Oleh: Anugrah Roby Syahputra
Beberapa waktu belakangan ini, isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia menyeruak di publik. Hampir setiap hari lini masa media sosial dipenuhi berbagai kabar perihal kembalinya gerakan politik berlambang palu arit ini. Kegaduhan pun tak dapat dielakkan lagi. Sejumlah pihak menuding isu ini sengaja diembuskan pihak tertentu demi kepentingan politik menjelang Pemilihan Umum Legislatif dan Pilpres 2019. Burhanuddin Muhtadi, peneliti Indikator Politik Indonesia (IPI) menegaskan hal tersebut berdasar hasil penelitiannya. Secara umum isu ini dianggap mengganggu elektabilitas kandidat capres petahana dan partai politik pengusungnya?
Benarkah demikian? Seperti dilansir setkab.go.id Presiden Joko Widodo dalam sambutannya pada Pembukaan Kongres XX Tahun 2018 Wanita Katolik Indonesia (WKRI), di Magnolia Grand Ballroom Hotel Grand Mercure, Superblok Mega Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (30/10/2018) menyampaikan bahwa tidak mungkin dirinya simaptisan atau anggota PKI mengingat saat PKI dibubarkan tahun 1965-1966, dirinya masih berumur 4 tahun.
“Aduh yang namanya media sosial ini memang nakal-nakal,” ujar Presiden Jokowi. Sebelumnya, pada tahun 2017, Jokowi juga sudah 2 kali menyampaikan akan “gebuk” PKI jika memang ada. Selanjutnya di tahun 2018, Presiden juga meminta aparat Bintara Pembina Desa (Babinsa) agar menjelaskan kepada masyarakat bahwa dirinya tidak terkait PKI.
Dengan demikian segala tuduhan yang disematkan sebenarnya otomatis gugur. Persis seperti tudingan Bambang Tri Mulyono dalam buku karangannya yang berjudul Jokowi Undercover yang menyebut mantan Walikota Solo tersebut sebagai pemalsu jatidiri. Klaimnya bahwa Jokowi adalah keturunan anggota PKI dengan mudah terbantahkan karena tak punya data pendukung yang valid. Menurut keterangan Juru Bicara Mabes Polri, Kombes Pol Rikwanto sebagaimana dilansir bbc.com (4/1/2017), si penulis hanya “mengambil bahan untuk membuat buku ini dari media sosial atau dari obrolan di dunia maya”.
Serangkaian isu itu gampang sekali ditepis sebagai fitnah belaka. Tanpa pertanggungjawaban ilmiah dan hanya bermodal copy paste dari sumber anonim justru membuat kredibilitas penuduhnya hancur. Lalu mengapa Jokowi mengungkapkan ada 6% rakyat Indonesia atau sekitar 9 juta yang masih mempercayai bahwa dirinya merupakan anggota PKI?
Trauma Umat
Kita semua perlu sama-sama menyadari bahwa bangsa Indonesia ini punya pengalaman traumatik dengan PKI. Percobaan kudeta pada tahun 1948 di Madiun dan 1965 telah melekat dalam memori kolektif publik. Khususnya mereka anak, cucu dan cicit dari korban kekejaman partai yang didirikan tanggal 23 Mei 1920 tersebut. Secara spesifik, umat Islam memiliki kenangan pahit yang tak bisa dilupakan seperti yang diungkap H. Abdul Mun’im DZ dalam bukunya Benturan NU dan PKI 1948-1965. Sejak awal kemunculannya, PKI melalui Njoto telah menyebut lawan politik mereka dari kalangan Islam sebagai “Tujuh Setan Desa”. Termasuk di dalamnya yaitu para kiai pengasuh pondok pesantren dan pimpinan gerakan Islam.
