Karya Al-Attas yang fenomenal mengenai pendidikan umat Islam di dunia, saat ditulis untuk Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Makkah 1977
Oleh: Daru Nurdianna, M.Pd
Hidayatullah.com | SYED MUHAMMAD NAQUIB (SMN) al-ATTAS adalah cendekiawan kontemporer yang karyanya memberikan banyak manfaat untuk menghadapi arus modernisasi peradaban Barat-Sekular. Tepat pada 5 September 2022 kemarin, beliau berumur 91 Tahun. Nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibnu Ali ibnu Abdullah ibnu Muhsin al-Attas.
Nama pendeknya Syed Muhammad Naquib al-Attas. Tempat Tanggal Lahir di Bogor, Jawa Barat, Indonesia, pada 5 September 1931 M (sekitar 22 Rabiul Akhir 1350 H). Silsilah Keluarganya, orang tua adalah Syarifah Raquan al-‘Aydarus dari Bogor dan Syed Ali Abdullah ibnu Muhsin Ibnu Muhammad al-Attas dari Malaysia. Keluarga besar SMN al-Attas dalam silsilah koleksi pribadinya, adalah keturunan ke-37 dari Nabi Muhammad Saw.[1]
SMN al-Attas adalah pendiri lembaga fenomenal ISTAC di Jalan Damansara. Dalam sejarah pendirian lembaga ini, tidaklah mudah dan penuh tantangan. Sempat ditentang karena beberapa alasan seperti: tidak sepakat, pemikirannya susah dipahami dan karena dengki terhadapnya.
Namun usaha SMN al-Attas untuk mendirikan sebuah institut yang merefleksikan pandangan dunia Islam dan fokus memperbaiki persoalan ilmu pengetahuan tetap terus diperjuangkan. SMN menceritakan bahwa dirinya sudah berusaha keras dengan tidak hanya menyampaikan gagasan dan cita-citanya di kampus-kampus, tetapi juga di masjid-masjid kampung dan lorong sempit.
SMN al-Attas pernah berujar sambil tertawa, “bayangkan… seorang profesor keluar masuk masjid kampung dan lorong sempit”. SMN al-Attas menceritakan juga kepada wartawan Ulumul Qur’an saat di wawancarai di ruang kerjanya di gedung ISTAC:
“Banyak orang tidak faham dengan gagasan-gagasan yang pernah saya ajukan. Namun demikian, dalam berbagai kesempatan saya telah berusaha menjelaskan. Tetapi masalah lain yang cukup menghambat adalah soal hasad, dengki. Orang-orang yang tidak membaca buku saya mengeluh, karena tidak faham, atau mengatakan bahwa yang saya tulis itu berkenaan dengan masa lampau, dan sebagainya. Padahal itu disebabkan karena merekalah yang tidak mau meningkatkan kapasitas intelektualnya. Gagasan yang saya ajukan menyangkut soal yang besar dan mendasar maknanya bagi umat Islam. Kita tidak mungkin mundur lagi…”[2]
Gagasan SMN al-Attas mulai menemukan titik terang setelah bertemu dan berbincang dengan mantan mahasiswanya, Anwar Ibrahim yang saat itu menjadi menteri Pendidikan. Sebelum ditunjuk oleh Anwar sebagai Founder–Director, Tan Sri Murad Mohd Noor, selaku Jawatankuasa Tetap Kewangan (Standing Financial Committee) IIU juga telah melantik SMN al-Attas sebagai Universiti Profesor bagi Pemikiran dan Tamaddun Islam dan Pengasas dan Pengarah Institut.[3]
Sejak ditunjuk sebagai Founder-Director ISTAC, SMN al-Attas bekerja serius menyiapkan segalanya. Hingga setelah izin operasional turun, SMN al-Attas tetap bekerja ulet. Menurut cerita Mohd Sani bin Badron, SMN al-Attas telah bekerja secara totalitas dalam mengontrol pembangunan sarana dan prasarana ISTAC:
“Beliau (SMN al-Attas) memeriksa, mengawasi, dan mengurus pembinaan hampir setiap hari, termasuklah hari-hari cuti umum. Oleh karena beliau berkehendakkan agar ciri-ciri bangunan ISTAC menggambarkan dimensi akliah dan rohaniah tradisi Islam (disertai kesan tradisi Barat yang positif), beliau juga sentiasa berunding dengan para arkitek dan jurutera demi memastikan tiap-tiap pemerincian bangunan tersebut dilaksanakan dengan setepat-tepatnya. Di samping itu beliau turut terlibat untuk menawar harga barang-barang supaya ISTAC memperolehi bahan-bahan binaan yang terbaik dengan harga kos yang paling murah. Semua khidmat ini diberikan tanpa mengambil sesen pun yuran profesional.”[4]
Karyanya yang fenomenal akan perhatian besarnya mengenai kondisi pendidikan di seluruh umat Islam di dunia, adalah makalah yang ia tulis untuk Konferensi Dunia Pertama mengenai Pendidikan Islam di Mekkah 1977 berjudul “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”.[5]
Kemudian ia menerbitkan monograf lain sebagai penguat gagasannya yang berjudul “the Concept of Eduaction in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy of Education”, yang intinya adalah komentar mengenai isi di halaman 4-7, 9-12, dan 14-20 dari makalah yang disampaikan di konferensi itu.[6] Setelah itu, ia kembangkan kembali ke dalam sebuah buku yang berjudul “Islam and Secularism” di Bab IV dan V.[7]
Dari ketiga karya inilah, konsep utama pendidikan SMN al-Attas mengenai konsepsi ta’dīb dan adab secara komprehensif dapat dikaji.
