Hidayatullah.com– Otoritas di Teheran mengeksekusi mati seorang pria warga negara Swedia keturunan Iran dengan tuduhan terorisme, dalang serangan maut terhadap parade militer Iran 2018.
Habib Chaab merupakan pendiri sebuah kelompok separatis yang menyerukan kemerdekaan bagi orang-orang suku Arab yang tinggal di Provinsi Khuzestan di bagian barat daya Iran.
Dia sudah tinggal di pengasingan di Swedia selama sepuluh tahun ketika diculik oleh agen-agen intelijen Iran di Turki pada 2020.
Pihak kehakiman Iran menuding Chaab memimpin Harakat al-Nidal atau Gerakan Perjuangan Arab untuk Pembebasan Ahvaz, yang dituding Iran sebagai kelompok teroris di belakang serangan-serangan di bagian barat daya wilayah negaranya, lapor BBC Sabtu (6/5/2/23).
Provinsi Khuzestan kaya akan sumber minyak dan merupakan tempat tinggal kebanyakan minoritas etnis Arab di Iran, yang sejak lama mengeluhkan diskriminasi dan marjinalisasi oleh pemerintah Teheran.
Dalam serangan tahun 2018 di kota Ahvaz, sekelompok orang bersenjata menyerang parade militer yang sedang digelar pasukan Korps Garda Revolusi Iran. Sebanyak 25 orang tentara dan warga sipil yang sedang menonton parade tewas dalam serangan itu.
Chaab dikabarkan digiring agar mau pergi ke Istanbul untuk menemui seorang perempuan sebelum akhirnya diculik dan dibawa paksa ke Iran, dalam operasi yang konon dirancang dan dipimpin oleh bos organisasi kriminal Iran yang berbasis di Turki.
Para pejabat Iran tidak memberikan penjelasan bagaimana Chaab tiba-tiba bisa ditahan. Begitu dia berada di wilayah Iran, stasiun televisi pemerintah menayangkan pengakuannya terlibat dalam serangan 2018 tersebut. Dia kemudian divonis bersalah melakukan “kerusakan di bumi”, tindak pidana sangat besar menurut hukum Iran.
Jaksa menuduh Chaab terlibat dalam serangan-serangan sejak 2005, di bawah perlindungan dua badan intelejen yaitu Mossad (Israel) dan Sapo (Swedia).
Menteri Luar Negeri Swedia Tobias Billstrom mengatakan pemerintahnya mendesak Iran agar tidak mengeksekusi Chaab.
Hukuman mati adalah hukuman yang tidak manusiawi, kata Billstrom, dan Swedia bersama Uni Eropa mengutuk penerapannya dalam keadaan apapun.
Otoritas Iran menangkap puluhan orang Iran berkewarganegaraan ganda atau pemukim asing tetap selama beberapa tahun terakhir. Kebanyakan dari mereka dijerat dengan tuduhan spionase dan membahayakan keamanan negara Iran.
Pengadilan Iran mengatakan dua orang berkewarganegaraan ganda lainnya telah dijatuhi hukuman mati atau dieksekusi atas tuduhan membahayakan keamanan sepanjang tahun ini.
Pada bulan Januari Iran mengeksekusi pria Inggris-Iran Alireza Akbari, 61, setelah dia divonis bersalah menjadi mata-mata untuk Inggris, tuduhan yang dibantahnya.
Dalam sebuah pesan suara yang ditujukan kepada BBC Bahasa Persia dia memgaku mendapatkan penyiksaan dan dipaksa untuk mengakui kejahatan-kejahatan yang tidak dilakukannya di depan sorotan kamera.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak menyebut eksekusi itu sebagai “tindakan tidak berperasaan dan pengecut, yang dilakukan oleh rezim barbar”.
Pada bulan April, Mahkamah Agung Iran mengukuhkan hukuman mati untuk Jamshid Sharmahd, 67, warga Jerman-Iran, atas dakwaan keterlibatan dalam pemboman masjid tahun 2008 yang menewaskan sejumlah orang, tuduhan yang dibantahnya.
Kelompok hak asasi Amnesty International mengatakan persidangan berjalan dengan “sangat tidak adil” dan dia mendapatkan penyiksaan.
Otoritas Iran juga menuding para tokoh separatis lain yang berbasis di Denmark, Belanda dan Swedia bersama kelompok mereka mendapatkan sokongan dana dan logistik dari Arab Saudi.*