AWAL April 2013 lalu, sastrawan ternama Taufiq Ismail berkunjung ke Mesir untuk memenuhi undangan Seminar Internasional Studi Naratif ke-5 dengan tema “Naratif dan Metoda Penulisan Modern”. Acara ini diselenggarakan Egyptian Institute for Narrative Studies berkerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Terusan Suez, Mesir.
Memanfaatkan kedatangan Taufiq Ismail, Persatuan Mahasiswa dan Pelajar Indonesia (PPMI) Mesir lantas menggagas acara talkshow dan sarasehan “Budaya, Sastra, dan Baca Puisi”. Acara ini diikuti banyak mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang sedang kuliah di Mesir.
“Saat melihat kalian wahai para pemuda dan mahasiswa, saya seperti melihat masa depan Indonesia,” ujar Taufiq mengawali pembicaraannya di depan hadirin yang menyesaki Aula Limas, Kota Nasr, Kairo, Mesir (13/04/2013).
Taufiq menilai, masa depan bangsa itu berada pada pundak pemuda. Sejatinya, kata dia, perilaku pemuda dan mahasiswa sekarang bisa menjadi cermin seperti apa masa depan suatu bangsa tersebut.
Dalam acara bertajuk “Mengenal Lebih dekat kebudayaan Minang dan Sulawesi” ini, Taufiq mengupas novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Buya Hamka.
Dengan suasana keakraban yang melekati peserta, menjadikan Taufiq tak ragu melempar senyum dan guyonannya kepada peserta yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Sastrawan senior kelahiran Bukit Tinggi, Sumatera Barat ini secara fasih lalu menceritakan riwayat kehidupan Buya Hamka, Buya Hamka tak lain masih sahabat karib dari mendiang ayah Taufiq, KH Abdul Gaffar Ismail. Seperti biasa, di penghujung acara ia lalu didaulat membacakan sebuah puisi untuk para hadirin.
Menyindir Ariel
Tak berbeda dengan acara sebelumnya, sarasehan tersebut juga dipadati oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia, khususnya para pecinta sastra. Di antara mereka bahkan ada yang mengaku nge-fans berat Taufiq.
“Saya mencintai sastra sejak masa sekolah dulu. Terutama dengan puisi-puisi Taufiq Ismail,” ujar Fathinah, mahasiswi jurusan Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Mesir.
Taufiq juga memaparkan hubungan antara sastra dan budaya Islam. Dia lalu membacakan sebuah puisi berjudul “Ariel, Cut Tari dan Luna Maya”. Puisi ini mengkritisi kebiasaan para selebritis tanah air menampilkan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai moral masyarakat.
Mendengar suara lantang Taufiq, suasana Aula Limas menjadi hening. Seluruh peserta lalu menyimak dengan seksama. Para peserta tampak semakin antusias dengan adanya diskusi dan tanya jawab.
Di penghujung acara, Taufiq juga mengapresiasi karya tulis mahasiswa yang masih eksis dalam dunia kuliah mereka. Terlebih beberapa buletin mahasiswa juga sempat diperlihatkan kepada Taufiq.
Sebagai tanda syukur, Taufiq memberi kabar gembira akan kumpulan puisinya “Debu di Atas Debu” telah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Arab dengan judul “Turaab Fauqa at-Turaab” setebal 250 halaman.
Rencananya, buku tersebut diterbitkan oleh Lembaga Tinggi Kebudayaan Mesir dalam waktu dekat. Mendengar hal ini, para hadirin tak segan berkali-kali berucap takbir dan ucapan syukur.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Alhamdulillah, dijamin cita rasa puisi itu makin terasa dengan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,” sambut Qalbi, mahasiswi Universitas Al-Azhar Tingkat Satu asal Makassar, Sulawesi Selatan.
Di penghujung acara, Taufiq menitip harapannya kepada seluruh mahasiswa Indonesia yang hadir. Ia berpesan agar mahasiswa tidak terlena dengan kemajuan teknologi yang kian canggih.
“Teknologi adalah sarana buat kita mendapatkan ilmu. Bukan justru menjadikan mahasiswa malas belajar,” pesan Taufiq mengingatkan.
“Selamat menggali ilmu sebanyak-banyaknya. Sebab negeri kita membutuhkan kalian semua,” pungkasnya, diiiringi pekikan takbir dari seluruh mahasiswa.*/Kiriman Nurul Muhammad, Mahasiswi Universitas Al-Azhar Mesir