oleh: Muh. Nurhidayat
KOMPETISI Piala Eropa 2012 telah mulai digelar Jumat (08/06/2012) dan direncanakan akan berakhir pada Ahad (01/07/2012) mendatang. Sebanyak 16 timnas berkompetisi agar menjadi kiblat sepabola Eropa tahun ini. Stasiun televisi dari seluruh dunia—termasuk Indonesia—gencar menayangkan kompetisi bergengsi benua ‘bule’ dalam siarang langsung (live), siaran tunda, maupun hanya sekedar reportase untuk berita olahraga.
Tidak sedikit di antara masyarakat dunia—termasuk kaum Muslimin—yang antusias menyaksikan pemain atau kesebelasan kebanggaan mereka berlaga, baik dengan menonton secara langsung di stadion maupun menyaksikannya melalui siaran televisi.
Sepakbola pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk keberhasilan propaganda Zionis dalam merusak nilai-nilai yang berlaku di kalangan umat Islam. Mengapa demikian?
Dalam sebuah hasil konferensi Zionis awal abad ke-20 disebutkan bahwa salah satu cara mereka menguasai dunia—terutama dunia Islam—adalah meninabobokkan masyarakat dengan sepakbola. Ketika sepakbola gencar ditayangkan dan diberitakan di media massa, maka propaganda Zionis semakin mujarab dalam membius umat Islam. Sebab media massa, terutama televisi memiliki kemampuan untuk ‘menyihir’ pemirsa.
Pakar Komunikasi Universitas Padjajaran, Deddy Mulyana (1999) menyatakan bahwa siaran televisi telah dianggap sebagai sesuatu terpenting dalam kehidupan manusia dan karenanya sangat mendominasi kehidupan mereka, seraya menyisihkan kegiatan-kegiatan lain.
Kedahsyatan pengaruh media massa, terutama televisi telah diprediksi jauh-jauh hari oleh seorang rahib Yahudi pendukung Zionisme, Rashoron. Dalam ceramahnya pada tahun 1869, Rashoron mengatakan, “Jika emas merupakan kekuatan pertama kita untuk mendominasi dunia, maka dunia jurnalistik—media massa—adalah kekuatan kedua bagi kita.” (Arrifa’i, 1992)
Dengan demikian, ‘perselingkuhan’ antara dunia sepakbola dan dunia media massa yang dirancang oleh kaum Zionis telah melahirkan dampak buruk berupa perusakan nilai-nilai Islami, sebagai berikut:
Pertama, merusak nilai ketaatan
Pada umumnya pertandingan sepakbola dijadwalkan mulai sore hingga sepertiga malam pertama. Sehingga penonton di stadion dan pemirsa tayangan siaran langsung di televisi dalam satu negara cenderung meninggalkan 3 waktu shalat fardhu Ashar, Maghrib, dan Isya’.
Padahal meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja (tanpa alasan syar’i) adalah dosa besar bagi umat Islam. Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan umatnya, “Perjanjian antara kami (umat Islam) dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah)
Kalaupun ada juga di antara mereka yang melaksanakan shalat, hampir dipastikan pelaksaannya terlambat dari jadwal waktu shalat yang ditetapkan. Orang yang terlambat shalat karena alasan tidak syar’i—seperti karena alasan menonton bola—diancam Allah SWT dalam firman-Nya, “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’uun : 4 – 5)
Demikian pula ketika menyaksikan siaran langsung pertandingan sepakbola dari Eropa, banyak umat Islam di kawasan Asia bagian selatan, timur, dan tenggara, termasuk Indonesia melalaikan shalat Lail (ibadah sunnah yang sangat dianjurkan) dan shalat Subuh. Padahal shalat Subuh yang dilaksanakan secara berjamaah di masjid-masjid merupakan simbol kekuatan umat Islam yang sangat ditakuti kaum Zionis.
Hal ini terekam dalam pernyataan Golda Meir ketika menjabat perdana menteri Israel, “Kami baru takut kepada umat Islam jika mereka telah melaksanakan shalat Subuh seperti melaksanakan shalat Jumat.” (As Sirjani, 2007)
Dengan demikian, sepakbola telah dijadikan Zionis sebagai sarana perusak nilai ketaatan kaum Muslimin.
Kedua, berpotensi merusak nilai keimanan
Disadari atau tidak, nilai keimanan umat Islam pun dapat dengan mudah dirusak oleh Zionis melalui dunia sepakbola. Piala Eropa 2004 telah menjadikan timnas Yunani sebagai kekuatan sepakbola baru yang diperoleh dengan memanfaatkan ‘jasa’ dukun. Anehnya, jarang ada suara umat Islam di berbagai negara, termasuk Indonesia yang bersuara kritis (misalnya dalam tulisan opini di media massa) tentang cara kotor Yunani menggunakan sihir dalam sepakbola.
