Oleh: Dr. Elly Warti Maliki, MA
Maqashid Syariah, HAM dan al-Quran
Perilaku negative thinking umumnya melahirkan sikap “defense behavior” yang membuat pelakunya menjadi lemah dan sulit berkembang. Karena tidak mampu menghadapi perubahan, biasanya pribadi defensif akan lari dari kenyataan. Ia akan mencela semua yang baru, yang bertentangan dengan alam fikirannya. Fenomena inilah yang mendominasi kehidupan umat Islam pada era ini.
Dalam kehidupan terisolir inilah muncul persepsi bahwa globalisasi telah membuat masyarakat Islam jatuh ke jurang jahiliyah modern, karena itu globalisasi harus dilawan sekuat tenaga.
Pertanyaanya, mampukah maqashid syariah menjawab pertanyaan-pertanyaan dan masalah atas semua ini?
Maqashid syariah artinya tujuan Allah dan Rasulnya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Al Sunnah, suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia. Maqashid Syariah adalah salah satu teori dalam disiplin ilmu keislaman, dan merupakan prestasi gemilang di bidang pemikiran yang telah dicapai oleh ulama Islam beberapa abad yang lalu.
Jauh sebelum globalisasi mengenal istilah hak asasi manusia (HAM), para ulama telah memperkenalkan dan membincangkan bahwa ada lima hal menyangkut kehidupan yang harus dipelihara. Yakni; menjaga agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan. Hanya saja sebagian besar dari mereka ini membatasi pandangannya pada sisi defensif saja dan mengabaikan sisi ofensifnya.
Ketika berbicara tentang tujuan syariat, para ahli usul fikih umumnya memandang tujuan syariat dari sisi pemeliharaan atau penjagaan. Karena itu ketika menderivasi hukum perhatian mereka terfokus kepada penjagaan lima hal diatas yang membuat maqashid syariah tidak efektif dalam membangun masyarakat, akibatnya umat menjadi lemah baik dari segi intelektual, maupun menejerial.
Imam Al-Syathiby telah melihat maqashid syariah dari dua sisi: “wujud” dan “adam” atau “the presence and the absence”. Dalam bukunya Al-Muwafaqat beliau mengatakan bahwa: “Menjaga maqashid syariah harus dengan dua hal. Pertama, menegakkan pondasi dan tiangnya sebagai bentuk perhatian terhadap al-wujud. Kedua, menangkal kerusakan yang akan terjadi atau diperkirakan akan terjadi sebagai bentuk perhatian terhadap al-‘adam”. Hanya saja ide dasar ini masih memerlukan uraian, penjelasan dan penjabaran yang dapat menghubungkannya dengan realita kehidupan umat dari masa ke masa.
Di antara ulama yang melihat maqashid syariah dengan cara pandang “double vision correlation” adalah Imam Ibnu Taimiyah.
Dalam pandangan beliau membangun al-wujud adalah dasar, sedangkan menjaga al-‘adam merupakan pelengkap. Sisi pertama adalah tujuan utama, sedangkan sisi kedua adalah tujuan pelengkap.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan syariat, ibarat sebuah gedung maka fisik bangunan harus dibangun terlebih dahulu, kemudian baru maintenance atau pemeliharaannya.
Ibnu Taimiyah selanjutnya mengatakan: “Sebagian ulama membatasi maslahat pada penjagaan agama, jiwa, harta, kehormatan, akal dan badan. Padahal seharusnya bukan demikian. Maslahat yang sebenarnya ada pada pencapaian manfaat dan pencegahan mudarat. Kelima Maqashid Syariah yang mereka sebutkan baru merupakan satu bagian saja. Mereka yang membatasi maslahat pada sangsi kriminal yang merupakan pencegahan terhadap kerusakan berarti mereka telah mengkerdilkan syariat itu sendiri”.
Jika memandang Maqashid Syariah secara defensif merupakan pengkerdilan terhadap syariat sehingga masyarakat Islam menjadi lemah dan terbelakang, maka untuk dapat mengungguli perubahan sudah seharusnya “negative thinking” dirubah menjadi “positive thinking” melalui perubahan cara pandang terhadap maqashid syariah dari defensif kepada ofensif, sekaligus sebagai bentuk pengembangan terhadap teori maqashid yang telah dicetuskan para ulama semisal Al-Syathiby, Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Hal tersebut tentunya mencakup kelima bagian dasar yang telah disebutkan di atas.
Jika tinjauan dari sisi defensif menggunakan kata “hifzh” atau “menjaga” maka dari sisi ofensif dapat diungkapkan dengan menggunakan kata “hak”, karena hak adalah sesuatu yang secara legitimis harus direalisir. Hak dalam Islam merupakan pemberian Allah S.W.T. yang telah ditetapkan di dalam al-Qur’an dan dijelaskan oleh Al-Sunnah. Sumber hak adalah Allah S.W.T. karena Allahlah penentu dan penetap bagi sesuatu. Hak dalam syariat Islam mempunyai dua sisi kewajiban.
Kewajiban umum kepada manusia untuk menghormati hak seseorang, dengan tidak merampas dan tidak menghalanginya, dan kewajiban khusus bagi pemilik hak untuk menggunakannya tanpa mengganggu hak orang lain.
Jika dari sisi pandang al-‘adam, maqashid syariah diungkapkan dengan istilah menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta dan menjaga kehormatan, maka dari sisi al-wujud dapat diungkapkan dalam istilah kontemporer dengan hak beragama, hak hidup, hak berpendidikan, hak bekerja dan hak pengakuan eksistensi kemanusiaan. Kelima hak ini telah mencakup semua hak dasar yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.
Pertama: Hak beragama sebagai dasar untuk menjaga agama
Hukuman bagi orang murtad, peringatan bagi orang musyrik, dan memerangi lawan dalam peperangan disyariatkan untuk menjaga agama. Maka menjalankan ibadah dan melaksanakan perintah agama merupakan hak beragama. Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur’an dan Al-Sunnah menjelaskannya.
Allah S.W.T. berfirman: “Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah 2:193).
Hal ini dijelaskan oleh Al-Sunnah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud: “Saya diperintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik sehingga mereka mengucapkan La Ilaha Illa Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Jika mereka melakukannya berarti mereka telah menyelamatkan nyawa dan harta mereka, sedangkan ganjarannya Allah S.W.T. yang akan memberikan.” (Shahih Bukhari hadis no. 25)
Adapun yang berhubungan dengan hak beragama, Allah S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk menjalankan ibadah berupa shalat, puasa, zakat, haji ke baitulllah dan ibadah vertikal lainnya karena manusia diciptakan tiada lain adalah untuk menyembah Allah. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Al-Zariyat 51:56).
Untuk menjaga agama, Allah S.W.T juga telah memerintahkan kaum muslimat untuk memakai hijab (jilbab), menjaga pandangan mata dan segala bentuk ibadah horizontal lainnya.
Jika makna “hak beragama” difahami dengan arti yang sebenarnya, maka kebutuhan seseorang dalam menjalankan ibadah baik vertikal maupun horizontal, menjadi kewajiban bagi yang lain untuk tidak menghalanginya. Atas dasar ini, tidak ada alasan bagi siapapun untuk melarang wanita berjilbab melintasi negara manapun. Ini juga sesuai dengan resolusi PBB tentang kebebasan beragama. Sebuah pemerintahan yang melarang warga negaranya menggunakan jilbab, sebagimana yang terjadi di Tunis saat ini, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM yaitu hak menjalankan perintah agama. Begitulah cara berpikirnya.*/bersambung
Penulis adalah anggota International Union for Muslim Scholars