Hidayatullah.com—Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, KH. Dr. Nashirul Haq MA merespon terkait kemungkinan perbedaan hari raya Idul Fitri, 1 Syawal di Indonesia. Dalam kuliah Subuh di Masjid Baitul Karim, Pusat Dakwah Hidayatullah, Cipinang, Jakarta Timur ia menyampaikan Organisasi Hidayatullah mengikuti jumhur dalam sidang isbat.
“Di Indonesia, Ormas-ormas Islam ini kan di bawah naungan Kementerian Agama, Bimas Islam. Mereka sidang isbat dengan melibatkan ulama-ulama dan ormas-ormas Islam, “ ujarnya.
Sebagai Ketua Umum DPP Hidayatullah, dalam kesempatan ini juga, ia menyampaikan sikap Hidayatullah yang mengikuti jumhur di Indonesia. “Hidayatullah mengikuti pandangan jumhur. Dan demi kemaslahatan bersama, maka kita mengikuti mayoritas kaum muslimin di Indonesia,” paparnya.
Ia kemudian menjelaskan argumen dan dalilnya kenapa harus mengikuti jumhur. Ia mengutip dua hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, yang artinya, “Puasa itu adalah ketika manusia berpuasa. Berbuka itu ialah ketika masyarakat/manusia berbuka.”
Ia juga mengutip hadis lain, yang artinya, “Puasa itu ialah ketika manusia berpuasa. Idul Fitri itu ialah ketika umat manusia berbuka.”
Menurutnya, hadis tersebut menunjukkan bahwa ibadah puasa, syawal, hari raya adalah ibadah yang dilakukan secara kolektif atau secara bersama-sama.
“Sekali lagi, Hidayatullah seluruh Indonesia, sikapnya, istilahnya itu tidak mengikuti pemerintah, tetapi mengikuti keputusan sidang isbat yang diprakarsai oleh pemerintah yang diikuti oleh majelis ulama dan umat Islam. Nah, jadi kita mengikuti jumhur (kalangan terbanyak),” tegasnya.
Alumni Universitas Madinah dan IIIU Malaysia ini juga menjelaskan metode-metode dalam penentuan 1 Syawal yang banyak dipakai. Di antara ru’yatul hilal (melihat bulan) dan dengan hisab (penghitungan).
Ia menjelaskan panjang lebar bagaimana cara kerja dua metode ini dan bagaimana perbedaan antara keduanya. Menurutnya, dua sarana ini sah-sah saja, memiliki dalil-dalil keabsahannya masing-masing. Namun, menurutnya, di Indonesia secara nasional, yang memiliki otoritas ialah pemerintah.
“Penetapan 1 Syawal adalah masalah keummatan, bukan masalah pribadi, maka yang menentukannya adalah pemerintah. Kalau infak, sadaqah, monggo pribadi. Tapi kalau 1 Ramadhan, 1 Syawal maka ini wewenangnya pemerintah,” ungkap pria kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan ini.
Ia mengatakan, ru’yatul hilal atau hisab bukanlah ibadah, sebab, ibadahnya sendiri adalah puasa. Menurutnya ru’yah dan hisab itu sendiri hanyalah sarana.
“Sebenanrnya, kalau kepemimpinan Islam itu kuat, mau pakai ru’yah atau hisab itu terserah. Tergantung otoritasnya, persoalan benar salah itu relatif. Yang terpenting adalah mana yang disepakati,” tambahnya.*/Rizki Ulfahadi