Oleh: AM Waskito
BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM. Setelah sekian lama Ummat Islam Indonesia mendapat ketenangan dan damai, dengan adanya standar halal MUI, baru-baru ini ketenangan itu terusik. Pasalnya, ormas NU dengan nahkoda-nya Said Aqil Siradj, meluncurkan BHNU (Badan Halal NU). Alasannya, mereka ingin punya otoritas sendiri dalam mengeluarkan label halal; dan labelisasi itu lebih ditujukan ke jamaah warga NU sendiri. Untuk realisasi teknis, mereka akan sinergi dengan laboratorium milik PT. Sucofindo.
Tetapi di balik pendirian BHNU itu juga merebak tuduhan-tuduhan tidak sedap. Mereka menuduh MUI memonopoli pengeluaran label halal dan monopoli itu berpeluang dibisniskan oleh orang-orang MUI. Hal ini ditegaskan oleh Ketua DPP Ikatan Sarjana NU (ISNU), Ali Masykur Musa. Ali Masykur mengatakan, monopoli oleh MUI itu sudah berjalan hampir 20 tahun; ISNU menerima banyak keluhan masyarakat dan pengusaha, karena mahalnya biaya dan lamanya proses pengurusan sertifikat halal. “Untuk itu ISNU menolak monopoli dan mendukung lembaga lain selain MUI untuk memberikan sertifikat halal,” kata Ali Masykur Musa. (Republika, 28 Februari 2013).
Lebih galak lagi omongan Zaim Saidi, Direktur Wakala Induk Nusantara, yang mengeluarkan koin dinar dan dirham. Dia menyatakan poin-poin pemikiran sebagai berikut:
-Setiap orang atau lembaga berhak mengeluarkan label halal.
-Ormas Islam hingga penghulu kampong, boleh mengeluarkan label halal.
-Tidak boleh ada pembatasan yang hanya akan memunculkan monopoli (catatan: seperti monopoli Wakala Nusantara dalam mengeluarkan pecahan dinar dan dirham).
-Pembatasan lembaga sertifikasi halal hanya akan menjadikan fatwa halal sebagai ladang bisnis (catatan: sama juga, ide dinar dirham juga akhirnya menjadi ladang bisnis).
-Label halal tidak dikenal dalam tradisi Islam. Tradisi label halal hanya mengekor tradisi Yahudi, yang menciptakan ‘badan halal’ bernama Kosher.
-Yang justru perlu dibentuk justru label haram, karena lebih spesifik.
-Pembentukan badan halal bersifat sukarela, tak perlu dilarang. (Rujukan, artikel: Badan Halal tak Perlu Dibatasi. Republika, 20 Februari 2013).
Sebelum kita bahas soal label halal ini, saya ingin sedikit bercerita. Beberapa tahun lalu saya ikut sebuah diskusi di Bandung, menghadirkan Zaim Saidi, sebagai Direktur Wakala Nusantara. Dia menjelaskan pentingnya kita kembali ke mata uang dinar dan dirham. Dia jelaskan banyak hal, yang intinya penggunaan mata uang kertas adalah ribawi; yang halal adalah memakai dinar dan dirham, yaitu mata uang yang memiliki nilai intrinsik.
Dalam sessi diskusi, saya bertanya: “Bagaimana dengan mata uang dinar lain yang dikeluarkan oleh lembaga lain, selain Wakala Nusantara?” Saya tanyakan hal ini, sebab memang beredar juga mata uang dinar versi lain; terutama untuk tujuan investasi.
Jawaban Zaim Saidi sangat mengejutkan. Setengah emosi, dia memvonis bahwa pecahan dinar-dirham selain dari Wakala Nusantara adalah tidak sah. Karena ia keluar tanpa seizin IMAM atau AMIR kaum Muslimin. Padahal aturannya, setiap pecahan dinar-dirham harus seizing IMAM Ummat Islam. Lalu siapa sebenarnya Imam yang sah itu? Ternyata ia adalah Imam Sufi yang menjadi rujukan spiritual Wakala Nusantara. Kalau tidak salah, Imam itu seorang guru spiritual di Afrika Selatan. Imam ini merekomendasikan pencetakan dinar-dirham untuk seluruh dunia. Padahal, dia sendiri tidak memiliki kekuasaan dan otoritas atas kaum Muslimin secara kolektif.
Sangat menyedihkan melihat semangat Zaim Saidi yang menyerang “monopoli” sertifikat halal MUI, sementara dia sendiri mengelola lembaga distributor dinar-dirham yang bersifat monopolis. Dalam konteks seperti ini, apa yang beliau inginkan? Kejujuran, ketulusan, atau mengungkapkan dendam kesumat? Wallahu a’lam bisshawab.
Terkait dengan sertifikasi halal MUI, disini ada beberapa poin penting yang perlu kita bahas:
[1]. Perlukah kita terhadap labelisasi halal pada makanan dan minuman?
