Hidayatullah.com– Polisi Kenya, hari Senin (24/4/2023), melanjutkan pencarian di dalam hutan di mana dari sejumlah kuburan dangkal ditemukan 51 mayat diduga anggota sebuah aliran sesat yang pendetanya mengajak jemaatnya mati kelaparan demi bertemu Yesus.
Polisi mengatakan pencarian di daerah Malindi dilanjutkan guna menemukan tidak hanya mayat tetapi juga kemungkinan penyintas dari praktik sesat tersebut, lapor AFP.
Investigasi menyeluruh dilakukan terhadap Good News International Church dan pemimpinnya sejak polisi merambah hutan Shakahola dan menemukan mayat pertama pekan lalu.
Sampai akhir pekan kemarin, puluhan jasad lain digali dari dalam tanah di area hutan seluas 325 hektar yang kemudian dinyatakan sebagai tempat kejadian perkara (TKP). Polisi ingin menelusuri lebih lanjut guna mengetahui berapa besar sesungguhnya kejahatan yang diberi nama “Pembantaian Hutan Shakahola” itu.
Dikhawatirkan ada sejumlah anggota sekte yang bersembunyi dari aparat dan berisiko mati apabila tidak segera ditemukan.
Sejumlah orang telah diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit di Malindi, yang terletak di pesisir Samudera Hindia.
Sebuah kelompok peduli HAM yang melaporkan ke kepolisian perihal kelompok itu dan praktik ekstrem mereka mengatakan setidaknya satu anggota sekte yang ditemukan dalam keadaan hidup masih terus menolak untuk makan meskipun jelas-jelas mengalami tekanan fisik.
Palang Merah Kenya mengatakan 112 dilaporkan hilang ke stafnya di Malindi.
Pemimpin sekte itu, Makenzie Nthenge, sudah menyerahkan diri ke kepolisian dan dijerat dakwaan bulan lalu, menurut media lokal, setelah dua orang anak kelaparan hingga mati saat berada dalam pengasuhan orangtuanya. Namun, dia kemudian dilepaskan dari tahanan dengan uang jaminan $700 (100.000 shiling Kenya).
Kasus itu menyita perhatian publik dan pemerintah menyatakan perlunya pengendalian yang lebih ketat terhadap beragam aliran keagamaan di negara itu, di mana pendeta-pendeta nakal dan kelompok-kelompok menyimpang kerap terlibat kejahatan.
Namun, upaya untuk mengatur agama di negara mayoritas Kristen itu di masa lalu menghadapi penentangan keras dan dituduh sebagai upaya merusak konstitusional yang memberikan jaminan terhadap pemisahan antara gereja dan negara.
Menteri Dalam Negeri Kithure Kindiki, yang telah mengumumkan akan mengunjungi TKP pada hari Selasa, menggambarkan kasus tersebut sebagai penyelewengan paling nyata terhadap konstitusi yang menjamin hak asasi manusia untuk bebas beribadah.*