oleh: Muh. Nurhidayat
SUNGGUH miris perasaan kita menyaksikan tayangan-tayangan berita di sejumlah televisi swasta nasional tentang pro-kontra rencana pagelaran konser Lady Gaga di Jakarta. Sejumlah orang yang diwawancarai televisi menyatakan ketidaksenangannya terhadap fatwa KH. Cholil Ridwan (Kyai Kholil), Ketua Bidang Seni dan Budaya MUI tentang haramnya menonton konser Lady Gaga. Mereka berpendapat bahwa fatwa tersebut tidak perlu ditanggapi karena murni datang dari pribadi KH. Cholil Ridwan sendiri, bukan fatwa resmi MUI. Parahnya, ada narasumber yang melontarkan opini bahwa MUI tidak perlu mengurusi halal-haramnya konser, tapi fokus saja pada halal-haramnya makanan.
Fenomena di atas merupakan salah satu bukti bahwa sebagian media massa berpengaruh di Indonesia saat ini masih didominasi kaum Islamophobia. Betapa tidak, dalam kasus ini, oleh televisi swasta, Kyai Cholil diposisikan sebagai pihak yang ‘patut dimusuhi’ pemirsa. Padahal fatwa yang beliau keluarkan adalah demi mencegah masyarakat, terutama umat Islam sebagai penduduk terbesar negara ini dari kemungkaran-kemungkaran yang dibawa Lady Gaga.
Dalam kajian komunikasi jurnalistik, berita media massa—termasuk televisi—adalah fakta yang telah direkonstruksi. Artinya, informasi yang dilaporkan wartawan bukanlah murni fakta-fakta atas realitas yang ada, namun sudah diformat sedemikian rupa sesuai dengan ideologi, visi, dan misi media. Dengan demikian, wartawan akan lebih banyak mewawancarai sumber berita/narasumber yang mendukung ideologi, visi, dan misi media massa tersebut.
Jika kita melihat kasus pro-kontra rencana konser Lady Gaga, maka dapat dipastikan bahwa ideologi, visi, dan misi sejumlah stasiun televisi nasional kita memang bertentangan dengan ideologi, visi, dan misi umat Iaslam, yang merupakan penduduk mayoritas Indonesia. Maka tidak heran jika tema berita yang dilaporkan kepada pemirsa disetting untuk ‘menyerang’ Kyai Cholil. Sehingga narasumber yang ditampilkan pun adalah mereka yang berpihak pada media, dan tentunya juga mengidolakan Lady Gaga.
Padahal jika sejumlah televisi komersial tersebut mau jujur, jumlah pemirsa Indonesia yang sebagian besar Muslim akan mendukung statement KH. Cholil Ridwan soal Lady Gag. Kalau saja reporter-reporter televisi swasta bersedia mewawancarai ibu-ibu anggota majelis taklim saja, tentu mereka akan sependapat untuk menolak kehadiran Lady Gaga.
Keengganan sejumlah televisi swasta mewawancarai—menyiarkan hasil wawancara—pihak-pihak yang kontra terhadap kehadiran Lady Gaga menunjukkan ketidakadilan media massa tersebut terhadap Kyai Cholil yang merepresentasikan suara kaum Muslimin di Indonesia. Padahal dalam setiap melaporkan berita, media massa dituntut untuk memperhatikan asas keberimbangan (cover both sides), dan keadilan kepada pihak yang tidak sejalan dengan media sekalipun.
Penolakan sebagian besar masyarakat Indonesia yang lebih dari 85 persen Muslim atas rencana konser artis tidak bermoral asal AS tersebut sangat masuk akal. Sebab, jika diibaratkan sebagai bibit penyakit, Lady Gaga adalah ‘virus’ yang jauh lebih berbahaya daripada artis porno asing lainnya, seperti Miyabi yang pernah menghebohkan Indonesia tahun 2009 silam.
Kalau Miyabi sempat dilarang masuk Indonesia karena terkenal kecabulannya dalam bermain film, maka sudah sepantasnya Lady Gaga lebih haram lagi menginjakkan kakinya di negara kita karena tampil porno dalam konser musik yang disaksikan langsung oleh ribuan orang. Selain itu, artis tidak bermoral asal negara Mickey Mouse itu tidak hanya menyebarkan ‘virus’ pornografi dan pornoaksi saja, melainkan juga menyebarkan ‘virus’ pemujaan terhadap setan. Akibat keaktivannya dalam ritual penyembahan setan itulah Lady Gaga diberi julukan “Ratu Illuminasi”.
