Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | BANYAK yang bertanya, mengapa harus Partai Demokrat (PD), yang mesti diperlakukan demikian. Diperlakukan dengan tidak semestinya. Kudeta terhadap PD tanggal 5 Maret 2021, itu dicatat buruk dalam sejarah partai politik di Indonesia.
Peristiwa ini lebih buruk dan getir dibanding KLB PDI di Medan, 1996. Soeharto yang otoriter sekalipun, tak hendak memakai tangan orang di luar partai dalam mengambil alih kepemimpinan PDI, yang diketuai Megawati Soekarnoputri. Soeharto memakai tangan Soerjadi, yang memang mantan Ketua Umum PDI.
Tapi Kudeta 5 Maret ini sungguh memilukan. Mungkin baru kali ini kudeta sebuah partai politik dilakukan oleh orang luar partai, Jenderal (Purn) Moeldoko. Mengambil paksa PD, lewat KLB di Sibolangit-Deli Serdang.
KLB yang tidak mengikuti prosedur yang diatur dalam AD/ART partai. Dan dilakukan oleh kader-kader senior yang sebagian sudah dipecat, dan bahkan sudah keluar dari PD. Mereka memakai pendekatan pokok’e Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) lengser, dan digantikan Pak Moeldoko.
Sebuah tontonan memilukan, sekaligus memalukan. Bagaimana pendekatan kekuasaan ditampakkan terang benderang, tanpa risih. Nalar sehat seolah tertelan syahwat politik. Etika politik pun sirnah.
Moeldoko harusnya paham bahwa integritas sebagai tokoh itu diukur dari tindakannya. Merebut PD itu laku tidak bermoral. Moralitas itu hukum yang given dan tidak dapat dikompromikan dalam politik.
Sedang yang dilakukan Moeldoko itu adalah ekspresi amoralitas politik. Dan dalam politik paling kotor sekalipun, tetap moral sebagai pembatasnya.
Semua tampak terang benderang, bagaimana lalu negara memberikan ruang perlakuan kudeta pada sebuah partai politik dengan semena-mena. Seolah perlakuan amoral itu menjadi biasa saja.
Peristiwa ini pastilah disorot dunia dengan penilaian buruk. Karenanya, indeks demokrasi kita pastilah akan terjungkal jatuh ke bawah. Asas demokrasi yang kita pilih saat menggelorakan orde reformasi jatuh menuju titik nadir otoriterianisme.
Rumus St Agustinus Mengajarkan
Pagi kemarin, Sabtu (6 Maret), kawan diskusi, seorang pengamat politik terdepan yang jika bicara dan menulisnya sama baiknya, mengirim pesan lewat WhatsApp, itu setelah membaca opini “KLB PD Seolah Mengulang Sejarah KLB Medan, 1996: Noda Hitam Demokrasi”.
“Permainan Catur 2024 yang makin terbuka. Saya lihat beberapa pemain ambil langkah keliru,” itulah pesannya, mengawali diskusi yang lumayan panjang.
Maka, ia sempat ingatkan pada Rumus St Agustinus, dalam melihat peristiwa “Kudeta 5 Maret”, itu. Sarannya itu memang sangatlah tepat.
Apa itu Rumus St. Agustinus?
Rumus St. Agustinus mengajarkan, bahwa melihat sebuah peristiwa itu tidak berdiri sendiri, saling terkait. Rumus sederhana, tapi bisa dirarik pada berbagai peristiwa, khususnya peristiwa politik.
Kunci dalam rumus St. Agustinus, bahwa “Waktu adalah tiga lipat masa kini“. Masa lalu adalah memori masa kini. Masa kini adalah waktu yang sedang kita jalani. Masa depan adalah harapan masa kini.
Maka Rumus St. Agustinus itu bisa ditarik pada peristiwa masa lalu dalam melihat peristiwa penyerangan kantor PDI di jalan Diponegoro, Jakarta. Kita kenal dengan Kudatuli — istilah yang kerap dipakai kubu Megawati untuk Kudeta 27 Juli 1996.
Entah kenapa kubu Megawati acap mengaitkan Kudatuli itu dengan Brigjen Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Kasdam Jaya saat itu, dibanding mengaitkan dengan Mayjen Sutiyoso, Pangdam Jaya, atasannya. Apa karena Brigjen SBY menantu Letjen Sarwo Edi Wibowo, seorang jenderal penumpas G30S PKI, yang seolah diperhadapkan dengan Presiden Soekarno. Tidak tahu persis apa penyebabnya.
Sedang Sutiyoso, yang harusnya orang yang paling bertanggung jawab pada aksi Kudatuli, itu justru dicalonkan sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh PDI Perjuangan (tambahan Perjuangan pada inisial PDI, setelah reformasi).
Rumus St Agustinus mengajarkan, bahwa setiap peristiwa hari ini bisa dilihat dalam rangkaian kesinambungan sejarahnya dengan kemarin dan akan datang.
Dalam konteks “Kudeta 5 Maret”, yang melibatkan Jenderal Moeldoko, Kepala Staf Kepresidenan, yang mengambil paksa kepemimpinan PD dari AHY, putra sulung SBY, ini seperti sejarah yang berulang.
Sejarah yang berulang dari peristiwa 27 Juli 1996, itu merupakan memori dari peristiwa Kudeta 5 Maret 2021. Sedang masa depan tidak lain dimaknai dengan Pemilihan Presiden 2024. Rumus St Agustinus relevan untuk melihat peristiwa yang saling kait mengkait.
Sejarah politik bukanlah tumpukan potret, tapi bisa diseumpamakan rangkaian dari satu rol film yang panjang dan tersambung-sambung. Teori rol film, itu bisa menghubungkan “kudeta 5 Maret” dengan kisah sebelumnya kudeta 27 Juli 1996, lalu ending rol film itu pastilah Pemilihan Presiden 2024.
Kudeta 5 Maret itu, dianggap bisa melapangkan jalan menuju Pemilihan Presiden 2024, sembari sepanjang jalan akan terus mencabuti duri-duri yang dianggap menghalangi, agar jalan menuju tahun 2024 mulus sesuai harapan.
Menuju tahun 2024 tidak boleh ada penghalang yang boleh menghalangi, maka Kudeta 5 Maret, itu bisa jadi bagian dari memuluskan berbagai skenario yang diadakan. Karenanya berbagai hal bisa dimunculkan.
Diantaranya, memungkinkan amandemen UUD 45, agar jabatan presiden tidak cuma 2 (dua) periode. Sekali lagi segala hal bisa dimungkinkan, dan itu bisa saja terjadi.
Rumus St. Agustinus amatlah relevan dalam melihat fenomena yang terjadi, itu seperti kita sedang menonton adegan film dari rol yang panjang… Wallahu a’lam. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya