Hidayatullah.com– Para politisi Kristen di Iraq berusaha membatalkan legislasi larangan impor dan penjualan minuman beralkohol (minol) alias minuman keras (miras).
Aparat bea cukai hari Sabtu (4/3/2023) diperintahkan untuk melaksanakan larangan tersebut, yang menjadi undang-undang meskipun ada suara penolakan, lansir BBC.
Kelompok Kristen bernama Gerakan Babilon itu, yang memiliki lima kursi perwakilan di parlemen, melayangkan gugatan dengan alasan UU tersebut tidak demokratis karena mengabaikan hak-hak minoritas dan membatasi kebebasan.
UU itu juga bertentangan dengan keputusan pemerintah, yang diberlakukan lebih dahulu kurang dari sepekan sebelum lembaran negara mempublikasikan UU tersebut pada 20 Februari. Peraturan pemerintah itu menetapkan tarif 200% untuk semua minuman beralkohol impor yang diimpor selama empat tahun ke depan, kata mereka.
Konsumsi alkohol di tempat umum tidak disukai masyarakat di Iraq, yang mayoritas Muslim. Namun, minuman beralkohol dapat dibeli di toko minuman keras atau bar-bar berlisensi.
UU tersebut, yang aslinya diloloskan oleh parlemen pada 2016, memberlakukan denda sampai 25 juta dinar Iraq.
Peraturan tersebut melarang penjualan, impor atau produksi minuman beralkohol, dan baru menjadi resmi menjadi UU bulan lalu, tujuh tahun setelah diloloskan, setelah dimuat dalam lembaran negara.
Masih belum jelas seberapa ketat peraturan baru itu akan ditegakkan, dan apakah nantinya akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Sarmad Abbas, seorang agen properti berbasis di Baghdad, kepada AFP bahwa UU itu justru akan menyemarakkan perdagangan miras di pasar gelap.
Dia mengakui bahwa ajaran Islam melarang konsumsi alkohol. “Tetapi ini adalah kebebasan pribadi yang tidak dapat Anda larang untuk dilakukan oleh warga negara,” katanya.
RUU itu kabarnya diusulkan oleh Mahmoud al-Hassan, yang kala itu adalah seorang hakim dan anggota parlemen dari Koalisi Negara Hukum Iraq. Al-Hassan berargumen RUU selaras dengan Pasal 2 Konstitusi Iraq tahun 2005, yang melarang undang-undang apa pun yang bertentangan dengan Islam, lapor Associated Press.*