Awalnya ia ingin menghancurkan Islam melalui gerakan feminisme, akhirnya masuk Islam, Dr Shariffa Carlo Al Adalusia menolak mobil ferrari untuk melepas jilbabnya
Hidayatullah.com | KISAH DrShariffa Carlo Al Adalusia, mantan aktivis fenimisme yang masuk Islam menarik jadi perhatian publik. Instruktur di College of Technology di Kuwait dan seorang pengajar di TI Center di Kuwait lahir dan dibesarkan di Amerika Serikat.
Ia menghabiskan masa kecilnya di berbagai tempat karena ayahnya merupakan anggota militer AS.
Sejak remaja, ia sudah aktif dalam gerakan hak-hak perempuan dan merupakan seorang Kristen yang sangat taat. Pandangannya tentang Islam saat itu sangat negatif—ia mengira perempuan Muslim adalah makhluk tertindas yang harus diselamatkan dari budaya yang membelenggu mereka.
“Saya berpikir bahwa perempuan Muslim itu miskin, hidup tertutup dalam balutan hitam, suami mereka memukul mereka setiap hari, dan mereka tidak memiliki kebebasan. Saya merasa bertanggung jawab untuk membawa mereka keluar dari kegelapan menuju cahaya abad ke-20,” kenangnya.
Ia memulai perjalanan spiritual mendalam yang membawanya memeluk Islam—jalan yang pernah ia benci dan ingin ia lawan.
Awalnya, ia direkrut oleh sebuah kelompok feminisme yang bertujuan untuk “membebaskan” wanita Muslim dari tuduhan penindasan.
Mereka menempatkan orang-orang di mana-mana, di seluruh dunia. Mereka ingin saya bekerja dalam isu “hak-hak perempuan” untuk menjauhkan perempuan dari Islam, mencoba menghancurkan keluarga Muslim melalui isu gender dan perempuan.
Kelompok ini mendorongnya untuk mempelajari Hubungan Internasional dengan fokus di Timur Tengah, dengan maksud agar ia bekerja di Kedutaan Besar Amerika di Mesir untuk mempromosikan hak-hak wanita di antara komunitas Muslim. Inilah kisahnya dalam bahasa bertutur;
Bagaimana saya kembali ke Islam adalah kisah tentang sebuah rencana. Saya membuat rencana, kelompok yang saya ikuti membuat rencana, tapi Allah Swt Sang Pembuat rencana. Dan Allah adalah Perencana Terbaik.
Ketika saya masih remaja, saya menarik perhatian sekelompok orang dengan agenda yang sangat jahat.
Mereka dulu dan mungkin masih merupakan asosiasi longgar dari individu-individu yang bekerja di posisi pemerintahan tetapi memiliki agenda khusus – untuk menghancurkan Islam.
Itu bukan kelompok pemerintahan yang saya ketahui; mereka hanya menggunakan posisi mereka di pemerintahan AS untuk agenda mereka.
Salah satu anggota kelompok ini mendekati saya karena dia melihat bahwa saya pandai berbicara, termotivasi, dan sangat mendukung hak-hak perempuan.
Dia mengatakan kepada saya bahwa jika saya belajar Hubungan Internasional dengan penekanan di Timur Tengah, dia akan menjamin saya pekerjaan di Kedutaan Besar Amerika di Mesir.
Dia ingin saya akhirnya pergi ke sana untuk menggunakan posisi saya di negara itu untuk berbicara dengan wanita Muslim dan mendorong gerakan hak-hak perempuan yang masih muda.
Saya pikir ini adalah ide yang bagus. Saya pernah melihat wanita Muslim di TV; saya tahu mereka adalah kelompok tertindas yang miskin, dan saya ingin menuntun mereka menuju cahaya kebebasan abad ke-20.
Dengan niat ini, saya kuliah dan memulai pendidikan saya. Saya mempelajari Al-Quran, hadis, dan sejarah Islam. Saya juga mempelajari cara-cara saya dapat menggunakan informasi ini dengan tujuan melemahkan mereka.
Saya belajar cara memutarbalikkan kata-kata untuk menyampaikan apa yang saya ingin mereka sampaikan. Itu adalah alat yang berharga.
Namun, begitu saya mulai belajar, saya mulai tertarik dengan pesan ini. Itu masuk akal. Itu sangat menakutkan. Karena rasa khawatir dipengaruhi Islam, saya mulai mengambil kelas-kelas Kristen.
Saya memilih untuk mengambil kelas dengan seorang profesor di kampus karena ia memiliki reputasi yang baik dan ia memiliki gelar Ph.D. dalam Teologi dari Universitas Harvard.