Piala Eropa 2012 ini, jutaan masyarakat dunia—tidak terkecuali sebagian umat Islam—merasa terkagum-kagum terhadap 2 binatang yang konon katanya dapat meramal kesebelasan mana yang akan menang. Binatang-binatang itu adalah seekor babi dari Ukraina bernama Khryak, dan seekor gajah bernama Citta dari Polandia. Fenomena ini mirip hajatan Piala Dunia 2010 lalu, ketika seekor gurita dari Jerman bernama Paul dijadikan sebagai ‘dukun’ dadakan untuk meramal timnas mana yang akan menang bertanding di stadion-stadion Afrika Selatan.
Sungguh mengherankan, di zaman serba canggih ini masih banyak pemikiran manusia yang primitif, yaitu percaya ramalan-ramalan. Parahnya, orang-orang tersebut mempercayai ‘ramalan’ binatang, padahal akal sehat kita meyakini kalau binatang-binatang tersebut pada hakekatnya tidak tahu jika mereka dijadikan ‘dukun’ oleh para maniak bola.
Bagi umat Islam, mempercayai ramalan dukun (tukang sihir) atau segala sesuatu yang dijadikan sebagai ‘dukun’ adalah dosa besar yang menyebabkan seseorang dianggap murtad. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan perkataannya, maka ia telah kufur dengan Al Qur’an yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR Al Hakam)
Sungguh memprihatinkan jika banyak umat Islam di berbagai belahan dunia yang tanpa mereka tahu telah menjadi kufur hanya karena percaya ramalan pemenang sepakbola. Dan lebih mengenaskan lagi yang mereka percayai sebagai peramal adalah binatang-binatang bernama Paul (gurita), Citta (gajah), dan bahkan Khryak (babi).
Ketiga, merusak nilai keteladanan
Wabah kegilaan terhadap sepakbola yang dihembuskan Zionis telah merusak nilai keteladanan di tengah umat Islam. Betapa tidak, para pemain bola dari tingkat nasional maupun tingkat dunia telah dijadikan idola oleh banyak umat Islam.
Para pria Muslim banyak memberi nama ‘Zinedine Zidane’ untuk anak laki-laki mereka yang baru lahir, agar sang anak kelak bisa menjadi bintang sepakbola Muslim seperti pemain timnas Perancis itu. Kita akui Zidane adalah Muslim. Namun kita harus ingat bahwa Zidane tetaplah bintang stadion yang tidak jauh beda dengan rekan-rekan seprofesinya yang mayoritas kafir, punya pacar dan pernah membawa kekasihnya ke kota-kota tempat ia merumput. Berpacaran saja diharamkan, apalagi kalau harus berkhalwat dan bersafari dengan wanita yang bukan mahramnya.
Para gadis Muslimah pun tidak sedikit yang memuja-muja, bahkan mengkhayalkan para pesepakbola terkenal seperti David Beckam. Padahal selain kafir, mantan pemain timnas Inggris itu tidak layak diidam-idamkan wanita Muslimah karena senang berzina. Penyimpangan seksual Beckam ini juga dialami banyak pemain bola terkenal lainnya seperti Carlos Tevez, Wayne Rooney, Franck Ribery, dan Ashley Cole.
Tidak sedikit anak-anak Islam yang mengalami krisis keteladanan. Banyak generasi penerus kaum Muslimin yang sejak kecil hafal di luar kepala nama-nama bintang si kulit bundar seperti John Terry, Ryan Giggs, dan Peter Crouch yang notabene juga pelaku pergaulan bebas. Banyak anak-anak senang membaca profil pemain-pemain kafir itu di koran, tabloid, majalah, atau situs internet.
Tragisnya, ada kecenderungan sebagian besar anak-anak kurang suka membaca buku-buku sejarah para nabi/rasul, sahabat nabi, tabi’in, tabi’ tabi’in, ulama besar, serta ilmuwan Muslim terkemuka. Maka tidaklah mengherankan jika banyak anak-anak dari keluarga Muslim tidak terlalu mengenal sejarah hidup para pahlawan Islam nasional seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambussei, dan Pangeran Diponegoro. Tentu saja mereka pun merasa asing jika disodorkan nama-nama Thariq bin Ziyad, Muhammad Al Fatih, Shalahuddin Al Ayyubi, Qutuz, Aruj, Omar Mochtar, Ibnul Khattab, dan pahlawan Islam mancanegara lainnya.
