Untuk menuju revolusi mental yang efektif perlu iman yang kokoh, dengan begitu ia akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah
Hidayatullah.com | SEPULUH TAHUN lalu kita kerap mendengar istilah revolusi mental. Revolusi Mental merupakan jargon yang diusung presiden terpilih negeri ini sejak masa kampanye Pemilu 2014, meski belum banyak penjelasan konkret muncul atas frasa itu.
Pemimpin terpilih menyebutkan revolusi mengal sebuah keharusan. Menurutnya, revolusi mental berarti warga Indonesia harus mengenal karakter orisinal bangsa. Indonesia, disebut dia, merupakan bangsa yang berkarakter santun, berbudi pekerti, ramah, dan bergotong royong. Dia mengatakan, karakter tersebut merupakan modal yang seharusnya dapat membuat rakyat sejahtera. (Kompas, 17/10/2014).
Menilik sekilas tujuan dari pemerintah untuk melakukan revolusi mental memanglah baik. Tapi harus ada kesesuaian antara tujuan dengan usaha realisasinya. Ibarat jika kita menggaris dengan penggaris, apabila penggarisnya bengkok, maka hasil garisannya bengkok.
Setelah hampir selesai masa kepemimpinan dua periode sepertinya hasilnya belum memuaskan justru yang terjadi malah cenderung semakin memburuk. Melihat fakta masih maraknya korupsi, kriminalitas, kerusuhan, pergelutan antar kelompok, baik itu antara sipil dengan sipil maupun aparat dengan sipil, ketidakadilan hukum, dst.
Menengok permasalahan yang begitu pelik, bisa dikata penyakit stadium empat, maka sudah saatnya negeri ini perlu melirik jalan Islam sebagai satu-satunya solusi terbaik. Sebab jika solusi yang ditawarkan masih menggunakan paradigma selukerisme, kapitalisme, liberalisme, atau mencoba mencicipi nuansa komunisme, atah bahkan aliran kemusyrikan, maka itu adalah solusi yang bengkok.
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْۤ اَنْزَلَ عَلٰى عَبْدِهِ الْكِتٰبَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَّهٗ عِوَجًا
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok.“(QS. Al-Kahf: 1)
Islamlah satu-satunya solusi yang tidak bengkok alias lurus. Sekulerirme, kapitalisme, psikologi Barat khususnya yang bertentangan dengan ajaran Islam komunisme adalah ‘iwajan (bengkok).
Apa masalahnya?
Membahas mental maka ini berkaitan dengan bagian dari jiwa manusia, dalam khazanah Islam biasa disebut An-Nafs, Nafsiyyah. Dewasa ini lebih populer dengan ilmu psikologi manusia.
Kenapa muncul maraknya kenakalan remaja, tak kalah pula sejatinya juga marak kenakalan orang tua. Mulai dari pergaulan bebas, perzinahan, miras, perampokan, kerusuhan, hingga pembunuhan.
Para praktisi psikologi berlomba mencari penyebab prilaku tersebut lalu membuat solusi yang tepat berdasarkan ilmu yang mereka miliki. Hasil teori yang mereka pakai kebanyakan mengambil dari pemikir-pemikir barat yang beraliran sekuler atau memisahkan agama dari ilmu pengetahuan.
Contoh kasus dari penggunaan teori Barat yang sekuler adalah ketika puasa dijadikan sebagai terapi bagi prilaku negatif dan yang terganggu jiwanya, sementara arti dari puasa itu sendiri tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti yang diungkapkan Jamaludin Ancok yang mengutip pendapat Cott yang meyakini bahwa puasa bisa menyembuhkan penyakit jiwa, tetapi pengertian puasa memurut Alan Cott boleh minum air. Tentu hal ini bertentangan dengan ajaran agama Islam yang mendefinisikan puasa sebagai ibadah menahan dari segala apa yang membatalkan puasa termasuk di dalamnya minum (Djamaludin Ancok, 1994:57-58).
Padahal diantara upaya kalangan liberal-sekuler untuk meminggirkan agama adalah memisahkan etika dan moral dari agama dengan menghancurkan salah satu pilar agama, yaitu akhlaq. Lalu ada ungkapan populer yang sering mereka lontarkan; “It’s better to be moralist rather than religious”. Bagi mereka “tidak penting beragama dan tidak perlu berperilaku menurut salah satu ajaran agama tertentu, berbuat baik untuk sesama itu lebih mulia.” (Hamid Fahmy Zarkasyi, 2017)
Penelitian para pakar psikologi boleh jadi ada benarnya, tapi jika tidak dirujuk pada akar persoalan utamanya maka juga tidak dapat ketemu solusi mendasarnya. Sebagai contoh hasil temuan para psikolog; orang suka tawuran karena waktu kecil hidup dalam lingkungan keras, orang gemar memukul orang karena semasa kecil sering dipukul, suka mencuri karena semasa kecil hidup susah, dan seterusnya.
Bisa jadi analisa ini benar, tapi jika tidak dikaitkan dengan agama maka juga mendapatkan solusi yang mujarab. Sebab meskipun sejak kecil hidup susah misalnya, juga tidak otomatis membuatnya menjadi pencuri ketika keyakinannya kokoh terhadap Dzat Yang Maha Mengawasi. Apalagi tidak sedikit koruptor yang tertangkap, sejak kecil hidupnya nemiliki track record dari kalangan kecukupan.
Solusi revolusi mental
Maka untuk memperoleh hasil revolusi mental diperlukan langkah-langkah yang merujuk kepada jalan Islam. Karena Sang Pencipta tentu lebih tau apa yang dibutuhkan oleh makhluk-Nya.
Pertama: Iman yang Kokoh
Karena itu untuk menuju revolusi mental negeri ini yang efektif maka setidaknya diperlukan. Keteguhan Iman yang kokoh menjadi pondasi dalam membentuk mental manusia yang baik. Dengan begitu ia akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah, berharap pahala disisi Allah ketika ia menjadi insan yang lebih baik, serta takut melakukan hal-hal yang dimurkai-Nya.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani Rahimahullah dalam Nidzamul Islam, juga Imam Al-Ghazali rahimahullah dalam Kimiyaus Sa’adah, menjelaskan bahwa perilaku manusia amat tergantung pada presepsinya. Termasuk presepsinya dalam memaknai kehidupan, dari mana manusia hidup?
Untuk apa? dan mau kemana? jika pertanyaan mendasar ini mampu terjawab maka akan mendorong manusia untuk menjadi insan yang cemerlang (mustanir) dalam menjalani kehidupan.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24).
Ketika menafsirkan ayat ini para ulama menjelaskan yang dimaksud kalimat yang baik adalah kalimat “Lailahailallah Muhammadurrasulullah”.
Kedua: Lingkungan yang baik
Keberadaan teman atau lingkungan yang baik akan membantu kondisi mental seseorang. Sebagaimana kata hikmah; sifat itu menular. Dalam sebuah hadits shahih:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً “
Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: “Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk.”(HR. Bukhari).
Ketiga: sistem yang baik
Selain lingkungan dalam lingkup mikro yang baik, diperlukan pula lingkungan dalam lingkup makro yang baik. Yaitu sistem Islam, sistem yang menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Karena tak bisa dipungkiri pengaruh kehidupan sekulerisme-kapitalisme telah mendorong manusia untuk menjauh dari Allah. Akses pendidikan yang mahal dalam membentuk taraf berfikir masyarakat, pun ditambah dengan kurikulum pendidikan yang tidak kondusif untuk keimanan jika kurikulum didasari sekulerisme-kapitalisme, kebudayaan Barat yang menyajikan berbagai hiburan yang melenakan dan mengganggu keimanan, dst.
Ikatan masyarakat juga sangat nempengaruhi. Ikatan aqidah Islam adalah ikatan yang paling kokoh dibanding dengan ikatan nationalism maupun kedaerahan.
Sebab ikatan kedaerahan maupun nationalism cenderung berubah-ubah dan temporal. Ia akan kuat jika mendapat tantangan bersama. Namun memudar saat kondisi kembali normal.
Ambil contoh beberapa gerakan-gerakan yang ingin memisahkan dari negara. Seperti RMS dan lainnya. Di antara pemicu perseteruan panas antar pendukung bola (bukan kasus Malang) juga diakibatkan ikatan ini.
Disamping sebuah masyarakat yang baik dibutuhkan punishment, karena tidak semua manusia dapat didakwahi dengan pemikiran (aqidah & syariah), maka yang tidak dapat didakwahi dengan pemikiran butuh dikondisikan dengan aturan. Itulah yang dicontohkan oleh Bagindan Nabi ﷺsemenjak memimpin di Madinah. Wallahu A’lam.*/Ali Mustofa Akbar, mahasiswa Pasca Sarjana IIM, Ash-Ashofwah Universty Mesir