Saat itu saya merasa berada di tangan yang tepat. Ya, tetapi bukan karena alasan yang saya kira.
Ternyata profesor ini adalah seorang Kristen Unitarian. Dia tidak percaya pada Trinitas atau ketuhanan Yesus.
Kenyataannya, dia percaya bahwa Yesus adalah seorang nabi, sama seperti keyakinan Islam. Dia membuktikannya dengan mengambil Alkitab dari sumbernya dalam bahasa Yunani, Ibrani, dan Aram dan menunjukkan di mana saja Alkitab telah diubah.
Saat dia melakukan ini, dia menunjukkan peristiwa sejarah yang membentuk dan mengikuti perubahan ini. Saat saya menyelesaikan kelas ini, saya merasakan keyakinan terhadap agama saya telah hancur.
Saya juga telah mencoba mencari alternatif lain. Saya Buddhisme, dan agama lainnya.
Namun, ada satu hal penting: ketika Anda mempelajari Islam dengan hati yang tulus dan niat ingin mengetahui kebenaran, maka kebenaran akan datang kepada Anda dengan sendirinya.
Saya jatuh cinta pada Al-Quran, dan dengan itu, saya juga jatuh cinta pada Islam. Tapi saya tidak ingin menjadi Muslim. Menerima Islam tampaknya masih sulit dan berat bagi saya.
Jika saya masuk Islam, saya tahu saya akan kehilangan segalanya—karier saya, uang, mungkin juga keluarga saya. lainnya. Tapi setelah semua itu, saya tetap menemukan bahwa Islam adalah kebenaran.
Seiring berjalannya waktu, saya terus belajar, untuk diri saya sendiri dan untuk karier masa depan saya. Ini memakan waktu sekitar tiga tahun.
Selama waktu ini, saya banyak bertanya kepada umat Muslim tentang keyakinan mereka. Salah satu orang yang saya tanyai adalah seorang pria Muslim.
Alhamdulillah, dia melihat minat saya pada agama, dan berusaha secara pribadi untuk mendidik saya tentang Islam. Semoga Allah melipatgandakan pahala padanya.
Dia pencerahan Islam di setiap kesempatan yang muncul. Suatu hari, pria ini menghubungi saya, dan dia memberi tahu saya tentang sekelompok Muslim yang berkunjung ke kota.
Dia ingin saya bertemu dengan mereka. Saya setuju. Saya pergi menemui mereka setelah shalat Isya.
Saya dituntun ke sebuah ruangan yang berisi sedikitnya 20 orang pria. Mereka semua memberi saya tempat untuk duduk, dan saya dipertemukan dengan seorang pria tua Pakistan.
Masya Allah, pria Muslim ini adalah seorang yang sangat berpengetahuan dalam hal-hal tentang agama Kristen. Kami berdiskusi dan berdebat tentang berbagai bagian Alkitab dan Al-Quran hingga fajar.
Pada titik ini, setelah mendengarkan orang bijak ini memberi tahu saya apa yang sudah saya ketahui, berdasarkan kelas yang saya ikuti tentang agama Kristen, dia melakukan apa yang belum pernah dilakukan orang lain.
Dia mengundang saya untuk menjadi seorang Muslim. Selama tiga tahun saya mencari dan meneliti, tidak seorang pun pernah mengajak saya seperti ini.
Saya telah diajar, diajak berdebat, dan bahkan diejek, tetapi tidak pernah diundang masuk Islam. Semoga Allah membimbing kita semua.
Jadi ketika dia mengundang saya, ajakan itu berhasil. Saya menyadari inilah saatnya.
Saya tahu ini adalah kebenaran, dan saya harus membuat keputusan.
Alhamdulillah, Allah membuka hati saya, dan saya berkata, “Ya. Saya ingin menjadi seorang Muslim.”
Dan pria Muskim itu menuntun saya mengucapkan dua kalimat syahadat – dalam bahasa Inggris dan Arab.
Demi Allah, ketika saya mengucapkan syahadat, saya merasakan sensasi yang paling paling aneh. Saya merasa seolah-olah beban fisik yang besar baru saja terangkat dari dada saya; saya terengah-engah seolah-olah saya bernapas untuk pertama kalinya dalam hidup saya.
Alhamdulillah, Allah telah memberi saya kehidupan baru – lembaran baru – kesempatan untuk Jaannah, dan saya berdoa agar saya menjalani sisa hidup saya dan meninggal sebagai seorang Muslim.
Ditawari ferrari asal melepas jilbab
Perlu diketahui, saya dibesarkan sebagai anak manja. Ayah saya adalah seorang komandan di Angkatan Darat Amerika.
