Banyak yang mempertanyakan, selama masa pandemi ini, kita tidak bisa menjalankan ibadah secara sempurna sebagaimana biasanya, misalnya dalam ibadah shalat saja harus direnggangkn shafnya, apakah bisa dianggap tidak menjalankan syariat Islam secara kaafah? “Kalau ada orang yang merasa bersalah, itu bisikan setan,” tegas Ustadz Abdul Somad. Untuk memahami syariat Islam itu harus mendapat bimbingan dari para ulama, tidak cukup memahami secara tekstual. Karena, dalam sabdanya, Nabi melarang kita untuk membahayakan diri sendiri dan orang lain. Kaidah ini tentu yang harus didahulukan sebagai upaya manusia terhindar dari virus Covid. Toh perenggangan shaf shalat tidak berlaku selamanya, hanya dalam kondisi darurat corona saja.
Selama pandemi Covid 19, banyak persoalan fikih ibadah yang harus dijelaskan oleh para ulama. Misalnya, soal ibadah kurban. Banyak masyarakat yang terdampak secara ekonomi akibat wabah ini, lebih membutuhkan sembako daripada daging kurban, sehingga sebagian ulama menyarankan dana yang biasa digunakan untuk kurban lebih dialihkan untuk membantu sesamanya. “Saya setuju, kalau ada yang mau mengalihkan jadi sedekah, karena kurban itu bukan wajib,” ungkap UAS. Umat Islam diharapkan tidak kaget jika ada perbedaan ijtihad diantara para ulama.
UAS dan Inovasi Dakwah
stadz Abdul Somad, garis keturunannya bersambung hingga kakek buyutnya, Syekh Abdurrahman dijuluki Syeikh Silau Laut, seorang ulama sufi yang beraliran Tarekat Syattariyah. Namun, ia lebih dikenal ulama yang sangat menguasai dalam bidang fikih, sebagaimana latar belakang pendidikan yang ditempuhnya. Beliau menyelesaikan S-1 dari Universitas Al Al Azhar, Kairo, Mesir kemudian melanjutkan untuk program S-2 di di Institut Darul-Hadits Al-Hassaniyah Rabat, Maroko (Lulus tahun 2006). Pada akhir 2019, UAS juga berhasil meraih gelar doktor dari Oumdurman Islamic University, Sudan dengan predikat mumtaz atau cum laude. Disertasi UAS tentang peran pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari dalam penyebaran hadist di Indonesia.
Karena kesibukannya berdakwah, UAS yang pernah menjadi dosen di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, akhirnya mengundurkan diri pada tahun 2019. Pada awal tahun 2020, UAS mendapat kehormatan sebagai profesor tamu di Universitas Islam Sultan Sharif Ali (UNISSA) Brunei Darussalam. Selain sebagai akademisi, UAS awalnya rutin memberikan kajian ba’da subuh di Masjid Agung Annur, Pekanbaru Riau. Ceramah yang diakhiri dengan tanya jawab seputar persoalan agama ini, kemudian diunduh di media sosial. Rupanya, respon nitizen begitu besar. Ceramahnya yang ringan, menghibur dan mudah dicerna ditambah dengan retorikanya yang khas dengan logat melayu kental, sangat disukai hingga menjadi viral. Inilah awal mula Ustadz Abdul Somad menjadi terkenal, hingga diundang di berbagai tempat di pelosok nusantara bahkan ke luar negeri.
Ceramah UAS seringkali dipotong-potong oleh pegiat media sosial, lalu diviralkan, sehingga kurang difahami secara utuh. Akibatnya, memicu kontroversi bahkan pernah dilaporkan ke polisi karena dianggap menistakan agama. Misalnya, potongan video yang menjawab pertanyaan jamaah yang mengaku merasa mendapat gangguan jika melihat salib. UAS pun menjelaskan bahwa di dalam patung salib itu, terdapat jin kafir. Saya mencoba memperjelas substansi yang disampaikan UAS itu dalam video UFS Menjawab di link ini: https://youtu.be/rAQlwj4w3bo bahwa memang memiliki rujukan yang kuat dari kitab-kitab Tafsir dan Riwayat dari para sahabat Nabi. Apakah lalu tafsir dan Riwayat-riwayat itu akan dicap intoleran juga oleh kita?
Sebagaimana klarifikasi yang disampaikan ke MUI, UAS hanya menjelaskan tentang akidah Islam kepada jamaah yang terbatas bukan dalam acara Tabligh Akbar. UAS heran potongan video yang sudah berlangsung lama ini, baru dipermasalahkan. “Sebagai warga yang baik saya tidak akan lari, saya tidak akan mengadu. Saya tidak akan takut, karena saya tidak merasa bersalah, saya tidak pula merusak persatuan dan kesatuan bangsa,” ujarnya.
Tuduhan radikal dan intoleran masih saja disematkan kepada Ustadz Abdul Somad. Namun, umat justru makin mencintainya bukan menjauhinya. Tabligh Akbar UAS yang sempat dilarang di berbagai tempat, bahkan di masjid kampus Universitas Gadjah Mada, tak lepas dari ceramahnya yang kritis dan terkadang bersinggungan dengan politik. Dalam Ijtima’ Ulama, UAS diajukan untuk mendampingi sebagai Calon Wakil Presiden dari Prabowo Subianto yang maju dalam Pilpres 2019. Namun, UAS menolak untuk terjun ke dalam politik dan memilih untuk tetap berdakwah. Meski demikian, UAS secara terbuka mendukung Prabowo, bahkan ia menyampaikan pesan khususnya ketika bertemu Prabowo.
Tantangan dakwah diakui oleh UAS begitu berat. Umat Islam tengah diuji dengan pemikiran liberalisme dan sekularime yang merusak akidah. Mereka berusaha ingin memisahkan syariat Islam dari kehidupan sosial, ekonomi maupun politik Gagasan ini sudah masuk ke dunia pendidikan di Indonesia, seperti melalui penerbitan buku dan workshop-workshop dengan mengatasnamakan isu pluralisme dan keseteraan gender.
Banyak sarjana muslim dan mahasiswa di perguruan tinggi Islam gandrung dan terbius dengan pemikiran liberal yang diangkat oleh para tokoh, seperti Hassan Hanafi (hermeneutika-fenomenologi), Nasr Hamid Abu Zayd (hermeneutika sastra kritis), Mohammad Arkoun (hermeneutika-antropologi nalar Islam), Fazlur Rahman (hermeneutika double movement), Fatima Mernissi-Riffat Hassan-Amina A. Wadud (hermeneutika gender), dan Muhammad Syahrur (hermeneutika linguistik fiqih perempuan). Tak heran, jika muncul pendapat halalnya nikah beda agama, LGBT bukan sebuah penyimpangan seksual, bahkan muncul disertasi yang mengabsahkan hubungan seksual di luar nikah, dengan merujuk pada konsep ‘Milkul Yamin’ (menggauli budak perempuan tanpa akad, cukup dengan kepemilikan). Gagasan Islam liberal ini tak cukup berhenti dalam kajian di perguruan tinggi, bahkan berusaha memasukannya dalam perundang-undangan, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Haluan Ideologi Negara.
Dalam menafsirkan Al-Quran, kaum liberal ini menggunakan metode kritik dengan pendekatan sosial budaya dan sejarah, yang disebutnya hermeneutika. Padahal, secara etimologis, istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani “hermêneuin” yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Tafsir hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang dikembangkan oleh para teolog dan filosof Barat untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel.
Layakkah metode ini digunakan untuk menafsirkan Al-Quran? Bagi kaum liberal, teks Al-Quran itu berkembang pemaknaannya sesuai dengan perkembangan sosial budaya masyarakat. Metode ini akan menggusur ajaran-ajaran Islam yang baku dan permanen (tsawabit), agar compatible dengan pandangan alam (worldview) dan nilai-nilai modernitas Barat sekuler yang ingin disemaikan ke tengah-tengah umat Islam. Bahkan, kaum liberal ini terang-terangan memunculkan pandangan bahwa nash Al-Qur’an dan Sunnah telah ketinggalan zaman (‘out of date’) dan hanya menghalangi proses integrasi umat Islam dengan nilai-nilai modernitas.
Karena itulah, UAS berharap para ulama bisa bekerjasama untuk membentengi akidah umat dengan melakukan berbagai inovasi dalam berdakwah. “Semangatnya harus lebih besar karena memikul beban umat yang berat pula,” ungkap peraih anugerah Tokoh Perubahan Republika 2017 ini. Dalam kesempatan NGESHARE itu, UAS berharap agar Al-Fahmu Institute mengembangkan kajian-kajian anti liberal yang mudah dan ringan untuk konsumsi umat awam. Memang sejatinya, saya mendirikan institute ini adalah untuk menyebarkan dakwah Al-Quran dengan model digitalisasi dan kolaborasi sebagai kata kunci aktifitas dakwah di era pandemi ini.
Para ulama tak boleh hanya terpaku dengan bahaya pandemi Covid 19, yang berdampak banyak terhadap masyarakat baik secara kesehatan maupun ekonomi, tapi lupa dengan bahaya terbesar yang menggerogoti nilai-nilai keimanan umat. Saatnya, kita membuktikan sebagaimana umat Islam dahulu berhasil melewati berbagai ujian pada masa penjajahan hingga masa kemerdekaan. Maka, sebagaimana pesan dari Al-Quran dalam surat Al-Ashr, kita harus saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran. WAllahu ‘alam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam UHAMKA. Tulisan merupakan obrolan dalam Program Ngeshare bersama Ustadz Dr. Abdul Somad, Lc. MA