Hidayatullah.com — Pemerintah Imarah Islam Afghanistan yang dipimpin Taliban akan mengubah beberapa bekas pangkalan militer menjadi zona ekonomi untuk bisnis.
Sejak berhasil mengusir AS dan NATO pada Agustus 2021, Afghanistan telah menghadapi krisis ekonomi dan kemanusiaan yang semakin dalam.
Memanfaatkan banyaknya pangkalan militer yang dibangun oleh pasukan asing selama dua dekade, Afghanistan berencana mengubahnya menjadi zona ekonomi khusus, lansir Saudi Gazette, Senin (20/02/2023).
“Diputuskan bahwa Kementerian Perindustrian dan Perdagangan harus secara progresif mengambil kendali atas pangkalan militer yang tersisa dari pasukan asing dengan maksud mengubahnya menjadi zona ekonomi khusus,” kata Mullah Baradar, pelaksana Wakil Perdana Menteri Bidang Perekonomian, dalam sebuah pernyataan pada hari Ahad (19/02).
Proyek tersebut, tambahnya, akan dimulai dengan bekas pangkalan militer di ibukota dan di provinsi utara.
“Taliban sangat membutuhkan untuk meningkatkan pundi-pundinya jika ingin memerintah dengan lebih baik dan mendapatkan legitimasi domestik,” kata Muhammad Faizal Bin Abdul Rahman dari S. Rajaratnam School of International Studies di Singapura kepada BBC.
“Lebih penting lagi, Taliban perlu membuktikan komitmennya terhadap perencanaan ekonomi. Ini termasuk membangun zona aman di dekat ibu kota dan perbatasan untuk calon investor asing seperti China… dan untuk menghidupkan kembali perdagangan regional dengan negara tetangga,” tambahnya.
Afghanistan diperkirakan memiliki sumber daya alam – termasuk gas alam, tembaga dan batu mulia – bernilai lebih dari $1 triliun.
Namun, banyak dari cadangan itu tetap belum dimanfaatkan karena kekacauan selama beberapa dekade di negara ini.
Pada Agustus 2021, pasukan militer AS terakhir meninggalkan bandara Kabul, menandai berakhirnya 20 tahun pendudukan di Afghanistan dan perang terpanjang Amerika. Konflik tersebut telah menewaskan puluhan ribu orang dan menelantarkan jutaan lainnya.
Sejak penarikan pasukan militer asing, keuangan Afghanistan telah dilanda sejumlah masalah besar lainnya.
Lantaran sanksi yang dijatuhkan Barat terhadap negara itu dan pembekuan aset luar negeri bank sentral Afghanistan. Selain itu, pemberhentian bantuan asing juga banyak yang ditangguhkan.
Awal tahun ini, Taliban mengatakan pihaknya berencana untuk menandatangani kontrak dengan sebuah perusahaan China untuk mengebor minyak di Afghanistan utara. Kesepakatan 25 tahun menggarisbawahi keterlibatan ekonomi China di wilayah tersebut.
Beijing belum secara resmi mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan tetapi memiliki kepentingan signifikan di negara itu, yang merupakan pusat wilayah penting bagi Inisiatif Sabuk dan Jalan China.
Diluncurkan oleh Xi Jinping pada tahun 2013, inisiatif ini menyediakan pembiayaan bagi negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan jembatan.*