Konsep-konsep dasar Islam jika diimplementasikan dalam sistem pendidikan, SMN al-Attas merekomendasikan beberapa konsep kunci esensial, konsep-konsep itu diantaranya: (1) Konsep dīn (Agama/Religion); (2) Konsep insān (manusia/man); (3) Konsep ‘ilm and ma’rifah (ilmu/knowledge); (4) konsep ḥikmah (kebijaksanaan/wisdom) (5) Konsep ‘ad (keadilan/justice); (6) Konsep ‘amal as adab (amal sebagai adab/right action) dan (7) Konsep kulliyah-jāmi’ah (universitas/university).
Latar belakang filsafat pendidikan SMN al-Attas adalah adanya fenomena loss of adab (hilangnya adab). Dilema hilangnya adab ada tiga kondisi yang saling terhubung, yakni (1) kebingungan dan kesalahan dalam pengetahuan; menciptakan kondisi (2) hilangnya adab dalam komunitas; kemudian kondisi yang timbul dari (1) dan (2) adalah (3) munculnya pemimpin yang tidak memenuhi syarat untuk kepemimpinan yang sah dari komunitas Muslim, yang tidak memiliki standar moral, intelektual, dan spiritual yang tinggi yang diperlukan untuk kepemimpinan Islam, yang melestarikan kondisi di (1) di atas dan memastikan kontrol yang berkelanjutan urusan komunitas oleh para pemimpin seperti mereka yang mendominasi di segala bidang.[8] Kemudian, secara spesifik, persoalan umat di era ini menurut SMN al-Attas adalah ilmu pengetahuan yang telah terkontaminasi budaya dan pandangan dunia Barat-sekuler.[9]
Dalam pemahamannya terhadap manusia, SMN al-Attas sepakat dengan konsep manusia klasik yang mengkonsepsikan manusia sebagai hewan berakal ‘rational animal’. Dalam perspektif Islam, disebut ‘al-ḥayawān al-nāṭiq’.
Hewan yang berakal, yang mampu memahami bahasa dan memahami ma‘nā (yang benar) dalam bahasa. Ma’nā (makna): pengenalan tempat sesuatu dalam sistem yang terjadi ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem, sehingga menjadi jelas dan dipahami.[10]
Sehingga menentukan isi materi pendidikan harus berisi isi pengakuan dan pengakuan tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan, sehingga mengarah pada pengakuan dan pengakuan tempat yang tepat dari Tuhan dalam tatanan keberadaan “being and exixtence”.[11]
Kemudian, masih sejalan dengan pemikiran itu, SMN al-Attas menyebutkan definisi pendidikan—termasuk proses pendidikan, sebagai pengakuan dan pengakuan, yang secara progresif ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam pengakuan akan tempat yang tepat dari Tuhan dalam tatanan keberadaan dan keberadaan.[12] Adapun tujuan pendidikan menurut SMN al-Attas adalah memproduksi manusia yang baik “Produce good man”.[13]
Sehingga, dalam sebuah ungkapan singkat, pendidikan menurut SMN al-Attas adalah penanaman (instiling and inculcation) adab dalam diri manusia, yang kemudian proses itu disebut dengan “ta’dīb”.[14] Maka kata kunci konsep pendidikan SMN al-Attas adalah Adab[15]dan Ta’dīb. Ta’dīb berasal dari hadits “Addabanī Rabbī fa aḥsana ta’dībi” Artinya: Tuhan telah mendidikku (adabba) dan menjadikan pendidikanku sebaik-baik pendidikan (ta’dīb)[16]
Universitas Islam menurut SMN al-Attas adalah sebuah lembaga yang secara microcosmic merefleksikan manusia, yakni yang dimaksud adalah manusia universal (Universal Man/al-insān al-kulliyy). Menurut kajiannya mengenai universitas di Barat dan sejarah asli konsep universitas yang berakar pada kata ‘unversatitem’ dalam bahasa Latin, jelas merepresentasikan konsep asli yang dapat dipahami dari pandangan dunia Islam mengenai makna ‘kulliyyah’.
