HANYA dalam waktu sekitar 20 menit aula di sebelah kiri ruang shalat utama di Masjid Raya London Timur (East London Mosque), Whitechapel, langsung terisi oleh tak kurang dari 500 orang.
Sebagian besar memang warga Inggris. Tapi ada juga yang berasal dari Mesir, Somalia, Nigeria, Malaysia, Singapura, Indonesia, India, Pakistan, Bangladesh, dan beberapa negara lain.
Pengurus masjid menyebutnya sebagai “buka puasa internasional” karena mereka berasal dari berbagai negara. Seorang relawan yang biasa membantu kegiatan masjid mengatakan ini adalah “buka puasa komunitas dunia”.
Mereka duduk lesehan menanti adzan Maghrib. Di hadapan mereka: kurma, air putih, nasi biryani hangat (biasanya dicampur daging ayam atau kambing), dan buah segar yang terdiri dari anggur dan semangka.
Setelah beberapa lama menunggu, terdengar suara adzan, yang menandakan berakhirnya puasa panjang. Sebab, Ramadhan tahun ini, seperti halnya tahun lalu, jatuh pada musim panas.
“Ini buka puasa pertama saya di East London Mosque… enak suasananya,” kata warga London yang baru tiba dari Malaysia, seperti disiarkan BBC, Senin (27/6/2016).
London, meski berstatus sebagai kota besar, bisa menjadi kota yang membuat “hati menjadi merasa kesepian”. Suasana komunitas seperti yang terlihat di masjid ini bisa menjadi obat.
Makanan berbuka disediakan secara cuma-cuma dan berasal dari donasi masyarakat.
Imam masjid, Sheikh Abdul Qayum, mengatakan mereka yang mampu sangat dianjurkan untuk memberi makanan berbuka puasa, terutama bagi orang-orang yang sangat memerlukan.
“Jika Anda diberi kelonggaran untuk menyediakan makanan berbuka puasa, gunakanlah kesempatan itu. Pahalanya akan sangat besar,” kata Qayum dalam tulisan khusus di majalah Ramadan yang diterbitkan East London Mosque.
Suasana Ramadhan yang kental tak hanya terasa di dalam masjid.
Ketika keluar dari stasiun kereta Whitechapel, langsung terlihat aneka promosi Ramadhan, misalnya restoran menawarkan paket berbuka puasa dan menempatkan meja-meja khusus berisi makanan yang dijual untuk dibawa pulang.
“Ini khusus selama Ramadan saja karena memang biasanya permintaan lebih banyak dari hari-hari biasa,” kata penjaga restoran Diana Fish and Chips.
Restoran ini utamanya memang menjual ikan dan kentang goreng, tapi juga ada ayam goreng, ayam bakar, samosa, dan kebab. Juga aneka kudapan manis.

Tak jauh dari restoran Diana, hanya berjarak 15 meter saja, ada restoran Feast and Mishti, yang menyediakan lebih banyak alternatif.
Beberapa orang antre untuk membeli ayam goreng dan ayam panggang dalam aneka porsi. Satu ayam utuh -yang siap santap- dijual £5 atau sekitar Rp95.000, sementara yang potongan kecil dijual £2.
“Saya ingin ayam utuh satu,” kata seorang ibu berkerudung.
Di belakangnya terdapat tak kurang dari enam orang yang antre. Mereka tampaknya baru saja pulang kerja jika menilik dari pakaian formal yang dikenakan.
Kembali ke soal puasa panjang, yang kurang lebih berdurasi selama 19 jam, salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh warga non-Muslim adalah bagaimana bisa kuat tanpa makan atau minum selama 19 jam?
Untuk pertanyaan ini Wali kota London, Sadiq Khan, yang Muslim, mengatakan dalam tulisan di koran The Guardian, “Kadang kita dibuat takjub dengan kemampuan tubuh kita.”
Dengan kata lain, Khan ingin mengatakan bahwa berpuasa 18,5 hingga 19 jam sebenarnya tak seberat yang dibayangkan.
Bagi Pak Wali Kota, yang berat bukan soal menahan makan tapi soal kopi. Ia mengakui sebagai peminum kopi dan sering kali kopi menemaninya saat menghadiri pertemuan.
“Makanya untuk menyesuaikan diri saya sudah mengurangi asupan kopi sebelum Ramadhan tiba,” katanya.*