Hidayatullah.com—Perkembangan isu Rohingya beberapa waktu belakangan ini membongkar lemahnya tradisi intelektual umat Muslim di Tanah Air. Hal itu disampaikan oleh Kepala Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Pusat, Akmal Sjafril, dalam paparannya untuk Kajian Ba’da Subuh di Masjid Raya Rahmatan Lil Alamin, Tangerang, Sabtu (30/12/2023) dini hari.
“Orang-orang Rohingya sudah mengungsi ke Indonesia sejak beberapa tahun sebelum pandemi. Tiba-tiba saja, sekitar bulan November lalu, jadi bahan pembicaraan lagi, dan semua beritanya negatif,” ujar lelaki yang sedang menempuh pendidikan doktoral Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia (UI) ini.
Dalam paparannya, Akmal menyayangkan banyaknya netizen dari kalangan anak muda yang begitu mudah termakan isu. Apalagi sebelum adanya aksi penyerbuan, jagad maya banyak narasi menyudutkan warga tertindas dari akun-akun anonim.
“Dari sudut pandang sejarah, sesuatu yang tiba-tiba itu selalu mencurigakan. Sebab tak pernah ada hal yang tidak berproses di dunia ini. Kalau prosesnya tidak kelihatan, itu indikasi bahwa ada permainan di belakang layar,” ungkapnya lagi.
Sebagai pembicara yang sudah sering mengupas permasalahan Rohingya dalam kajian-kajiannya sejak sebelum pandemi, Akmal mengaku heran menyaksikan betapa mudahnya netizen menerima narasi-narasi yang ditemukannya di dunia maya tanpa merasa perlu melakukan cek dan ricek.
“Beberapa narasi yang saya jumpai sudah jelas keliru. Misalnya ada yang mengatakan bahwa orang-orang Rohingya itu bukan asli Myanmar, itu jelas menyesatkan. Justru narasi itulah yang digunakan oleh junta militer Myanmar untuk membenarkan genosida terhadap mereka,” ujar Akmal.
Yang lebih menggelikan lagi, menurut Akmal, adalah anggapan bahwa orang-orang Rohingya akan bersikap sama seperti imigran Yahudi yang datang ke Palestina sebagai pengungsi kemudian lambat laun populasinya bertambah hingga bisa balik menjajah pribumi.
“Prasangka semacam itu benar-benar tidak masuk akal. Pengungsi Yahudi di Palestina bukan hanya bertambah, tapi juga didukung oleh propaganda dan senjata oleh Inggris dan negara-negara lainnya. Orang-orang Rohingya ini datang tanpa harta benda, apalagi senjata. Negara mana yang mendukung mereka seperti dulu Inggris mendukung imigran Yahudi untuk mendirikan Israel? Kondisinya jauh berbeda,” tandas penulis buku Islam Liberal 101 ini.
Provokasi yang terjadi sekarang, menurut Akmal lagi, benar-benar telah menelanjangi kenyataan bahwa umat Muslim di Indonesia belum terbiasa menegakkan tradisi intelektual dengan benar.
“Dalam Surat Al-Hujurat, Allah SWT memerintahkan kita untuk melakukan tabayyun manakala menerima berita penting dari orang-orang fasiq. Mengidentifikasi fasiq-tidaknya sumber berita adalah dasar dari pertimbangan perlu-tidaknya tabayyun. Jadi kalau menerima berita dari akun-akun tak dikenal di media sosial, maka adab yang benar adalah melakukan cek dan ricek terlebih dahulu, bukan memviralkannya begitu saja,” ujar Akmal.
Akmal juga mengingatkan bahwa para ulama senantiasa mendahulukan adab daripada ilmu. “Jika belum berilmu, maka adab yang benar adalah bertanya kepada ahlinya, bukan malah menebar fatwa. Apalagi kalau fatwanya bisa mengakibatkan konsekuensi yang fatal kepada sesama Muslim,” pungkas aktivis berdarah Minang ini.
Melalui akun-akun media sosialnya, Akmal kerap menyuarakan pembelaan terhadap orang-orang Rohingya dan menanggapi berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. Postingan terbarunya di Instagram yang membahas isu Rohingya sudah dua kali menghilang, meski akhirnya berhasil dikembalikan lagi.*