Oleh: Nuim Hidayat
KETIKA masa reformasi memang Amien Rais dielu-elukan. Amien yang fasih dalam bicara social dan politik, menjadi magnet bagi mahasiswa dan masyarakat untuk mengakhiri pemerintahan Soeharto.
Bagaimana pandangan tokoh-tokoh Islam, terutama Masyumi dalam hal ini? Kebetulan penulis saat itu menjadi wartawan Media Dakwah, sedikit banyak memahami pandangan tokoh-tokoh itu tentang reformasi.
Setelah reformasi bergulir, Mansur Suryanegara pernah berceramah di ruang bawah masjid Istiqlal. Ia dengan tegas menyatakan bahwa reformasi ini adalah istilah Katolik. Penulis sendiri yang sempat mengamati gerakan awal reformasi ini bergulir,
khususnya di UI, memang yang terlibat dalam demo-demo menyerukan reformasi bukanlah mahasiswa aktivis Lembaga Dakwah Kampus. Di UI Salemba, saat itu terlihat mahasiswa-mahasiswa tidak berjilbab dan ‘mahasiswa non Islam’ yang meneriakkan ‘reformasi-reformasi’.
Tokoh-tokoh yang bergerak di kampus-kampus juga bukan tokoh mahasiswa Islam. Tapi jaringan Famred dan ‘kelompok-kelompok kiri’ lainnya. Di sisi lain kelompok non Islam juga mengkhawatirkan adanya kelompok Islam yang mulai mayoritas menguasai negeri ini. Munculnya Bank Muamalat, Republika, ICMI dan naiknya jenderal-jenderal Muslim sangat mengkhawatirkan mereka. Mereka yang sebelumnya menguasai negeri Islam ini, merasa terganggu dengan naiknya Muslim ke panggung militer dan politik. Kelompok-kelompok LB Moerdani tidak rela kelompok Prabowo-Wiranto-Feisal Tanjung dan lain-lain mewarnai militer yang selama ini mereka kendalikan.
Kelompok The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang banyak tokoh Katolik, mereka tersingkirkan setelah Seoharto dan Habibie merestui pembentukan ICMI.
CSIS menggandeng Gus Dur untuk melawan ICMI dengan membentuk diantaranya ‘Fordem’ (Forum Demokrasi). Ketika kelompok politik Islam semakin kuat, maka mereka mulai membentuk strategi yang serius untuk menumbangkan Soeharto.
Kebetulan Amien juga getol sejak 2003 telah mengkritisi Soeharto karena Korupsi Kolusi dan Nepotismenya. Bertemulah dua kepentingan itu. Kelompok non Islam yang ingin menggulingkan Soeharto karena terlalu dekat dengan Islam, dan kelompok pak Amien yang ingin menjatuhkan Soeharto karena KKN-nya.
Soeharto meski mulai mengambil kebijakan yang menguntungkan Islam, tapi ia tidak mencegah anak-anaknya terus bergelimangan dengan harta. Hal itulah yang menyebabkan banyak masyarakat marah terhadapnya.
Agendanya tentu lain. Kelompok non Islam (kelompok kiri, abangan dll), ingin menjatuhkan paket Soeharto-Habibie. Kelompok Amien ingin menjatuhkan Soeharto saja. Tentu bagi kelompok non Islam ini sudah sangat menguntungkan. Karena mereka melihat yang kuat kekuasaannya adalah Soeharto bukan Habibie. Mereka mempunyai strategi selanjutnya menggulingkan Habibie. Dan itu terbukti setelah Habibie memimpin negeri ini, mereka berteriak lantang menolak laporan pertanggunganjawabnya dalam Sidang MPR.
Penulis yang sempat menyaksikan demo-demo di Universitas Gunadarma dan UI, melihat betul bahwa yang menyerukan dan menggalang demo-demo itu bukan dari kelompok Islam. Bahkan ketika penulis melihat langsung mereka menduduki DPR/MPR penulis mendengar adanya bis rombongan GMKI (Gerakan Mahasiswa Katolik Indonesia) datang. Penulis kala itu ikut melihat dan mengamati langsung aksi-aksi demo yang marah kepada Soeharto berhari-hari.
Penulis juga sempat ke Center for Policy and Development Studies (CPDS) saat itu yang diketuai Fadli Zon. Fadli saat itu memang dikenal dekat dengan jenderal-jenderal Islam, termasuk anak Soeharto, Mbak Tutut (Siti Hardijanti Rukmana).
Fadhli Zon dikenal tokoh muda yang hebat. Dalam usia muda itu ia sudah membawahi para professor dan doktor. Ia dipercaya Prabowo ketika Prabowo menjadi Danjen Kompasus. Dan hubungan Prabowo dan kalangan Islam saat itu sangat dekat.
Prabowo juga dekat dengan Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Dewan Dakwah. Ditengarai kedekatannya dengan Islam itulah maka tidak heran ketika reformasi berlangsung Prabowo menjadi kambing hitam, baik di internet maupun media-media cetak.
Waktu itu KISDI dikomandani oleh tokoh-tokoh Islam: Ahmad Sumargono, Hussein Umar, KH Cholil Ridwan (sekarang di MUI) dan KH Rasyid Abdullah Syafii.
Penulis ingat ketika reformasi mengalami puncaknya, diadakan rapat untuk menggalang demo dari kelompok Islam yang dipimpin KH Cholil Badawi (alm). Saat itu kumpul tokoh-tokoh (alm) Ahmad Sumargono dan lain-lain. Mereka membuat agenda bahwa bila Soeharto turun, maka BJ Habibie harus naik. Saat itu dibagi beberapa kelompok dari masing-masing Ormas untuk menggalang kekuatan dan demo besar-besaran untuk menyerbu Gedung DPR/MPR dan mengosongkan massa di sana.
Ketika awal reformasi itu digulirkan, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, (alm) Anwar Haryono telah mewanti-wanti ‘jangan menari di atas gendang orang lain’, tapi nampaknya sebagian tokoh Islam tidak mendengarkan. Wallaahu aliimun hakiim.*/(bersambung)
Penulis Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonsia (DDII) Depok, Jawa Barat