Dia memiliki jabatan, gelar, uang, dan rasa hormat. Apa pun yang saya inginkan, dia selalu memberikannya kepada saya.
Jadi, ketika saya menjadi seorang Muslim, saya ingin melaporkan dengan penuh semangat. “Ayah, saya menjadi seorang Muslim!”
Namun, reaksinya sangat mengejutkan. Dia berkata, “Apa? Apakah kamu gila? Apakah kamu kehilangan akal sehatmu? Apakah kamu dicuci otaknya?’”
Aku menghela napas, mengenang masa-masa sulit itu. Pada dasarnya, dia tidak mengakuiku. Bukan karena dia orang jahat, tapi karena dia tahu kepribadianku.
Dia tahu aku manja, dan dia berpikir bahwa jika dia memutus semua akses keuangan dan fasilitas, saya akan kembali kepadanya.
Ayah saya tahu sejak kecil saya sangat menyukai mobil balap. Suatu hari, ia pulang dengan sebuah Ferrari merah muda. Tapi, saat itu ia berkata, “Jika kamu ingin mobil ini, lepas jilbabmu.”
Saya bahkan tidak bisa mempertimbangkannya. Bagaimana mungkin saya menukar akhirat saya dengan sebuah mobil? Itu tidak sepadan.
Akhirnya keluarga –terutama ayah saya– tidak mengakuiku untuk beberapa waktu. Kampus mengeluarkan saya. Kelompok yang dulu saya ikuti juga menolak saya. Saya merasa benar-benar sendirian.
Tapi faktanya, tidak pernah benar-benar sendiri. Karena apa pun yang terjadi, Allah selalu bersama kita. Dia selalu mengawasi, merawat, dan melindungi kita.
Tapi, Subhanallah, Allah menciptakan saya sebagai pribadi yang kuat, dan dengan pertolongan-Nya, saya mampu melewati itu semua.
Sekarang, alhamdulillah, hubungan saya dengan ayah sangat baik.
Dukungan dari Komunitas Muslim
Alhamdulillah, ini adalah anugerah yang luar biasa. Percaya atau tidak, saya kurang berteman dengan banyak Muslim sebelum masuk Islam.
Saya hanya mengenal beberapa mahasiswa Muslim di kampus. Namun, saat pertama kali saya pergi ke masjid, saya merasa seperti baru saja pulang ke rumah.
Semua orang memperlakukan saya layaknya keluarga. Saya dipeluk, disambut dengan penuh kasih, dan semua orang sangat baik kepada saya.
Karena ayah saya mengusir saya, saya juga dikeluarkan dari universitas. Saya tidak punya uang, tidak punya pekerjaan, dan akhirnya menjual mobil saya untuk bertahan hidup.
Tapi, Subhanallah, tanpa saya ceritakan kepada siapa pun, kabar tentang kesulitan saya sampai ke komunitas Muslim. Setiap kali saya membuka kotak surat, saya menemukan amplop berisi uang dari orang-orang yang ingin membantu saya.
Saya merasa seperti memiliki keluarga besar yang sebelumnya tidak saya sadari keberadaannya.
Mereka yang membantu saya, mereka berasal dari seluruh dunia! Ada Muslim dari Maroko, Suriah, Mesir, India, Pakistan, Sri Lanka, Kuwait, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, bahkan Amerika.
Dari berbagai warna kulit, kebangsaan, dan latar belakang, mereka semua adalah saudara dan saudari saya dalam Islam.
Cara mereka memperlakukan satu sama lain dan bagaimana mereka memperlakukan saya benar-benar sesuatu yang baru bagi saya. Masya Allah.
Jika ingin tahu Islam harus langsung pada Muslim
Satu hal yang ingin saya tekankan: jangan belajar tentang Islam dari sumber selain Muslim. Jangan mencari informasi dari pihak yang memang berniat mengubah agama Anda. Jika ingin memahami suatu keyakinan, pergilah ke sumbernya.
Baca buku-buku Islam, cari tahu bagaimana seorang Muslim beribadah, apa yang diperbolehkan dan tidak dalam Islam. Bacalah Al-Quran, pelajari hadis Nabi, dan lihat bagaimana umat Islam mempraktikkan agama mereka. Dengan cara ini, Anda akan mengenal Islam yang sebenarnya—bukan apa yang dikatakan media atau para pembenci, tetapi apa yang benar-benar diyakini dan dijalankan oleh umat Islam.
Karena hanya dengan memahami dari sumber yang benar, kita dapat menemukan kebenaran yang sesungguhnya.*/dikutip dari berbagai podcast dan wawancara Shariffa Carlo di berbagi media