Oleh: Furqan Jurdi
“Katakanlah bahwa kebenaran telah datang, dan yang bathil akan runtuh.” Itulah adegium kita rakyat Indonesia untuk memasuki pertarungan politik tahun 2019. Karena sejatinya dalam negara moderen dan demokratis, untuk “memotong” kebathilan hanya dengan momentum politik nasional.
Karena, bagi semua keyakinan, kebathilan itu jahat dan ia menjadi sumber segala malapetaka. Sementara bertahan atau hancurnya kebathilan tergantung dari yang memiliki kekuasaan dan yang memegang kekuasaan.
Maka, fundamen utama dari hancurnya kebathilan adalah sistem kehidupan kebangsaan kita. Selama sistem itu baik maka kebathilan akan sulit untuk menemukan tempatnya, namun apabila sistem itu buruk, kebathilan akan memimpin kehidupan manusia.
Marilah kita melihat fenomena kehidupan kebangsaan kita sekarang ini, sebagai alat untuk mengukur kebathilan itu ada atau tidak, memimpin jalannya negara atau tidak?
Keadilan tak Sepenuhnya di Tegakkan
Fenomena pertama yang harus kita lihat adalah masihkah ada keadilan atau tidak? Keadilan ini penting, untuk menumbuhkan kehidupan kenegaraan yang maju. Tanpa keadilan, sebuah negara akan melahirkan kediktatoran dan kewenang-kewenangan, ketidakpuasan. Efeknya, yaitu retaknya kohesi sosial, munculnya gerakan-gerakan politik yang merasa tidak terwakilkan aspirasinya, dan berujung pada kecurigaan antar sesama anak bangsa.
Fenomena kecurigaan dan retaknya kohesi sosial semakin nampak dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab yang memegang kekuasaan tidak terlalu memperhatikan keadilan, yang dipentingkan adalah distribusi kekuasaan untuk kelompok-kelompok tertentu sebagai bentuk politik balas budi.
Bagi penguasa membangun Infrastruktur adalah jalan bagian dari mendistribusikan pembangunan secara merata. Hal ini positif, tapi keadilan itu bukan hanya berbentuk fisik belaka, ia berada di dalam sanubari dan menyentuh perasaan warga negara. Kalau infrastruktur dianggap sebagai pemerataan pembangunan sementara keadilan dibidang hukum sama sekali tidak menyentuh kehidupan masyarakat, maka hancurlah solidaritas sosial.
Rilis Komnas HAM yang kemudian disusul dengan rapot merah bagi pemerintahan Jokowi Dodo dalam bidang Hak Asasi Manusia, merupakan jawaban konkrit bahwa pemerintah gagal menjadikan keadilan sebagai langkah utama untuk membagun masyarakat. Jokowi menurut komnas HAM gagal menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, penanganan konflik agraria, dan penanganan intoleransi, radikalisme, dan ekstrimisme dengan kekerasan.
Bahkan gencarnya pembangunan infrastruktur, menimbulkan banyak penggaran HAM, pengaduan masyarakat tentang hal ini sangat banyak. Komnas HAM juga mencatat penanganan konflik sumber daya alam (SDA) seperti kasus perkebunan, pertambangan dan kehutanan. Komnas HAM menyayangkan sikap pemerintah yang tidak membentuk lembaga penyelesaian konflik agraria dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Komnas HAM memberikan nilai 40 untuk isu penyelesaian konflik agraria. Masih ada tindakan kriminalisasi kepada warga yang melakukan upaya untuk memperoleh hak atas tanah, termasuk anggota masyarakat hukum adat. Komnas HAM menyayangkan tidak adanya sistem yang dibuat oleh pemerintah untuk menyelesaikan konflik agraria tersebit.
Komnas HAM juga menyoroti kasus intoleransi dan pelanggaran atas hak kebebasan bereskpresi. Seperti Tindakan persekusi yang dialamo oleh ulama dan tokoh-tokoh lainnya. Hal itu terjadi karena dilatarbelakangi adanya perbedaan pandangan. Media sosial digunakan sebagai sarana yang ampuh untuk melakukan mobilisasi massa untuk melakukan persekusi.
Kegagalan dari membangun rasa keadilan seperti ini adalah kemenangan atas sikap bathil yang selama ini terus menerus terjadi.
Kebathilan Mitologi
Mengutip avengers dalam setiap kali pidatonya, Presiden sedang membawa bangsa ini miskin identitas diri dan menampilkan ketakutan dan perang tanpa solusi. Ia menjelaskan thanos akan menghancurkan, tapi ia punya kawan avenggers. Ini semacam khayalan dan mitologi. Sementara mitologi itu adalah kebathilan, dan menggunakan mitologi adalah menggunakan kebathilan. Kegagalan yang pernah dialami oleh umat manusia yang menyebabkan hancurnya ilmu pengetahuan adalah, kegagalan membedakan ilmu pengetahuan dan mitologi, itu terjadi sekitar abad 4-5 M.
Padahal Pemimpin yang besar disebuah bangsa besar harus memiliki pikiran rasional dengan narasi besar, tidak akan mengambil apapun dari mitologi itu kecuali untuk melengkapi cerita, bukan menjadikan mitologi itu sebagai tujuan. Karena pemimpin besar ia tidak akan menggunakan apapun selain dari identitas bangsanya untuk ditampilkan kehadapan publik internasional. Tapi memang kelihatannya presiden sudah dicolok matanya dengan mitologi dan barang import luar negeri. Indonesia terlalu banyak menjajakan barang import daripada mengekspor barang, akhirnya pengeluaran lebih banyak daripada pemasukan, bangkrutlah negara kita.
