Hidayatullah.com– Kasus-kasus kejahatan seksual terkait pendeta ternama Prancis Abbé Pierre dihentikan oleh pihak kejaksaan Prancis disebabkan rohaniwan Katolik itu sudah meninggal dunia pada tahun 2007 dan kasusnya melebihi batas waktu atau kedaluwarsa.
Konferensi Wali Gereja Prancis (CEF) – yang mendesak kejaksaan untuk memproses kasus itu – mengaku kecewa dengan langkah kejaksaan itu, meskipun memahami alasan dibalik pengambilan keputusan tersebut.
“Kami menyesali hasilnya, meskipun kami memahaminya,” kata CEF kepada AFP, tentang keputusan kejaksaan yang diumumkan pada hari Selasa (5/2/2025) tersebut.
Walaupun kasus dihentikan, CEF menegaskan kembali komitmennya untuk memberikan dukungan kepada para korban dan terhadap pengungkapan tindakan Abbé Pierre yang sebenarnya.
Pernah dipuja-puji atas dedikasinya terhadap keadilan sosial, Abbé Pierre – yang dilahirkan dengan nama Henri Grouès – citranya justru tercoreng setelah meninggal dunia. Sedikitnya 33 tuduhan kejahatan seksual dilaporkan oleh korban pada akhir Januari.
Tuduhan itu diungkapkan ke publik melalui tiga laporan terpisah yang dirilis sejak Juli 2024 oleh firma konsultan Egaé.
Laporan yang diberikan amanat oleh Emmaüs dan Abbé Pierre Foundation, laporan-laporan itu membongkar aib dan sisi buruk pendeta Katolik yang dipuji banyak orang itu.
Laporan pertama, yang membeberkan tentang pelecehan seksual dan serangan seksual yang dilakukan oleh pendeta itu, menghebohkan Prancis, mencoreng reputasi pria yang disebut sebagai pahlawan kaum miskin itu.
Ketika laporan terakhir dibuka ke publik pada pertengahan Januari, Emmaüs mengutuk pendirinya tersebut sebagai “predator” seksual, yang tidak hanya mencabuli anak-anak di bawah umur anggota jemaat gereja tetapi juga bocah dari lingkungan keluarganya sendiri. Kebejatan yang dilakukan oleh Abbé Pierre itu terjadi antara tahun 1950-an sampai 2000-an.
Menyusul terungkapnya kejahatan seksual itu, Gereja Katolik Prancis – melalui presiden CEF Éric de Moulins-Beaufort – pada bulan Januari meminta supaya dilakukan investigasi resmi.
Kasus itu dibawa ke pihak kejaksaan dengan harapan para pihak yang mengetahui kejahatan tersebut tetapi diam dan tidak melaporkannya bisa diproses hukum.
Namun, dalam sebuah surat bertanggal 24 Januari 2025, kantor kejaksaan di Paris mengatakan bahwa pihaknya menyimpulkan tidak ada tindakan hukum yang bisa ditindaklanjuti.
Oleh karena tersangka utamanya Abbé Pierre sudah meninggal dunia maka gugatan hukum apapun terhadap dirinya otomatis akan gugur.
Sementara, kemungkinan untuk menyeret para pihak yang mengetahui tentang kejahatan tersebut tetapi tidak melaporkannya ke pengadilan juga sulit dilakukan, karena kasus sudah melebihi batas waktu atau kedaluwarsa berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan UU di Prancis, tidak melaporkan suatu tindak kejahatan yang diketahui seseorang dianggap sebagai kasus pidana terpisah.
Setelah melakukan analisis terhadap laporan yang disusun Egaé, pihak kejaksaan menilai tidak ada tindakan hukum yang bisa dilakukan.
Bagi Aurore Bergé, menteri kesetaraan antara wanita dan pria, kasus Abbé Pierre ini menyoroti kelemahan undang-undang di mana statuta limitasi menghalangi para korban untuk mencari keadilan.
Abbé Pierre Foundation, yang awalnya didirikan pada 1987 untuk menanggulangi masalah tunawisma, secara resmi diganti namanya pada 25 Januari menjadi “Foundation for Housing the Disadvantaged”.
Emmaüs France – organisasi yang didirikan oleh Abbé Pierre pada 1949 – secara bertahap mulai melepaskannya diri dari sosok dan citra pendeta cabul itu, berusaha menghapus semua jejak visual yang menunjukkan dedikasi untuk dan keterkaitannya dengan Abbé Pierre.*