Hidayatullah.com—Bertempat di aula Gedung Rabithah Alawiyah, Jakarta Hari Sabtu, 17 Januari 2015, mahasiswa Ma’had ‘Aly Hujjatul Islam (MAHI), Depok mendapat bekal materi Islamic Worldview (Pandangan Hidup Islam) bertema “Peran Madrasah Ahlus Sunnah dalam Kebangkitan Peradaban Islam.”
Acara yang dikemas dalam bentuk Studium Generale menghadirkan dua pembicara, Syeikh Muhammad Shadi Musthafa Arbash (ulama muda asal Suriah yang mengajar di STAI Imam Syafi’i, Cipanas) dan Alwi Alatas (Sejarawan Muslim, penulis Shalahuddin Al-Ayyubi dan Perang Salib III).
Di hadapan mahasiswa yang juga santri, Syeikh Shadi menceritakan sosok Imam al-Ghazali sebagai lautan ilmu.
“Imam al-Ghazali adalah sosok ulama yang berjasa besar dalam membangkitkan peradaban Islam. Bersama para ulama di masa itu al-Ghazali membangun pondasi kebangkitan umat Islam dengan menghidupkan tradisi ilmu. Melalui karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulumuddin al-Ghazali berjuang untuk memperbaiki kondisi umat Islam yang ketika itu sedang menghadapi masalah yang berat.
Secara internal terjadi perselisihan yang sangat tajam di antara ulama Ahlus Sunnah. Tantangan lainnya datang dari sekte-sekte menyimpang seperti Mu’tazilah, Bathiniyyah dan juga musyabbihah,” ujarpria yang pernah menimba ilmu secara khusus kepada Syeikh Muhammad Ramadhan al-Buthy ini.
Sementara itu, mudir MAHI, Muhammad Ardianyah dalam sambutannya menyatakan para mahasiswa yang juga santri harus mengenal sosok Al Ghazali yang namanya diabadikan pesantren ini.
“Mahasantri ma’had harus mengenal sosok Hujjatul Islam, yang nama besarnya kita gunakan untuk nama ma’had ini, lalu mempelajari langkah-langkahnya dalam membangkitkan peradaban Islam,” ujarnya.
Sesi berikutnya, Alwi Alatas menyampaikan bahwa di antara tujuan dibentuknya Madrasah Nizamiyah adalah untuk melahirkan kalangan terdidik (ulama) yang dapat mengisi pos-pos di pemerintahan, sehingga pos-pos yang sebelumnya diisi orang-orang dengan bermacam akidah dan pemikiran menjadi lebih seragam dan diisi oleh kalangan Ahlus Sunnah.
“Jadi dalam proses kebangkitan peradaban Islam pada masa itu, madrasah menjadi ujung tombak kaderisasi ulama serta perbaikan masyarakat (ishlah),” tegas pria yang telah melahirkan banyak buku-buku sejarah peradaban Islam.
Sebagai penutup ia mengingatkan semua yang hadir.
“Usaha al-Ghazali dan para ulama sesudahnya bukan sekedar untuk dibahas begitu saja. Tapi bagaimana lembaga pendidikan tinggi Islam seperti Ma’had ‘Aly Hujjatul Islam bisa mengaplikasikan konsep yang telah dibangun itu. Kemudian menurunkannya untuk tingkat dasar dan menengah.”
Para mahasiwa MAHI mengaku senang bisa mengikuti acara ini.
Nadi, aktivis muda kampus dan guru di sekolah Islam mengatakan
“Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa mengikuti studium generale MAHI. Materi yang disampaikan kedua pembicara yang sangat luas pemahamannya memberikan semangat baru kepada saya untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu demi menegakkan agama. mudah-mudahan bisa muncul generasi yang mengawali kebangkitan peradaban Islam dari Ma’had ini.”
Sementara Khairunnisa mengatakan kehadiran sosok ulama seperti Syeikh Shadi dan Alwi Alatas adalah hadiah dari dewan asatidz (pengajar) untuk mahasantri yang membakar semangat kami dalam agar istiqamah dalam menuntut ilmu.”
Acara ditutup dengan pemberian kenang-kenangan dari MAHI kepada para pembicara.
Kemudian Syeikh Shadi membalas pemberian MAHI dengan memberikan kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali setebal 10 jilid yang telah ditahqiq oleh ulama-ulama Suriah.*/Ian (Jakarta)