Oleh: Karina Chaffinch
DARI sekian banyak propaganda LGBT (lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender), entah itu desensitisasi (penghilangan rasa peka masyarakat terhadap hal di luar norma), jamming (upaya menekan lawan untuk bungkam), framing atas nama toleransi, HAM, dan anti-bullying, salah satunya adalah melalui gencarnya pengkondisian asosiatif.
Bagi penikmat film, hal ini yang paling terasa. Penetrasi LGBT dalam budaya pop kian kentara di depan mata lewat dunia entertainment.
Metode pengkondisian asosiatif ini melibatkan proses psikologis dimana ada dua isu yang berulang kali disandingkan secara intens (juxtaposition).
Perasaan atau pemikiran satu orang tentang satu hal ditransfer ke hal yang lain yang dilakukan dengan menyandingkan isu berbeda atau bahkan tidak ada hubungannya sama sekali ke dalam satu keterikatan.
Jika tereksekusi dengan baik, isu negatif yang tak diinginkan akan naik di atas isu positif.
Singkatnya, ini merupakan trik untuk mengubah perilaku dan pandangan seseorang terhadap sesuatu.
X-Men series adalah contoh paling gamblang dalam manipulasi media lewat film.
William Ernest dalam tulisannya “Making Gay Sense of the X-Men”, X-Men disebut sebagai metafora yang ditujukan untuk kaum pemuja “born this way”, atau lebih spesifik lagi di sini LGBT, dengan mengejawantahkan kehidupan homoseksual di dunia nyata ke dalam karakter fiksi para superhero “mutan”.
X-Men yang berangkat dari komik ini sendiri terpengaruh oleh gerakan African-American Civil Rights di awal tahun 60-an yang bermaksud ‘memperjuangkan’ hak-hak kaum minoritas: Yahudi, kulit hitam, dan tak luput kaum penyuka sesama jenis.
Dikisahkan, para mutan ini tengah berjuang melawan masyarakat yang enggan menerima mutasi mereka atau bergulat dengan gen lahiriah mereka (atau dalam hal ini ‘fitrah’ orientasi seksual LGBT) dengan menyembunyikannya rapat-rapat dan mencoba membaur dengan masyarakat.
Pengaruh Liberalisme
Pengaruh pemikiran liberal sangat kental dalam beberapa dialog dalam film ini. Bahkan menggambarkan kondisi nyata kaum LGBT dalam menghadapi penolakan dalam keluarga maupun masyarakat.
Misalnya, saat pengakuan salah satu karakter; Bobby Drake (Iceman) kepada keluarganya tentang kekuatan supernya, ibunya menjawab, “Tak pernahkah kau berusaha untuk tidak menjadi mutan?”.
Di film ke-3, X-Men, The Last Stand, bahkan ada dialog yang amat jelas, “Mereka tidak dapat menyembuhkan kita. Anda ingin tahu kenapa? Karena tidak ada yang harus disembuhkan. Tidak ada yang salah dengan Anda. Atau salah satu dari kita, dalam hal ini.”
Salah satu karakter utama X-Men, Mystique, memiliki kekuatan mengubah DNA dan sel biologis sehingga dapat mengubah penampilan baik tubuh maupun suara sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Ini membuat orientasi seksual Mystique menjadi ambigu, sehingga tidak sedikit yang menganggap Mystique sebagai simbol kaum terlaknat ini.
X-Men versi komik lebih terang-terangan memberikan ide homoseksualitas. Dalam komik yang dirilis pada Juni 2012 “Astonishing X-Men” memuat kisah perkawinan sesama jenis.
Karakter yang diungkap sebagai seorang homo pada tahun 1992 ini diangkat kembali ke dalam komik setelah akhirnya perkawinan sesama jenis di New York dilegalkan.
Para screenwriter film ini juga secara terbuka mengaku kalau memang mereka bekerja menggunakan taktik ini.
Bahkan dengan bangga membeberkan upaya mereka ‘mensosialisasikan’ pemahaman ‘miring’ untuk mencuci otak masyarakat terutama anak muda.
Editor Marvel, Axel Alonso, dalam sebuah pernyataan mengatakan, “The Marvel Universe selalu merefleksikan dunia di luar jendela Anda, sehingga kami berusaha untuk memastikan karakter kami, hubungan antar manusia, dan cerita yang berdasarkan pada kenyataan itu.”
X-Men hanyalah satu dari sekian macam hiburan generasi muda saat ini yang dibuat tidak hanya untuk sekadar menghibur.
Mereka juga membentuk cara pandang penikmatnya. Secara bawah sadar, film-film seperti ini dan hiburan dengan plot serupa, menanamkan sugesti hipnotis dalam pikiran kaum muda yang rentan terpengaruh dengan ide atau pemikiran baru.
Maka, merupakan kewajiban setiap orang tua, pendidik, atau siapa saja untuk mengedukasi dan men-de-brainwash generasi muda.
Salah satunya dengan menghindari hiburan yang tidak bermanfaat. Karena semua itu berpotensi membuat kita memandang remeh dan tak peka terhadap kemaksiatan.
Homoseksual bukan identitas, bukan hak asasi, bukan bawaan gen. Ia adalah penyakit dan kebiasaan buruk, bisa disembuhkan.
Ia juga merupakan dosa besar. Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya dan Rasul sudah menetapkan hukumnya.
Meski demikian, ketahuilah, Allâh Maha Penyayang lagi Maha Penerima Taubat. Selagi umur masih ada, pintu taubat selalu terbuka untuk mereka yang ingin kembali ke jalan yang benar.
Dengan menyibukkan diri melakukan kegiatan bermanfaat, menjauhi kawan yang bermaksiat, dan segera berhijrah.*
Penulis adalah penikmat seni budaya