Secara ekonomi, kehadiran wanita tuna susila asal negara penyokong Zionisme itu merugikan masyarakat. Sebab hingga kini diperkirakan 40 ribu tiket konser Lady Gaga seharga Rp 400 ribu hingga Rp 2 juta telah habis terjual. Jika harga tiket termurah saja yang dihitung, maka panitia bisa mengumpulkan Rp 16 milyar.
Padahal dana sebanyak itu dapat dipakai untuk membangun sedikitnya 133 sekolah, atau merenovasi 266 sekolah yang rusak.
Urgensi Menguasai Media Massa
Fenomena ‘menyalahkan’ fatwa Kyai Kholil oleh sejumlah televisi komersial di atas memang semakin membenarkan asumsi bahwa penguasaan atas media massa sangat urgen untuk segera diwujudkan oleh masyarakat yang menghendaki tegaknya ideologi, visi, dan misi Islam di negara ini. Betapa tidak, selama ini Islam yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia justru dicitrakan buruk oleh segelintir media massa cetak, radio, dan televisi swasta berpengaruh. Parahnya, pihak yang menguasai media-media massa tersebut adalah kaum Islamophobia, terutama kelompok Sepilis (sekuleris, pluralis, dan liberalis) yang minoritas jumlahnya.
Selain kasus ‘menyalahkan’ fatwa Kyai Cholil, selama beberapa tahun terakhir perasaan kaum Muslimin negara ini terus-menerus disakiti oleh pemberitaan-pemberitaan yang merusak citra Islam, seperti pemberitaan tentang aksi FPI, poligami dan perceraian KH. Abdullah Gymnastiar—yang kini kembali rujuk dengan Teh Ninih, fitnah atas KH. Zainuddin MZ. (rahimahullah), berita yang ‘menyalahkan’ MUI karena memfatwakan kesesatan Ahmadiyah, serta berita kasus-kasus terorisme yang mengatasnamakan Islam.
Sebagai catatan khusus untuk kasus-kasus terorisme yang menyudutkan Islam, media-media yang dikelola kaum Sepilis itu (sengaja) kehilangan daya kritisnya. Sebab kasus-kasus terorisme yang diatasnamakan Islam selalu muncul ketika masyarakat resah setelah terungkapnya skandal-skandal elit politik Indonesia (seperti korupsi), atau ketika ada rencana pencabutan subsidi BBM.
Jika kaum Muslimin yang peduli terhadap Islam menguasai media massa, terutama televisi, masyarakat akan diberikan informasi secara adil yang dalam jurnalistik dikenal dengan cover both sides, memihak kebenaran, dan tidak melakukan perusakan citra (character assasination) terhadap pihak yang tidak sejalan dengan ideologi, visi, dan misi Islam.
Sebab keadilan kepada semua pihak—baik yang mendukung maupun menolak Islam—adalah perintah Allah SWT di dalam kitab suci-Nya, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Maa’idah : 8)
Upaya penguasaan atas media massa cetak dan elektronik memang terasa mustahil bagi umat Islam, termasuk kaum Muslimin di Indonesia saat ini. Ungkapan ini sangat wajar mengingat sekarang ini secara umum umat Islam masih dibelit dengan masalah modal. Harus diakui, media massa, terutama televisi adalah bidang yang padat modal.
Namun—dengan meminjam pendapat KH. Abdullah Gymnastiar, kita mulai dengan media massa yang kecil, mulai dari kita yang merintisnya, dan mulai sekarang juga, insya Allah kita akan mewujudkan impian tersebut.
Bagi masyarakat Muslim secara umum, dukungan terhadap upaya penguasaan media massa oleh Islam dapat dimulai dengan lebih banyak mengakses media massa Islam dan meminimalisir—atau bila perlu memboikot—dalam mengakses media massa yang dikelola kaum Islamophobia.
Langkah ini merupakan bentuk pengamalan ajaran Al Qur’an tentang selektivitas dalam mengakses berita, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujuraat : 6). Wallahua’lam.*
Penulis adalah dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Ichsan Gorontalo