Jadi kalau negara hanya mengandalkan import, baik dari segi ekonomi maupun budaya, maka yang paling pasti negara itu akan bangkrut. Yaitu bangkrut dibidang ekonomi, miskin dibidang budaya, dan tidak memiliki karakter otentik sebagai sebuah bangsa. Jadilah mitologi sebagai narasi kebangsaan kita. Sungguh memalukan.
Padahal bangsa indonesia sebagai bangsa yang besar memiliki kekuatan rohani dan spiritual yang sangat baik dalam menghadapi gejolak politik, ekonomi dan budaya yang sedang terjadi secara internasional.
Sistem pertahanan mental bangsa kita sebagai bangsa ditarik dari sistem mental penjajah. Maka lunturlah nilai budaya, maka budaya kita merosot tajam, akibat ketulusan kita pada kolonialisme moderen.
Bangsa Indonesia ingin membangun, namun yang kelihatan hanyalah keruntuhan kehormatan. Banyak perasaan tidak puas, perkara yang tidak beres, baik itu berkenaan dengan politik, ekonomi, sosial, jalan pemerintahan, administrasi, birokrasi. Kita juga melihat kejatuhan akhlak, kerusakan budi, kejahatan memuncak, kecurangan yang dilakukan dengan terbuka, janji yang tidak ditepati dan kebohongan yang tertangkap basah.
Sumber Pokok kejahatan
Secara vulgar saya mengatakan, bahwa sumber pokok kejahatan itu yang ada karena bentuk buruk pemerintahan negara. Sebab, kekuasaan dan harta kekayaan ada ditangan pemerintah.
Hukum dan UU dibuat oleh pemerintah, semua wewenang administrasi berada ditangan pemerintah. Kekuasatan polisi dan tentara ada ditangan pemerintah. Kalau semua ini dilaksanakan untuk menegakkan yang ma’ruf, dan mencegah kemungkaran, maka akan baiklah kehidupan negara. Akan tetapi kalau semua itu dilaksanakan untuk melakukan kebathilan maka akan terlaksanalah kebathilan itu.
Lihatlah korupsi yang semakin merajalela, penegakan hukum yang tebang pilih, sumber daya alam yang dieksploitasi. Pemerintah diharapkan untuk menegakkan hukum, menjaga sumber daya alam, justru banyak diantara mereka berkolusi dengan bandit dan pengusaha naga.
Pengadilan-pengadilan, institusi-institusi negara kita, telah menjadi bagian dari kerusakan ini, karena sistem yang dibuat hanya untuk sementara dan bersifat uji coba. Semua hanya untuk memuaskan kepentingan sesaat, setelah itu selesai, dan negara menjadi taruhannya.
Kenapa semua itu terjadi? Karena kekuasaan dipegang oleh orang yang salah. Kesewenang-wenangan, menyebabkan semua kebenaran ditutupi dengan angka-angka, tapi kebathilan berlindung dibalik angka-angka.
Surah Ali-Imran ayat 105 dan 110 merupakan cerminan sebuah kelompok, sebuah bangsa, sebuah negara yang baik, negara yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur. Yaitu negara yang mampu menegakkan kebenaran dengan sebenar-benarnya, dan meruntuhkan kebathilan hingga sirna dimuka bumi.
Lalu bagaimana kita bisa mencegah kemungkaran dan menegakkan kebaikan?
Pertama, pemerintah harus dijalankan oleh orang yang benar-benar berpihak kepada keadilan, mengerti mengengola pemerintahan, dan merdeka dihadapan para penjajah. Pemerintah yang diharapkan itu, Mengutip Yusril Ihza Mahendra, “lebih baik mati berdiri, daripada tunduk pada kemauan asing”.
Kedua, momen untuk menghancurkan kemungkaran itu telah dekat, yaitu pergantian kepemimpinan nasional. Apakah rakyat Indonesia masih mempertahankan narasi Bathil Avenggers atau mengambil konsep hidup bangsanya sendiri untuk mencapai kejayaan bangsa Indonesia. Maka pilihan dikembalikan pada rakyat Indonesia.
Ketiga, menegakkan kebenaran adalah jalan lempang, tetapi mencegah kemungkaran adalah jalan curam. Karena kemungkaran selalu memposisikan diri sebagai korban, hingga ia melawan kebenaran. Jadi 2019 pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan yang tegas dan berani untuk menghancurkan kebathilan. Contohnya, LGBT, bersembunyi dibalik HAM, padahal itu penyakit yang akan meruntuhkan bangsa. Pemerintah menganggap mereka korban, padahal mereka adalah kaum bathil sumber bencana.
Keempat, 2019 adalah harapan kita untuk menjadikan negara indonesia sebagai negara yang berkemajuan, dengan berkepribadian Indonesia, jiwa dan semangatnya adalah jiwa dan semangat Indonesia, serta budaya adalah budaya bangsa Indonesia. Hanya dengan itulah Indonesia menjadi negara yang besar. Wallahualam bis shawab.*
Penulis adalah Ketua Umum Komunitas Pemuda Madani