Maka tidak mengherankan jika banyak anak-anak kaum Muslimin yang jauh dari nilai-nilai Islami karena menjadikan para pemain bola sebagai teladan mereka. Padahal yang seharusnya tokoh utama yang patut diteladani adalah para rasul-Nya, seperti Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT berfirman tentang keteladanan Nabi Ibrahim AS, “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif[843]. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan).” (QS. An Nahl : 120)
Tentang keteladanan Nabi Muhammad SAW, Allah SWT menegaskan, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah (Muhammad) itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab : 21)
Keempat, merusak nilai kehormatan
Tanpa disadari, nilai-nilai kehormatan dalam keluarga kaum Muslimin mampu dirusak melalui sepakbola. Banyak pria Muslim dengan tanpa perasaan risih mengajak istrinya menyaksikan langsung pertandingan bola di stadion, atau menyaksikan perebutan si kulit bundar melalui tayangan televisi.
Para pria Muslim tidak lagi merasa cemburu ketika istri mereka ikut antusias dan penuh perhatian melihat para pesepakbola berlaga dengan kostum yang memperlihatkan paha dan lengan. Para pria Muslim banyak yang tidak merasa terganggu kehormatannya ketika para istri mereka mengagumi bahkan memuja-muja beberapa pemain bola terkenal.
Seharusnya umat Islam sadar, bahwa para wanita Muslimah adalah manusia biasa yang dapat timbul hasratnya kepada pria lain yang bukan suaminya, manakala mereka sering menyaksikan bahkan memuja-muja kehebatan para pemain bola. Sepatutnya kaum Muslimin merasakan bahwa kehormatannya benar-benar tercabik-cabik ketika para istri mereka mengidolakan dan bahkan mengingat-ingat para bintang bola.
Perasaan cemburu memang harus dimiliki setia pria Muslim, agar para istri mereka terlindung dari melihat, memuja, bahkan mengingat terus pria lain. Jika pada diri seorang laki-laki Muslim tidak lagi memiliki perasaan ini, maka sepatutnya memperhatikan pesan Nabi Muhammad SAW, “Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat nanti, yaitu orang-orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan ad-dayyuts (laki-laki yang tidak memiliki perasaan cemburu).” (HR. An Nasa’i)
Kelima, merusak nilai keberkahan
Tidak dapat dipungkiri, sebagian di antara masyarakat planet ini masih bermental judi. Sehingga segala sesuatu, termasuk sepakbola bisa dijadikan sebagai sarana berjudi. Dalam setiap pertandingan sepakbola, pasti ada di antara penonton di stadion maupun pemirsa televisi yang bertaruh tentang kesebelasan mana yang akan menang. Taruhan tersebut sangat bervariasi, mulai dari uang bernilai ribuan hingga jutaan rupiah, tergantung dari tingkat ekonomi para ‘pemasang’ uang taruhan.
Selain taruhan yang bersifat ‘amatiran’ antar penonton atau pemirsa, adu nasib yang memanfaatkan pertandingan sepakbola juga dibisniskan secara ‘profesional’ oleh para bandar judi melalui sarana komunikasi seperti telepon, SMS, email, dan sejumlah fitur internet. Stasiun televisi pun tidak jarang ikut-ikutan menjadi bandar judi berkedok kuis untuk pemirsa ketika menayangkan sepakbola.
Padahal Allah SWT telah jelas-jelas mengharamkan perjudian, sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maa’idah : 90)
Dengan demikian, karena judi adalah perbuatan haram, maka pelakunya berdosa dan uang taruhannya juga tidak halal. Jika uang atau harta tidak halal, maka secara otomatis juga tidak berkah. Sehingga tidaklah mengherankan jika uang judi dikatakan sebagai ‘uang panas’, mengingat seseorang yang kalah berjudi tidak akan berhenti mengeluarkan uang taruhannya sebelum ia menang. Demikian pula, ketika seseorang menang judi, maka ia akan semakin banyak ‘memasang’ uang taruhannya dengan harapan agar semakin banyak keuntungannya.
Parahnya, ada sebagian anggapan umat Islam yang meremehkan keharaman judi taruhan dengan alasan sekedar hiburan atau hanya iseng saja. Bukankah Allah SWT telah mengancam orang-orang seperti ini dengan firman-Nya, “(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al A’raaf : 51)
Lebih tragis lagi kalau perjudian dilegalisasi pemerintah dengan alasan bermanfaat bagi negara dalam mendanai pengembangan dunia olahraga, termasuk sepakbola. Di Indonesia, Departemen Sosial—kini Kementerian Sosial—pada penghujung abad ke-20 lalu pernah mengizinkan peredaran kupon judi berkedok sumbangan berhadiah. Namanya pun sering mengalami perubahan seperti Kupon Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Porkas Sepakbola, TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah), KSOB (Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah), dan SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah).
