Al Qur’an kecuali sekali, yakni dalam surat Al-Hashr ayat 23.
Kata ini terambil dari akar kata yang mengandung makna kebesaran serta lawan dari kemudaan atau kekecilan. Mutakabbir biasa diterjemahkan dengan “angkuh.”
Sementara ulama berpendapat bahwa makna asal dari kata ini adalah “keengganan” dan “ketidaktundukan”. Jadi Allah yang bersifat “Mutakabbir” adalah Dia yang enggan untuk menganiaya hamba-hamba-Nya.
Sedang pakar bahasa berpendapat bahwa kata mutakabbir berarti Yang Maha besar, karena menurut mereka huruf ta’ dalam bahasa Arab biasanya jika disisipkan pada kata, maka ia mengandung makna takalluf (kesengajaan membuat-buat), sedang Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Suci dari sifat kesengajaan membuat-buat kebesaran. Mengapa pula Dia bertakalluf atau membuat-buatnya, padahal pada hakekatnya Dia Maha Besar lagi Maha Agung, serta menyadang kibriya?
Karena itu hanya manusia yang takabur, bukan Allah. Ketika manusia angkuh dan menyombongkan dirinya, maka ia pada hakekatnya membuat-buat kebesaran itu untuk dirinya. Bukanlah kebesaran tidak dimilikinya?
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa Al-Mutakabbir adalah yang memandang selainnya hina dan rendah, bagai pandangan raja kepada hamba sahayanya, bahkan merasa bahwa keagungan dan kebesaran hanya miliknya. Sifat ini tidak mungkin disandang kecuali oleh Allah, karena hanya Dia yang berhak dan wajar bersikap demikian.
Setiap seseorang memandang keagungan dan kebesaran hanya miliknya secara khusus tanpa selainnya, maka pandangan tersebut salah, kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Demikian Al Ghazali.
Namun perlu dicatat bahwa sifat kibriya’ ini ditujukan oleh-Nya kepada mereka yang angkuh, yang memandang serta memperlakukan selainnya hina dan rendah.
Manusia sangat tercela bila memiliki sifat takabur. Betapa ia akan takabur, padahal asalnya adalah nuthfah yang menjijikkan, akhirnya menjadi bangkai yang menyebalkan. Dan masa antara awal dan akhir hidupnya membawa urine dan kotoran yang menusuk baunya. Hai manusia jangan berjalan dengan keangkuhan… kakimu tidak dapat menembus bumi, dan ketinggianmu tidak dapat menyentuh langit!
Manusia yang takabur menggabungkan dalam dirinya kebodohan dan kebohongan. Kebodohan karena dia tidak mengetahui bahwa kebesaran hanya milik Allah sehingga akibat kebodohannya dia menduga dirinya besar. Selanjutnya dia melakukan kebohongan, karena dengan takaburnya ia membohongi dirinya sendiri sebelum orang lain.
Bukankah takabbur membuat-buat kebesaran pada diri yang pada hakekatnya tidak pernah wujud?*/M. Quraish Shihab, tertuang dalam bukunya Menyingkap Tabir Ilahi. [Tulisan berikutnya]