Jawabnya sederhana, jika semua makanan-minuman yang kita konsumsi diproduksi dan didistribusikan oleh orang-orang beriman, yang terkenal shalih, jujur, dan sangat hati-hati dalam urusan makanan-minuman; maka tidak perlu ada labelisasi halal, karena keberadaan orang-orang shalih itu sudah otomatis menjadi rekomendasi kehalalan. Atau jika peredaran makanan-minuman berada dalam pengawasan ketat sebuah Pemerintahan Islami yang komitmen dengan prinsip halal, maka tanpa label halal pun sudah cukup.
[2]. Adakah landasan Syariat yang memerintahkan kita membuat label halal?
Jelas ada, bahkan banyak. Dalam Al Qur’an dan Sunnah dijelaskan jenis-jenis makanan halal dan haram. Kita diperintahkan memakan yang halal dan mengindari yang haram. “Wahai manusia, makanlah apa-apa yang ada di bumi yang halal lagi baik. Jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena ia adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah: 168). Ayat seperti ini disebutkan juga dalam Surat Al Maa’idah 88, Al Anfaal 69, An Nahl 114.
Ayat-ayat itu jelas menegaskan perintah memakan makanan-minuman halal. Itu adalah perintah mutlaknya. Selebihnya, soal urusan teknis, itu bisa dipikirkan cara terbaik. Kalau kondisi Ummat Islam sangat kuat, masyarakatnya cerdas, shalih, jujur, tidak korup lahir batin; maka tidak perlu label halal, karena setiap orang mengerti dan komitmen dengan prinsip halal. Tetapi meskipun kondisi masyarakat Islam seperti itu, kalau supplier makanan ternyata juga ada dari kalangan non Muslim; maka tetap dibutuhkan label halal, karena tidak ada jaminan kehalalan dalam makanan orang non Muslim (menurut Syariat Islam). Tetapi kalau kondisi Ummat Islam lemah, tidak mandiri, kurang berpengetahuan; mau tidak mau, harus disediakan label halal; untuk membedakan dengan makanan-minuman haram.
Syariat memerintahkan kita mengonsumsi makanan-minuman halal; kalau untuk tujuan itu diperlukan label halal, maka hukum label itu menjadi wajib juga. Seperti kaidah fiqih: Maa laa tattimul wajiba illa bihi, fa huwa wajib (suatu kewajiban yang tidak sempurna, kecuali dengan tersedianya sesuatu, maka hukum sesuatu itu adalah wajib juga).
[3]. Tapi tradisi label halal tidak ada dalam Islam, ia mengikuti tradisi Yahudi?
Ini adalah omongan bodoh. Orang yang ngomong begini tidak layak bicara tentang Islam (termasuk mengurusi peredaran uang dinar-dirham). Label halal itu hanya MASALAH TEKNIS belaka, sedangkan substansinya adalah KONSUMSI HALAL. Al Qur’an dan Sunnah memerintahkan konsumsi halal, jika untuk itu dibutuhkan label halal, ya harus disediakan. Untuk konsumsi halal, Ummat Islam bersandar pada ajaran Syariat yang jelas dan terang, bukan mengikuti tradisi Yahudi. Soal label semata-mata hanya soal operasional saja, sedangkan substansi intinya tetap kembali kepada aturan Syariat untuk makan-minum secara halal.
Misalnya, dalam urusan belajar ilmu agama. Dalam Islam diperintahkan menuntut ilmu. Lalu apakah lantas bersekolah formal, untuk meraih ijazah termasuk perintah Islam? Intinya adalah menuntut ilmu, sementara sistem kelas, ujian, ijazah, dll. itu kan hanya pertimbangan efektifitas saja. Begitu pula dengan label halal. Ia hanya masalah teknis belaka. Hal demikian tidak boleh dikaitkan dengan tradisi Yahudi dan seterusnya; sebab pemikiran seperti itu salah kaprah.
[4]. Bukankah Yahudi membuat badan yang dikenal sebagai Kosher?
Yahudi membutuhkan hal itu karena mereka juga menjaga kehalalan makanan (menurut Syariat mereka). Hal itu mereka lakukan ketika supplier makanan yang mereka konsumsi banyak bersumber dari orang di luar Yahudi. Dulu kaum Muslimin, di bawah Khilafah Islam, tidak membutuhkan label halal, karena peredaran makanan-minuman diawasi oleh Pemerintahan Islam, sehingga terjaga legalitas kehalalannya. Tetapi setelah Khilafah Islami runtuh tahun 1924 (sekitar 85 tahun lalu), kemudian supplier makanan kaum Muslimin banyak berasal dari produsen non Muslim; otomatis label halal itu dibutuhkan. Ini bukan karena ikut badan Kosher Yahudi, tetapi semata untuk kepentingan Ummat Islam sendiri. Hanya uniknya, nasib Ummat Islam mirip seperti nasib Yahudi di masa lalu. Yahudi butuh Kosher ketika pemasok makanan mereka banyak dari orang non Yahudi; kita juga begitu, membutuhkan label halal karena supplier makanan banyak dari orang non Muslim atau dari orang awam (tidak shalih). * (bersambung)
AM Waskito, penulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi”