Oleh: Imam Nawawi
PERNAKAH terbayang, rakyat antusias berbondong-bondong untuk satu keperluan, satu tujuan dan satu harapan, dalam aksi aksi super damai?
Jika pernah ada di muka bumi, maka di antaranya adalah Aksi Super Damai 212 yang terjadi setahun silam dan kini sedang dirayakan oleh mereka yang kala itu merasakan betapa indahnya ukhuwah, betapa berartinya negeri ini, dan terakhir betapa mendesaknya menjaga keutuhan NKRI dengan menjaga supremasi hukum dan penerapan politik nilai dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Hujan yang mengguyur kawasan Monumen Nasional (Monas) kala itu, tidak menyurutkan semangat, bahkan kala hujan semakin deras, semakin kuat semangat kaum Muslimin yang ditandai dengan pekikan takbir secara bergelombang, “Allahu Akbar.”
Terasa sekali kedamaian, ketenangan dan gairah keimanan di dalam dada kala sholat Jum’at kala itu dilaksanakan di bawah guyuran air hujan. Ada optimisme NKRI ke depan akan semakin berjaya memendarkan indahnya nilai-nilai Islam dan mengokohkan identitas kebangsaan negeri dengan dasar negara Pancasila ini.
Sayang seribu kali sayang, nikmatnya persaudaraan semacam ini tidak dirasakan oleh mereka yang justru sebagian besar memimpin negeri ini. Mereka tetap tidak melihat antusiasme itu sebagi sebuah kejaiban, melainkan sebuah gerakan politik tertentu yang digembar-gemborkan dengan dasar dugaan negatif itu sebagai sebuah gerakan yang mengancam keamanan.
Terbukti, sampai hari ini, aparat kepolisian dalam hal ini masih belum move-on. Beragam respon negatif dilontarkan ke permukaan bahwa Reuni 212 adalah tidak perlu, menghabiskan energi bangsa, gerakan yang berujung pada kepentingan politik, dan beragam penilaian negatif lainnya.
Sementara pada saat yang sama, rombongan kaum Muslimin dari berbagai daerah di Jawa yang menuju Monas dengan bus harus tersendat karena ada pemeriksaan dari pihak polisi. Satu persatu penumpang diperiksa, apakah memiliki KTP atau tidak oleh para pengayom masyarakat itu.
Sementara itu, kelelahan dan perjuangan untuk sampai ke Monas tidak saja dialami oleh mereka yang menempuh jalur darat. Dari luar pulau, semisal Lombok Nusa Tenggara Barat, sekelompok pemuda dan pemudi dari satu keluarga bersusah payah berupaya kekeuh ke Monas. Sekalipun Bandara Internasional Praya Lombok ditutup akibat erupsi Gunung Agung, mereka tak berhenti berharap kepada Allah agar 2 Desember 2017 bisa bersilaturrahim dengan ulama dan kaum Muslimin.
Qodarullah, akhirnya dibuka penerbangan malam ke Jakarta via Denpasar. Karena kendala teknis, mereka terdampar di Ngurah Rai. Mereka pun mesti rela tidur di pelataran bandara dan akan melanjutkan perjalanan pagi ini 2 Desember 2017 pada pukul 07.00 WITA.
Pertanyaannya sekarang, apakah mungkin, masyarakat, umat Islam, mau melakukan sebuah pengorbanan sedemikian rupa jika hanya karena urusan politik (yang selalu identik dengan partai politik tertentu)?
Bahkan, mereka menjalani itu semua dengan penuh kebanggaan dan percaya diri. Terbukti dengan banyak akun dari kaum Muslimin yang mengupload kebanggaan mereka ikut serta dalam reuni akbar kaum Muslimin ini. Bahkan, saat mereka tersendat perjalanannya karena pemeriksaan aparat keamanan, mereka menyikapi dengan sangat tenang, tidak terpancing apalagi marah tanpa kendali.
Tidak itu saja, kebanggaan dari mereka yang tidak bisa hadir dalam reuni ini juga sangat luar biasa. Terbukti dengan antusiasme mereka memantau grup WA dan status media sosial lainnya untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan reuni akbar luar biasa tersebut. Apalagi jika bukan karena besarnya harapan acara itu benar-benar memberikan kebaikan bagi negeri ini.
Bahkan ada seorang Muslim sebut saja namanya Ali rela begadang untuk menenami secara online kala mengetahui sahabatnya yang menuju Monas mendapat banyak hambatan. Mulai dari berangkat sampai aksi hari ini berlangsung, Ali tetap berupaya terhubung dengan sahabatnya yang di ikut event dahsyat kemasyarakatan negeri ini.
Sebagian fakta ini rasanya cukup menjadi bukti bahwa umat Islam adalah kelompok mayoritas yang memiliki kepekaan terhadap kedaulatan bangsa ini secara nyata, bukan jargon dimana Pancasila selalu dijadikan alat untuk memukul umat Islam. Namun, inilah jati diri umat Islam yang tak suka menjadikan Pancasila sebagai bahan untuk diperdebatkan, tetapi diimplementasikan.
Teriakan takbirnya mengingatkan mereka akan sejarah negeri ini yang belum sepenuhnya dan seutuhnya merdeka. Terbukti dengan tingkat kesejahteraan rakyat yang sangat rendah bahkan diusia Indonesia telah menginjak angka 70 tahun lebih. Terlebih sekarang, bayangan kekuasaan asing mencengkeram NKRI terasa begitu sangat kuat.
Hari ini, mengingatkan setahun lalu, umat juga membanjiri Masjid Istiqlal dan Monas atas inisiatif sendiri dan biaya sendiri tanpa komando lebih jelas di banding tahun lalu. Ini menunjukkan adanya keresahan bersama yang seharusnya segera ditangkap pesannya oleh pemimpin negeri ini. Bukan disalah-salahkan, digembosi atau dituduh dan dicap tidak benar.
Terakhir jika masih muncul keraguan mengapa aksi 212 sangat penting bagi umat Islam tidak lain karena sebuah dorongan keyakinan, bagaimanapun politik nilai akan menggulung politik praktis yang telah ditunggangi beragam kepentingan asing yang akan merugikan negeri ini.
Sebab dalam politik nilai seperti yang akan kita saksikan hari ini di Monas, ada nilai luhur yang diperjuangkan, ada keyakinan yang ditancapkan dan diteguhkan, ada harapan dan kesiapan jiwa dan raga untuk membelanya sampai terwujud sebagaimana yang dicita-citakan para pendiri bangsa.
Jadi kepada semua pihak, bukalah hati nurani Anda dan temukan indikasi-indikasi kuat bahwa bersatunya kaum Muslimin di Monas pada 2 Desember 2017 adalah cara Tuhan Yang Maha Esa memelihara negeri yang kemerdekaannya adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa serta didorongkan oleh keinginan luhur yang kuat.
Jika tidak, maka bersiaplah tergilas oleh gelombang yang telah Allah ciptakan untuk negeri ini. Gelombang besar yang akan menjaga Indonesia tetap pada identita sejatinya, sebagai negara yang religius, adil, beradab, berkemanusiaan dan berkeadilan.*
Alumni 212