Oleh: Ahmad Sadzali
SILANG pendapat menyusul penurunan Presiden Mesir Muhammad Mursy secara sepihak masih terjadi di Mesir sampai hari ini. Penurunan itu diumumkan Dewan Militer yang disampaikan oleh Jenderal Abdul Fattah al-Sisi. Sebelumnya, militer telah memberikan ultimatum kepada Presiden Mursy untuk dapat mencari jalan keluar dari krisis Mesir dalam waktu 48 jam. Waktu yang memang sangat sempit sekali untuk berpikir mencari jalan keluar dari krisis yang berat seperti itu.
Dari kasus penggulingan Presiden Mursy ini, salah satu topik yang hangat dibicarakan adalah tentang kudeta. Soal penamaan kudeta ini menjadi perdebatan di banyak pihak. Apakah yang terjadi terhadap Presiden Mursy tersebut merupakan kudeta atau tidak? Jika kudeta, lantas kudeta apa namanya? Kudeta militer atau kudeta rakyat?
Sebagian pendapat menilai ini merupakan kudeta. Alasan adalah, karena Presiden Mursy telah terpilih secara demokrasi dan sah secara konstitusi, lalu diturunkan secara tidak konstitusi dan sepihak. Sementara pendapat lainnya menilai ini bukanlah kudeta. Pasalnya, di belakang keputusan militer untuk menurunkan Presiden Mursy itu ada musyawarah sebelumnya dari beberapa pihak, dan juga berdasarkan tuntutan demonstran anti Mursy ketika itu yang jumlahnya sangat banyak.
Istilah kudeta berasal dari bahasa Prancis, yaitu coup d’etat. Artinya adalah perebutan kekuasaan negara secara tiba-tiba oleh sekelompok orang. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kudeta berarti perebutan kekuasaan atau pemerintahan secara paksa. Namun turunan katanya, yaitu mengkudeta, berarti merebut kekuasaan dengan paksa dan tidak secara sah. Adapun dalam bahasa Arab, istilah kudeta biasanya disebut dengan inqilâb.
Dalam catatan sejarah, kebanyakan kudeta dilakukan oleh militer. Memingat karena militer lah yang memiliki kekuatan terhadap rakyat. Paling tidak mereka memiliki senjata. Meski tidak selamanya yang melakukan kudeta adalah dari pihak militer. Salah satu contohnya, upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. PKI bukanlah golongan militer, melainkan rakyat sipil yang berpartai. Namun mereka memiliki senjata dan pasukan tentara sendiri.
Pada umumnya, kudeta dilakukan terhadap pemerintahan yang dianggap diktator dan otoriter. Kudeta bisa saja berdasarkan atas tuntutan rakyat banyak, atau tidak berdasarkan tuntutan rakyat banyak, ataupun hanya berdasarkan pada tuntutan suatu kelompok. Karena yang menjadi titik berat istilah kudeta adalah perebutan kekuasaan secara paksa dan sepihak.
Jika definisi ini kita lekatkan pada kasus penggulingan Mursy, maka jelas kata kudeta tidak salah dipakai. Karena yang terjadi memang penurunan Mursy secara paksa dan sepihak dari kursi presiden. Padahal Mursy mendapatkan kursi presiden itu secara demokratis melalui pemilihan umum. Dan negara Mesir adalah negara yang memakai sistem demokrasi.
Dalam sistem demokrasi, seharusnya, militer ataupun oposisi tetap bisa menuntut Presiden Mursy untuk segera melakukan pemilihan umum presiden dini, tanpa harus menurunkannya dari kursi presiden terlebih dahulu. Caranya adalah melalui Parlemen dengan dalih mosi tidak percaya lagi terhadap presiden.
Yang terjadi memang, Parlemen sudah tidak ada alias dibubarkan. Dan ketika itu, Presiden Mursy tengah mengupayakan pelaksanaan pemilihan umum legislatif. Tapi sayangnya, militer dan oposisi mengindahkan hal tersebut. Maka wajar jika secara demokratis, penggulingan Mursy adalah suatu kudeta.
Sekarang jika kita sudah sampai pada titik bahwa ini merupakan kudeta, lantas kudeta apa namanya? Kudeta militer, kudeta rakyat, atau kudeta apa?
Beberapa ahli politik memang ada membagi jenis-jenis kudeta. Seperti dalam bukunya Political Order in Changing Societies, Samuel P. Huntington mengklasifikasikan jenis kudeta menjadi tiga macam. Pertama adalah breakthough coup d’etat, yaitu kudeta yang dilakukan oleh militer terhadap pemerintahan tradisionalis. Kedua adalah guardian coup d’etat, yaitu kudeta yang dilakukan oleh sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai perwakilan dengan alas an keteriban umum dan lainnya. Ketiga adalah veto coup d’etat, yaitu kudeta yang dilakukan melalui partisipasi dan mobilisasi publik dan melakukan tekanan berskala besar.
Jika tiga jenis kudeta ini kita tempelkan pada kasus yang terjadi di Mesir, akan terlihat bahwa kudeta terhadap Mursy itu bukanlah merupakan kudeta militer murni. Karena di belakang keputusan militer menurunkan Mursy dari kekuasaan presiden, terdapat tuntutan rakyat dan juga merupakan hasil musyawarah dari beberapa elemen rakyat, seperti Syaikh Al-Azhar, Koptik, Gerakan Tamarud, Organisasi Penyelamatan Negara yaitu kubu oposisi, dan beberapa elemen lainnya.
Jadi, sebenarnya lebih tetapnya kudeta yang dilakukan terhadap Mursy ini adalah kudeta rakyat, karena fungsi militer ketika menurunkan kekuasaan Mursy ketika itu adalah sebagai penyalur suara demonstran rakyat yang berskala besar.