Mungkin karena ikut didanai dengan uang judi berkedok sumbangan berhadiah, sejak saat itu keberkahan dunia olahraga, termasuk sepakbola Indonesia seakan tercabut sehingga timnas kita langganan kalah bertanding, gampang dipecundangi timnas lain yang tidak diunggulkan, serta mudah terjadi konflik—baik konflik internal pengurus maupun konflik antar suporter.
Maka pantaslah umat Islam mengingat nasehat Allah SWT, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.” (QS. Al Baqarah : 219)
Keenam, merusak nilai kepedulian
Kaum Zionis telah sukses menjadikan sepakbola sebagai sarana untuk merusak nilai kepedulian antar sesama Muslim. Pada Piala Eropa 2012 ini, jutaan umat Islam berbagai negara antusias menyaksikan dan mengikuti perkembangan ajang sepakbola paling bergengsi dari benua bule. Setiap hari pikiran mereka tertuju pada timnas-timnas Eropa, setiap hari mereka bertanya-tanya kesebelasan mana yang menang dan yang kalah.
Mereka tidak dasar bahwa pada saat bersamaan, setiap hari ada puluhan saudara-saudara seiman mereka yang dibantai di Suriah oleh rezim Bashar Al Asaad yang beragama Syi’ah. Mereka juga tidak tahu, bahwa saat ini rakyat sipil kawasan barat Myanmar juga dibantai rezim Buddhis.
Fenomena ini mengulangi peristiwa serupa yang terjadi tahun 1982 silam. Saat itu tentara Zionis Israel yang didukung kaum An Nushairiyah (salah satu sekte agama Syi’ah) dengan mudah membantai kaum Muslimin Palestina yang mengungsi di Shabra dan Shatilla, ketika sebagian pikiran umat Islam tertuju pada piala dunia dan liga-liga nasional di kawasan Timur Tengah. Nurhidayat (2008) mengatakan bahwa tidak sedikit kaum Muslimah—sebagian di antaranya anak di bawah umur—yang dikoyak kehormatannya terlebih dahulu sebelum dibantai tentara Zionis Israel.
Ar Rifa’i (1992) mengungkapkan bahwa ketika usai pertandingan sepakbola di tahun 1982, seorang menteri negara Arab berkomentar, “Pertandingan yang sangat cantik.
Kemenangan ini berkat keunggulan para pemain kita.” Padahal, pada saat yang sama, Shamir menegaskan bahwa pasukannya telah mampu memasuli Lebanon dan menghabisi muslimin Palestina berkat keunggulan (strategi militer) mereka. Ketika perwira dan jenderal-jenderal negara Arab tengah menyiapkan kesebelasannya, kita mendapati musuh tengah mengirimkan batalionnya ke front-front pertempuran.
Fenomena seperti ini terus-terusan melalaikan umat Islam dari memperhatikan saudara-saudara seaqidahnya dari belahan bumi lainnya. Ketika jutaan kaum Muslimin sibuk memperhatikan Piala Dunia 1994, umat Islam di Bosnia Herzegovina masih mengalami penjajahan dan pembantaian yang dilakukan bangsa Serbia. Demikian pula pada Piala Dunia 1998 di Prancis, tentara Zionis Israel gencar menyerang dan membantai kaum Muslimin di beberapa wilayah Palestina. Umat Islam di Afghanistan tengah mengalami kezhaliman penjajah AS pada saat saudara-saudara seimannya di seluruh dunia dininabobokkan oleh Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea Selatan.
Sewaktu Piala Dunia 2006, tentara Israel tengah mempersiapkan diri untuk melakukan pembantaian besar-besaran di kawasan-kawasan Islam Lebanon. Gabungan penjajah AS-Inggris-Australia pun tetap mudah membunuhi rakyat sipil Afghanistan dan Irak. Ketika kaum Muslimin terpesona aksi-aksi pesepakbola dalam Piala Dunia 2010 yang berlangsung negara Nelson Mandela, umat Islam di berbagai belahan planet ini masih dijajah, dizhalimin, dan dibantai para musuh-musuh Islam yang dimotori Zionis.
Selain kompetisi sepakbola kelas dunia dan benua, kita dininabobokkan oleh kompetisi-kompetisi lainnya setingkat negara seperti liga Italia, liga Inggris, dan juga liga Indonesia.
Patutlah kita semua tidak melupakan nasib saudara-saudara se-Islam di berbagai negara, apalagi jika ‘lupa’ tersebut disebabkan oleh besarnya perhatian kita kepada sepakbola. Patutlah kita memperhatikan sabda Nabi Muhammad SAW, “Orang Muslim itu adalah saudara bagi orang Muslim lainnya, dia tidak menzhalimi dan tidak menelantarkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Wallahua’lam.
Penulis adalah dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Ichsan Gorontalo