Hidayatullah.com–Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, menyampaikan duka mendalam dan mengecam keras aksi penusukan brutal terhadap Aboubakar Cissé, seorang Muslim asal Mali, yang terjadi di sebuah masjid di La Grand-Combe, Prancis selatan.
MUI menegaskan bahwa kejadian ini adalah bukti nyata bahwa kebencian terhadap umat Islam masih terus terjadi dan belum mendapat perlindungan hukum yang memadai di berbagai negara.
“Ini peristiwa yang sangat menyedihkan dan sekaligus semakin menyadarkan serta membuktikan kepada masyarakat luas bahwa kebencian terhadap seseorang karena dia beragama Islam masih terjadi,” kata Sudarnoto, dalam pernyataan yang dikirim ke redaksi, Rabu (30/4/2025).
“Jelas sekali sang pembunuh adalah seorang yang anti-Islam dan Muslim, yang terang-terangan melakukan tindakan kekejiannya tanpa rasa takut, bahkan dilakukan di masjid,” ujarnya.
MUI menyoroti bahwa Islamofobia yang seharusnya dilawan secara global sesuai resolusi PBB, justru masih terbiarkan. Sudarnoto menegaskan bahwa memilih jalan hidup sebagai seorang Muslim adalah hak asasi manusia yang harus dihormati dan dilindungi secara sosial, hukum, dan politik di mana pun seseorang tinggal.
“Prancis yang memiliki semboyan liberté, égalité, fraternité seharusnya memiliki undang-undang yang menjamin kebebasan beragama,” tegasnya.
“Karena itu saya meminta kepada pemerintah Prancis dan negara-negara lain di mana Muslim menjadi minoritas, untuk bersungguh-sungguh melawan Islamofobia melalui undang-undang. Jangan biarkan Islamofob terus bergerak. Tangkap mereka dan hukum mereka.”
Sebuah serangan mengerikan terjadi pada Jumat pagi, 25 April 2025, di Masjid La Grand-Combe ketika Aboubakar Cissé (22), seorang imigran asal Mali, ditikam secara brutal hingga tewas oleh Olivier A. (21), warga Prancis. Pelaku diketahui merekam aksinya sambil meneriakkan hinaan terhadap Islam, menandakan motif kebencian yang kuat.
Pelaku melarikan diri ke Italia dan menyerahkan diri kepada polisi di Pistoia pada 28 April. Polisi mengungkapkan bahwa Olivier memiliki ketertarikan terhadap kematian dan ingin menjadi pembunuh berantai.
Presiden Emmanuel Macron mengecam keras insiden ini, namun Menteri Dalam Negeri Bruno Retailleau dikritik karena dinilai lamban bereaksi.
Baru dua hari setelah kejadian, ia mengunjungi lokasi, berbeda dari respons cepat terhadap kasus-kasus lain. Kritikus menilai hal ini mencerminkan ketimpangan perhatian terhadap korban Muslim.
Ludovic Mendes, anggota parlemen dari partai tengah, mengatakan bahwa peristiwa ini menggarisbawahi ketidaksetaraan perlakuan terhadap komunitas Muslim di Prancis.
Dewan Muslim Prancis dan organisasi hak asasi manusia menuntut agar penusukan ini dikategorikan sebagai kejahatan kebencian atau terorisme domestik.
Lebih dari 1.000 orang turun ke jalan dalam aksi damai untuk mengenang korban dan menyerukan penghapusan Islamofobia di Prancis dan Eropa.
Pemerintah Prancis pun mulai meningkatkan pengamanan di sekitar masjid-masjid, namun komunitas Muslim menyatakan bahwa perlindungan sejati memerlukan komitmen hukum dan politik yang lebih kuat.*