Lantas pertanyaan selanjutnya adalah, sah kah kudeta?
Jika kita melihat dari kaca mata demokrasi, tentu kudeta seperti itu tidak sah karena diluar prosuder demokrasi. Presiden yang terpilih secara demokrasi melalui pemilihan umum memiliki legitimasi yang kuat di mata konstitusi demokrasi. Tapi bukan berarti tidak bisa diturunkan sama sekali. Caranya berdasarkan demokrasi yaitu melalui Parlemen. Kasus inilah yang terjadi pada presiden kita dulu Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Presiden Gus Dur diturunkan melalui jalur Parlemen. Jika diluar jalur itu, maka tidak kudeta berarti tidak sah.
Bagaimana kudeta dalam kaca mata fikih Islam?
Di dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaithiyah di jilid 6, ensiklopedia fikih Islam yang terlengkap saat ini, terdapat pembahasan yang ada kaitannya dengan kudeta. Tepatnya di dalam bab al-Imamah al-Kubra atau khilafah Islamiyah. Di sini dijelaskan tiga cara pencapaian kursi khilafah. Pertama dengan baiat; kedua dengan wilayah ahdi(putra mahkota); dan ketiga dengan al-istila bi al-quwah, yaitu dengan kekerasan atau paksaan. Perkara kudeta dekat dengan cara yang ketiga ini.
Mengenai cara yang ketiga ini, Imam al-Mawardhi dalam kibatnya al-Ahkam al-Sulthaniyah menjelaskan perbedaan pendapat dalam menghukumi cara ketiga ini. Pendapat pertama dari para fukaha Irak mengatakan bahwa cara ketiga ini sah secara mutlak, meski tidak melalui keputusan musyawarah ahlu al-halli wa al-akdi. Sedangkan pendapat kedua, yaitu jumhur fukara mengatakan bahwa cara ketiga ini sah apabila dengan ridha dan ikhtiyar, serta melalui keputusan musyawarah ahlu al-halli wa al-akdi.
Jadi, sebenarnya para fukaha sependapat bahwa cara ketiga ini sah-sah saja. Mereka hanya berbeda pendapat apakah cara ketiga ini harus dengan ridha dan musyawarah ahlu al-halli wa al-akdi atau tidak. Salah satu dalil yang digunakan adalah riwayat dari Ibnu Umar RA yang ketika shalat bersama penduduk Madinah pada zaman Hurrah, beliau mengatakan, “Kita bersama siapa yang menang (banyak).”
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ada ketentuan atau kriteria pemimpin yang bisa dikudeta? Berdasarkan literature fikih yang penulis temukan, yang menjadi patokan diperbolehkannya kudeta itu bukan pada kriteria pemimpinnya, melainkan patokannya adalah kemaslahatan rakyat ketika itu.
Memang ada kaitan antara pembahasan kudeta dengan keluar dari pemimpin yang fasik. Dalam pembicaraan keluar dari pemimpin yang fasik pun ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapatnya ada pada perbedaan dalam memandang maslahat ketika keluar itu. Apakah ketika keluar dari pemimpin yang fasik itu kita pasti mendapatkan kemenangan dan menggulingkannya dengan mudah atau tidak. Jika yang terjadi adalah justru pertumpahan darah, maka ulama berpendapat keluar dari pemimpin fasik adalah tidak boleh. Hal ini juga yang mungkin terjadi dalam kasus fatwa Syaikh Ramadhan Buthy dalam konflik di Suriah ketika beliau mengharamkan melawan rezim Bashar al-Assad.
Makanya dalam perbedaan pendapat ulama tadi, yang ditekankan adalah ridha dan ikhtiyarnya, dan apakah melalui musyawarah ahlu al-halli wa al-akdi, bukan pada kriteria pemimpin mana yang bisa dikudeta atau tidak. Riwayat Ibnu Umar tadi juga sudah jelas penekanannya pada ghalabah-nya, siapa yang menang atau yang paling kuat dan banyak. Karena ketika yang minoritas keluar dari yang mayoritas atau yang lemah keluar dari yang kuat, yang akan terjadi adalah pertumpahan darah. Inilah letak perhitungan kemaslahatannya.
Adapun soal kriteria pemimpin, ini merupakan pembahasan yang panjang lebar dibahas dalam kajian fikih Islam. Banyak syarat-syarat pemimpin yang telah digariskan dan dikaji oleh para fukaha. Pemimpin yang seperti apa dulu yang kita kasih kriteria? Pemimpin dalam artian khalifah dalam al-Imamah al-Kubra kah, atau pemimpin biasa selain itu?
Kemudian bagaimana jika syarat-syarat pemimpin yang sudah dipatok tadi tidak ada satu orang pun yang memenuhinya? Jika hal ini yang terjadi, ada yang namanya syarat prioritas. Soal ini, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Siyasah al-Syar’iyah menjelaskan riwayat dari Imam Ahmad. Imam Ahmad ditanya tentang dua orang pemimpin dalam sebuah peperangan. Yang pertama pemimpin yang kuat tapi jahat, dan yang kedua adalah pemimpin yang shaleh tapi lemah. Lantas siapakah dari kedua pemimpin itu yang pantas untuk memimpin peperangan? Maka Imam Ahmad menjawab: “Pemimpin yang kuat tapi jahat tadi, kekuatannya itu untuk umat Islam dan kejahatannya itu kembali pada dirinya sendiri. Sedangkan pemimpin yang shaleh tapi lemah tadi, keshalehannya itu untuk dirinya sendiri, dan kelemahannya itu berdampak pada umat Islam. Maka yang memimpin perang adalah pemimpin yang kuat meski tidak shaleh.”
Lalu bagaimana dengan Mursy? Wallahu’alam.*
Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar, Kairo, asal Banjarmasin