Hidayatullah.com–Hari Rabu (20/02/2013) kemarin, sejumlah lembaga keIslaman di Yogyakarta menghadiri peluncuran Madrasah Peradaban Islam (MPI) yang bertempat di gedung pusat PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Pertemuan Dihadiri sekitar 100 orang yang kebanyakan dari kalangan mahasiswa. Aula PP Muhammadiyah lantai 3 hampir tidak mencukupi karena membludaknya peserta dari berbagai macam lembaga-lembaga keIslaman yang ada di Yogyakarta.
MPI adalah sebuah komunitas intelektual Muslim yang membahas tentang pengkajian dakwah dan peradaban Islam. Komunitas ini diinisiasi oleh para alumni madarasah mu’allimin Muhammadiyah yang kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) dan LDK Jama’ah Shalahuddin, serta mendapat dukungan dari Ustad Faturrahman Kamal, Lc., Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) daerah Yogyakarta dan sekaligus menjadi pengisi rutin MPI.
Program ini mendapat sambutan baik dan dukungan sepenuhnya oleh Angkatan Muda Muhammadiyah sebagai tuan rumah. Di antaranya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah.
Sejumlah pergerakan pun turut hadir, seperti Lembaga Dakwah Kampus Jama’ah Shalahuddin UGM, #Indonesia Tanpa JIL, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Forum Silaturahim Remaja Masjid Yogyakarta, Pelajar Islam Indonesia (PII), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikatan Mahasiswa Hidayatullah (IMH), Gema Pembebasan dan Mahasiswa al-madina, dll.
“Walaupun diadakan di gedung PP Muhammadiyah, tapi kita di sini atas kepentingan ilmu. Islam di atas segalanya dan awal dari segalanya,” terang ustad Faturrahman.
Selanjutnya pertemuan diadakan setiap Rabu sore. Komunitas ini dibuka untuk umum. Tidak ada batasan ideologi untuk mengikuti program ini.
Ustad Faturrahman berharap, MPI dapat menjadi awal terbentuknya pusat keilmuan di Yogyakarta.
Dengan begitu, komunitas ini menjadi salah satu langkah untuk membangkitkan kembali tradisi keilmuan Islam. Jika budaya ilmu terwujud dan menghasilkan oranga-orang ber-adab, maka perdaban Islam akan mampu bangkit kembali. Komunitas semacam ini sudah beberapa tahun berdiri di daerah lain, seperti Bogor, Bandung, Surabaya, Jakarta, Solo, Semarang, dll.
Beberapa diantaranya sudah cukup berkembang dengan mengadakan penelitian-penelitian ilmiah.
Karena baru awal terbentuk, program ini nantinya akan berbentuk diskusi dua arah antara pembicara dan peserta. Setiap peserta berhak mengemukakan argumentasi akademiknya masing-masing. Untuk menyamakan frekuensi, terdapat beberapa buku yang dianjurkan untuk dibaca. Salah satunya “Islam at The Cross Road” karya Muhammad Assad.*/Candra Nunus