Hidayatullah.com | DALAM beberapa bulan terakhir, orang-orang Kristen di Yerusalem merasakan adanya peningkat pelecehan dan kekerasan oleh ekstrimis Yahudi. Dilansir oleh BBC News (15/04/2023), Patriark Ortodoks Yunani Theophilos III bahkan mengingatkan tentang kemungkinan “serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya” terhadap kaum Kristen.
Contohnya pada awal tahun 2023 ini, di Gunung Zion –tempat yang dipercaya sebagai lokasi Perjamuan Terakhir, dua remaja ultra-ortodoks Yahudi tertangkap kamera menodai pemakaman Anglikan. Salib dan batu nisan dihancurkan.
Pada akhir Januari, gerombolan ekstremis Yahudi melemparkan kursi dan merusak properti sebuah restoran milik orang Armenia di Gerbang Baru di Kota Tua. Mereka berseru, “Matilah orang Arab! Matilah orang Kristen!”
Bulan berikutnya, seorang turis Yahudi Amerika merusak patung Kristus dengan palu di Gereja Pencambukan. “Anda tidak boleh memiliki berhala!” teriaknya.
Selama bertahun-tahun, orang-orang ekstremis Yahudi sering meludahi, memaki, dan mendorong pendeta di Kota Tua. Para pemimpin gereja mengatakan bahwa belakangan ini, pelecehan semacam itu semakin sering terjadi.
“Ini terjadi karena ada kebencian, fanatisme, dan radikalisasi di sebagian kecil masyarakat Israel,” kata Uskup William Shomali dari Patriarkat Latin.
Dia menduga bahwa kebangkitan sayap kanan dalam politik “Israel” berperan penting dalam peningkatan kekerasan dan pelecehan. Pemerintah ultranasionalis “Israel” saat ini, seperti Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, sering mengeluarkan kebijakan intoleran bagi kaum yang tidak seagama.
“Barangkali ini bukan strategi pemerintah baru untuk menyerang gereja, Tetapi kalangan yang mempraktikkan pelanggaran ini merasa terlindungi karena mereka memiliki perwakilan yang kuat di pemerintahan,” kata Uskup William.
Bukan Tindakan Individu
Jumlah orang Kristen di Yerusalem saat ini turun tinggal seperempat populasi dibanding seabad lalu, di bawah 2%. Banyak yang beremigrasi dan melarikan diri dari wilayah yang dilanda kekerasan guna mencari peluang yang lebih baik di tempat lain.
Jumlah yang kecil itu berpengaruh terhadap kebijakan yang tidak proporsional pula. Misalnya “Israel” mempersulit warga Palestina dari Yerusalem menikah dengan orang-orang dari Tepi Barat terjajah dan tinggal bersama keluarga mereka di kota itu.
Pemukim Yahudi juga terus mengambil alih lebih banyak properti orang-orang Kristen. Hukum internasional mengkatagorikannya sebagai pemukiman ilegal, tetapi “Israel” membantahnya.
Banyak orang Kristen yang menduga bahwa permusuhan dari kaum Yahudi itu tujuannya untuk mengusir mereka (orang Kristen) dari tanah Palestina. Di daerah perempatan Armenia, misalnya, banyak pelecehan rasis, grafiti, dan intimidasi yang penuh kebencian.
“Mereka memprovokasi, mengganggu, dan menghina siapapun yang bukan Yahudi. Mereka merasa berhak dan merasa bahwa seluruh Kota Tua, seluruh Yerusalem, seluruh Tanah Suci adalah milik mereka,” kata Setrag Balian, seorang warga.
Setrag menunjukkan sebuah video kepada wartawan BBC, ketika dia dan teman-temannya menghadapi seorang Yahudi bertopeng yang mencoba memanjat tembok untuk menurunkan bendera patriarkat Armenia. Dalam peristiwa itu, teman-teman Setrag kemudian malah disemprot merica dan disebut teroris oleh polisi “Israel”.
“Entah kapan dunia Kristen akan bangun dan membela saudara-saudara Kristen mereka di sini, membela tanah tempat Yesus berjalan, tempat kelahiran agama Kristen, atau kita akan kehilangan semuanya,” kata Setrag.
Aparat “Israel” sering dianggap lamban menanggapi kasus kekerasan. Tetapi dalam sebuah pernyataan kepada BBC, mereka mengaku telah “mengambil tindakan” dengan sangat keras. Polisi dengan tegas menjaga keamanan, ketertiban, dan kebebasan beribadah bagi semua agama.
Organisasi nirlaba the Jerusalem Intercultural Center (JICC) mencatat, selama hampir satu dekade ini banyak terjadi serangan terhadap pendeta Kristen, properti, peziarah, dan penduduk setempat.
“Dalam tiga bulan terakhir, kami banyak menerima laporan tentang lusinan serangan. Data ini menunjukkan bahwa ini bukan tindakan individu,” kata Daniel Hasson, direktur JICC.
Organisasi ini sedang mendorong para saksi dan korban pelecehan untuk berbicara, bahu-membahu dengan dengan para pemimpin agama yang berbeda di Kota Tua.
“Kota Tua adalah penting bagi semua agama monoteistik, yang merupakan lebih dari separuh umat manusia. Jadi, kami memiliki kewajiban untuk menjaga karakter khususnya demi kepentingan semua,” ujar Hasson.*/Pambudi Utomo