Ini juga terlihat dari anatomi pembagian fakulas (faculty), adalah merujuk kepada ‘quwwah’ yang bermakna suatu kekuatan yang melekat pada tubuh dalam sebuah organ. Sehingga, sebenarnya konsep universitas, dapat disimpulkan bahwa ia sebenarnya tidak bisa lepas dari pengaruh ilmu kedokteran Islam zaman dahulu yang sangat terkenal di Barat.[17]
Namun, bagi SMN al-Attas, universitas yang dikembangkan di Barat saat ini telah berubah, dan telah berkembang menjauhi konsep asli yang memiliki makna-makna manusia sempurna, sehingga ia mengkritiknya dan mengajak umat Islam membuat universitas dengan landasan dan konsep Islam menuju konsepsi manusia sempurna kembali. Kemudian, dapat dengan jelas arah pengembangan universitas dari perspektif Islam, dapat merujuk kepada Nabi Muhammad Saw. yang jelas telah merepresentasikan manusia sempurna (al-insān al-kamīl), yang pantas sebagai refleksi mirokosmik dari ‘universitas’ (university).[18]
Menurut SMN al-Attas universitas Islam memiliki perbedaan yang sangat fundamental dengan universitas di Barat. Universitas Islam memiliki struktur, konsepsi ilmu, dan tujuan yang berbeda dari apa yang dipahami Barat. Dalam sebuah surat yang Wan Mohd Nor Wan Daud ceritakan, ditujukan kepada Sekretariat Islam pada 15 Mei 1973 M. Penekanannya pada perbedaan antara ‘universitas’ Islam dan universitas Barat sekuler dalam aspek struktural, epistemologis, dan teleologisnya disengaja dan bijaksana. SMN al-Attas menyatakan:
“didirikan Universitas Islam yang strukturnya berbeda dengan Universitas Barat; yang konsepsinya tentang apa yang membentuk pengetahuan berbeda dari apa yang dikemukakan oleh para filsuf Barat sebagai pengetahuan; yang tujuan dan aspirasinya berbeda dari konsepsi barat. Tujuan pendidikan tinggi bukanlah, seperti di Barat, untuk menghasilkan warga negara yang lengkap, melainkan, seperti dalam Islam, untuk menghasilkan manusia yang utuh, atau manusia universal… Seorang sarjana Muslim adalah seorang pria yang bukan spesialis. dalam satu cabang pengetahuan tetapi bersifat universal dalam pandangannya dan berwibawa dalam beberapa cabang pengetahuan terkait”[19] .
Penulis adalah alumnus PKU UNIDA Gontor Angkatan XII
[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice..., hlm. 1.
[2] Ibid., hlm. 105-106.
[3] Wan Mohd Nor Wan Daud, Rihlah Ilmiah…, hlm. 181.
[4] Mohd Sani Badron, Tamadun Sebagai Kenyataan Luhur…, hlm. 201.
[5] Syed Muhammad Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, (Jeddah: King Abdulazis University, 1979), hlm.1.
[6] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam; A Framework for an Islamic Philosophy of Education, (Kuala lumpur: ISTAC, 1999), hlm. vii.
[7] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism, Fourh Impression, (Kuala Lumpur: Ta’dib International, 2019), hlm. 97-167.
[8] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Obejctive…, hlm. 2, juga disampaikan dengan redaksi yang sama di “Islam and Secularism”. Lihat: Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism…, hlm. 106.
[9] Ibid., hlm. 133.
[10] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam…, hlm. 13-15.
[11] Ibid., hlm. 133.
[12] Ibid., hlm. 26.
[13] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives…, hlm. 1.
[14] Ibid, hlm. 37.
[15] Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam..., hlm. 21.
[16] Ibid., hlm. 25. Mengenai hadits ini, juga dipakai dalam ‘Introduction’ di buku “Aims and Objectives of Islamic Education”. Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islamic Education…, hlm. 1.
[17] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism…, hlm. 154
[18] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism…, hlm. 154-155. Kritik SMN al-Attas mengenai Universitas Barat ini telah diuraikan yang pertama kalinya secara komprehensif di makalahnya saat Konferensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah 1977, pada halaman 37-43 dalam “Aims and Objective of Islamic Education”. Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas (ed.), Aims and Objective…, hlm. 37-43. Kemudian disampaikan kembali di “Islam and Secularism” dalam Bab kelima ‘Dewesternization of Knowledge’, pada halaman 154-159.
[19] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Beacon…, hlm. 9.