Oleh karenanya, sekadar nama PKI disebut saja menjadi sangat sensitif di kalangan umat Islam baik dari kalangan tradisionalis seperti NU dan Al-Washliyah, maupun dari kelompok modernis seperti Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad. Rekam jejak mengolok-olok ajaran Islam dan ulama secara verbal hingga ke kekerasan fisik sampai pembunuhan kejam terhadap kiai dan santri membuat umat mudah tersulut kemarahan jika dihadapkan pada peristiwa serupa atau setidaknya mirip.
Tak hanya itu, banyak aset milik kaum muslimin seperti sawah dan kebun yang dirampas secara paksa untuk dibagikan kepada anggota PKI. Gudang penyimpanan hasil pertanian juga dikuras dengan alasan untuk mendukung perjuangan PKI. Bahkan aset negara seperti tanah, perkebunan hingga alat transportasi juga banyak yang mereka kuasai untuk kepentingannya sendiri dengan dalih reforma agraria. Tak ayal umat jadi mengamuk. Inilah kondisi yang memang sengaja mereka ciptakan demi mematangkan agenda revolusi yang mereka impikan.
Nah, pola agitasi dan propaganda yang dulu kerap mereka lakukan secara bertubi-tubi ini mulai dirasakan umat hari ini. Apakah semua yang terlibat sudah pasti PKI? Belum tentu, sebagaimana dahulu sejarah mencatat bahwa provokasi komunis juga memanfaatkan kelompok non-PKI yang berhaluan kiri seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) –yang di Sumatera Timur merupakan aktor revolusi sosial meruntuhkan seluruh kesultanan Melayu- serta tokoh-tokoh militer seperti Kol. Abdul Latif, Mayor Mulyono dan Subandrio.
‘Kriminalisasi’ terhadap ulama seperti Habib Rizieq Syihab suka tak suka akan mengingatkan orang pada kejadian lampau di era eksisnya PKI. Selain itu, persekusi kepada para muballigh kondang seperti Ustadz Abdul Somad dan KH Tengku Zulkarnain semakin menggenapkan ketakutan ini. Bayangkan para penceramah yang sudah tak lagi muda ini disambut senjata tajam oleh preman berjubah ormas. Tuduhannya khas sekali dan selalu berulang: anti Pancasila, kontra-NKRI, intoleran dan semacamnya. Publik pun sontak melihat kemiripannya dengan narasi dedengkot PKI DN Aidit yang menulis buku tipis berjudul Aidit Membela Pantja Sila tepat satu tahun sebelum kudeta.
Maraknya penyerangan dan penganiayaan terhadap ustadz dan aktivis Islam semakin menguatkan dugaan masyarakat. Anehnya serangan yang selalu terjadi di Subuh hari itu, berakhir dengan cerita para tersangka yang ternyata orang gila. Puncaknya adalah wafatnya Komandan Brigade PP Persatuan Islam (Persis), Ustadz Prawoto pada 1 Februari. Orang-orang bisa menyamakannya dengan pelbagai cerita kelam zaman Nasakom. Seperti kisah Kyai Tartibi yang kepalanya ditindih batu dan dibunuh selepas mengimami shalat subuh. Naudzubillah.
Berbagai kekejaman itu direkam dengan baik oleh Anab Afifi dan Thowaf Zuharon dalam buku mereka Ayat-Ayat yang Disembelih. Kedua penulis berlatar Nahdhiyyin ini mengungkap bagaimana Menhan pertama republik, Otto Iskandar Dinata yang jasadnya dilarung dilaut setelah kepalanya dipenggal. Di Mojopurno, Kiai Soelaiman Zuhdi yang merupakan guru tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah dikubur hidup-hidup dan dihujani batu kapur. Sedangkan di Loji Rejosari, Magetan ada banjir darah setinggi mata kaki hasil keganasan PKI di bawah komando Musso yang tak lagi pakai hati. Di bab lain, termaktub kisah Isro yang ayahnya dibakar hingga hangus dan dimutilasi di sawah. Anak 10 tahun itupun hanya bisa memunguti potongan tubuh ayahnya dengan air mata yang tak henti berderai. Ada pula tiga warga Desa Wirosari, Jawa Tengah yang disate, dipancang dan dijadikan orang-orangan sawah. Berderet riwayat penyembelihan dan mutilasi kepada komponen ummat Islam membuat kita bergidik ngeri.
Di masa eksistensi PKI dulu, umat juga dihadapkan pada realita di mana agama dengan leluasa diperolok di depan umum. Sastrawan kawakan Taufiq Ismail mencatat bagaimana seniman LEKRA pernah menggelar pertunjukan ludruk dengan lakon biadab berjudul “Matine Gusti Allah” di Desa Ngronggo, Kediri, Jawa Timur pada tahun 1964. Selesai pementasan, dalam bahasa Jawa pembawa acara berucap, ”Malam ini Allah sudah mati. Besok tak ada lagi Allah.” Penonton yang dalam kriteria Cliffor Geertz tergolong Abangan pun dengan mudah tercuci otaknya. Begitu pun dalam lakon berikutnya, sastrawan underbouw PKI ini membuat lakon yang isinya menyebut Allah jadi pengantin, Gusti Allah mantu, Gusti Allah Bingung dan sebagainya yang memercik api kemarahan ummat.
Hari ini kaum muslim milenial juga merasa gerah dengan bertubinya orang yang menista agama atas nama seni dan kebebasan berekspresi. Mulai dari komika stand-up comedy hingga meme vulgar yang beredar luas di media sosial. Ujaran kebencian terhadap syariat serta framing berita yang menyudutkan Islam yang dahulu disalurkan melalui media Harian Rakjat dan Harian Bintang Timur kini mulai terasa dilakukan banyak media arus utama yang dikuasai konglomerat. Wajar bila kemudian jihad siber digaungkan sebagai perlawanan.
Baca: Menangkis Paham Komunis
Sikap Bijak Pemerintah
Kegeraman rakyat khususnya umat Islam sepatutnya direspon positif oleh pemerintah. Artinya rakyat ini ingin menjaga dasar negara Pancasila yang hendak dirongrong oleh gerakan transnasional yang ingin menghancurkan NKRI. Pihak yang berwenang tak perlu besikap berlebihan terhadap isu ini. Jika ada yang tak benar, silakan diklarifikasi sepenuhnya. Sisanya tinggal laksanakan penegakan hukum yang adil atas semua pihak serta tidak mempolitisasi hukum.
Selagi TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI masih berlaku, maka semua yang berbau komunis dilarang oleh negara. Termasuk pula penyebaran ajaran Komunisme, Leninisme dan Marxisme. Oleh sebab itu, aparat harus selalu bertindak tegas. Pemakaian kaus bersimbol palu arit misalnya, janganlah dibiarkan begitu saja. Dengan begitu stigma negatif yang coba disemat perlahan akan berubah. Angka sembilan juta yang tadi percaya bahwa Jokowi adalah PKI insya Allah akan berkurang drastis.
Terkait kritik sejarah terhadap film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer yang dituduh sebagai alat propaganda Orba juga tak masalah. Namun patut diwaspadai pembingkaian cerita yang hendak memutarbalikkan fakta seolah PKI hanyalah korban belaka seperti ditutur para peneliti asing seperti John Roosa. Perlu ada kajian sejarah yang lebih obyektif dan cover both side di kemudian hari. Apalagi ada pula “pengadilan swasta” bernama International People’s Tribunal 1965 di Den Haag yang menggiring opini publik bahwa pemerintah sepenuhnya bersalah.
Ah, sudahlah. Kita berharap siapapun yang kelak berkuasa tetap gigih meneruskan semangat Pancasila ini. Jangan biarkan kaum anti Tuhan dengan sistem kelasnya menguasai negeri gemah ripah loh jinawi ini. Tentu tak ada yang mau bernasib seperti Venezuela di bawah Hugo Chavez yang kini hiper-inflasi: segelas kopi saja seharga 2 juta bolivars, kan?*
Penulis adalah Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena