PARA ulama sepakat bahwa menghadap kiblat adalah syarat wajib dalam shalat. Kesepakatan para ulama juga sampai kepada keputusan bila seseorang mampu melihat bangunan kakbah ketika shalat, maka wajib menghadapnya secara yakin. Hanya yang menjadi perbedaan di kalangan ulama, jika Ka’bah tidak terlihat. Jumhur ulama (kecuali Syafi’iyyah) berpendapat bahwa yang diwajibkan menghadap arah Ka’bah saja.
Untuk menentukan arah Kiblat tentu saja membutuhkan metode atau tata cara. Adalah Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar melalui buku “Kakbah dan Problematika Arah Kiblat” ini memaparkan dengan terperinci bagaimana proses yang mesti dilakukan. Proses yang dimaktubkan di dalam buku ini berdasarkan disiplin ilmu dan praktek yang sudah lazim dilakukannya. Apalagi, penulis menekuni disiplin Ilmu Falak ini saat masih menjadi mahasiswa strata satu hingga meraih gelar Doktor di Institute of Arab Researc dan Studies, Kairo-Mesir.
Di dalam buku ini, penulis menjelaskan bahwa perbincangan teori dan metode dalam menentukan arah kiblat berawal di abad 3/9. Bahkan Al-Biruni di dalam karyanya “al-Qanun al-Mas’udy” telah mengurai secara ringkas tata cara penentuan arah kiblat secara astronomis dan sistematis. (hal. 24)
Untuk Indonesia, diskursus arah kiblat dipelopori oleh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1227 M), pengarang kitab Sabilal Muhtadiin, yang belajar ilmu falak langsung dengan Ibrahim Ar-Rais az-Zamzami. Namun semarak kajian astronomi (falak) praktis di Indonesia pertama kali dicetuskan oleh KH. Ahmad Dahlan (w. 1923 M). Sehingga wajar bila Muhammadiyah mengklaim sebagai lokomotif pengguna hisab astronomis penentuan waktu dan momen ibadah di tanah air ini. (hal. 33)
Dalam praktik penentuan arah kiblat, ada tiga cara modern yang sering digunakan. Yaitu, (1) menggunakan ilmu ukur segitiga bola, (2) memperhitungkan bayang-bayang kiblat, (3) memanfaatkan momen matahari melintas di atas Kakbah. (hal. 86).
Cara ketiga adalah cara sederhana yang dapat dilakukan tanpa memerlukan hitungan. Yaitu, ketika terjadi deklanasi matahari sama dengan Lintang Ka’bah atau Makkah. Untuk Indonesia, memomen ini terjadi dua kali, yaitu setiap tanggal 27 Mei (tahun kabisat) atau 28 Mei (tahun Basitat) pukul 16:18 WIB dan tanggal 16 Juli (tahun kabisat) atau 16 Juli (tahun Basitat) pukul 16: 27 WIB. (hal. 93)
Buku ini dibagi penulis menjadi delapan bab. Yaitu, Pendahuluan; Sejarah Ka’bah dan Makkah; Posisi geografis dan astronomis Ka’bah; Perpalingan dari Baitul Maqdis ke Baitullah; Hukum menghadap kiblat; Dalil-dalil kiblat; Tata cara dan hisab penentuan arah Kiblat; Instrumen-instrumen penentua Arah Kiblat.
Buku ini penting dibaca buka hanya bagi para ustadz, dosen agama, mahasiswa universitas Islam, tetapi juga bagi masyarakat awam yang ingin mengetahui apakah arah kiblat shalat di masjid atau di rumah sudah tepat atau belum. Selamat membaca!
Buku : Kakbah dan Problematika Arah Kiblat
Penulis : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar
Penerbit : Museum Astronomi Islam, Yogyakarta
Tahun Terbit: 2013
Halaman : X + 118 halaman
Peresensi Rahmat Hidayat Nasution, Anggota Komisi Infokom MUI Kota Medan