SIANG yang menyengat di bilangan Sungai Fatimah, Kampung Tidung, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Seorang pria paruh baya baru selesai menyampaikan khutbah Jumat. Sekaligus ia diminta memimpin shalat Jumat yang berlangsung khusyuk itu.
Usai shalat, belum sepenuhnya membalikkan badan mengadap jamaah, tiba-tiba ia dilabrak salah seorang jamaah.
“Kamu dari mana. Masuk di sini ijin sama siapa?” kata pria yang ternyata adalah kepala adat setempat. Dilabrak mendadak begitu, Muhammad Khirson Sulaiman, nama imam itu, kaget luar biasa. Dia sempat ketakutan. Apalagi ada jamaah lain yang sempat beringsut. Namun, ia tetap berusaha tenang.
Ini kampung orang, pikir Khirson. ”Saya harus bisa menjaga diri. Jangan sampai saya meresahkan dan membuat keributan di sini,” batinnya. Khirson tetap melanjutkan dzikirnya sembari mengendalikan rasa takut yang mencuat.
“Saya ini sudah dari Tanah Suci (naik haji), tapi khutbah (Anda) kok banyak betul geraknya,” lanjut Kepala Adat. Marahnya belum mereda. Khirson hanya termangu, tidak merespon balik. Dia hanya menyimak secara seksama gerutuan itu.
Orang yang dituakan di kampung tersebut memprotes Khirson yang ketika itu melakukan duduk antara dua khutbah. Padahal di daerah ini, rukun salah satu khutbah Jumat itu tidak dikenal karena keawaman mereka. Khirson tidak gegabah dan serta merta membentak balik pernyataan sang kepala adat. Ia juga tidak memberi penjelasan dengan dalil-dalil. Ia hanya berusaha tetap tenang.
Belakangan Khirson baru mengetahui, kepada adat itu tidak senang jika yang masuk mengisi di masjidnya bukan orang Tidung sendiri. Namun, setelah diberikan penjelasan, sang kepala bisa paham. Apalagi, salah satu kerabat dekat Khirson ternyata memiliki hubungan keluarga dengan dia, semakin mudahlah Khirson ”menjinakkan” kepala adat itu.
Itulah yang dialami Khirson ketika kali pertama berdakwah di Kota Nunukan. Pria kelahiran Solor, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) 36 tahun yang lalu ini benar-benar terjun bebas. Tak ada bekal pemahaman yang memadai tentang karakter masyarakat Tidung.
Pertolongan Allah Sangat Dekat
Bagi Khirson, di mana saja berada, jika untuk Islam ia tidak keberatan. Masalah tentu selalu ada, di manapun posisi. Namun ia menganggap masalah itu sebagai hiburan dan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Keyakinan inilah yang selalu menancap dalam sanubari pria humoris ini.
Pernah kali waktu, di pesantrennya (Pesantren Hidayatulah Nunukan) terjadi problem yang cukup berat. Saat itu, natura (istilah gaji untuk warga pesantren) belum bisa dibagikan. Duit betul-betul kering. Persediaan di gudang untuk stok makanan para santri sudah mengkhawatirkan. Kondisi macam itu sebenarnya kerap kali dialami pesantrennya. Tapi kali ini kondisinya sudah terbilang akut.
Syukurnya, warga pesantren tidak pernah ada yang protes. Dalam keadaan seperti itu, biasanya justru intensitas ibadah dan wirid di masjid semakin semarak.
Pada akhirnya suatu sore yang cerah, ada orangtua datang ke pesantren mengendarai mobil mewah. Dia turun dengan membawa tas kresek merah. Khirson dan pengasuh yang lain tak ada yang mengenalnya. Tiba-tiba pria tak dikenal tersebut menyerahkan tas kreseknya tanpa banyak bicara. Laki-laki itu kemudian berlalu. Setelah diperiksa, isinya duit Rp 10 juta!.
”Kami terharu. Itu pertolongan Allah. Hari itu juga langsung dibagi dan dibelikan bahan makanan santri,” kisah suami dari Juhariyah Bal’an ini.
Kini, Hidayatullah Nunukan di bawah kepemimpinan Khirson makin berkembang. Antara lain, sudah ada SMP putra dan putri. Mereka juga mendapat amanah dari Kedubes Indonesia di Malaysia, untuk membina ribuah TKI yang ada di Ladang Sagaria Sempurna, Sabah, Malaysia. “Hampir setiap pekan ada tenaga yang kita kirim ke sana,” kata Khirson.
Jalan Dakwah, Jalan Bahagia
Ayah dari lima anak ini mengaku, merasakan kebahagiaan tak terkira berada di jalan dakwah. Dia selalu menikmati saat berpindah-pindah tugas, berpindah-pindah posisi, dan berpindah-pindah jabatan yang merupakan tradisi di Pondok Pesantren Hidayatullah. Terkadang jadi pengasuh santri di asrama, guru di kelas, memimpin kerja bakti, bahkan memimpin pesantren.
Jika semua dihadapi dengan tawakkal dan keyakinan terhadap keterlibatan Allah, kata Khirson, semua menjadi mudah dan membesarkan jiwa. Dia mengakui, kebutuhan secara materi memang kadang tak bisa terpenuhi, tapi ini bukanlah kendala.
”Hanya ridha Allah yang kita harapkan. Di mana pun ditugaskan, jika itu komando dakwah, saya siap. Insya Allah,” katanya.
Khirson dibesarkan di lingkungan yang sarat dengan nilai-nilai agama. Ayahnya, Sulaiman, seorang guru ngaji dan orang yang dituakan di kampungnya. Kepada ayahnya, Khirson banyak menimba ilmu agama Islam. Sedangkan ibundanya, Habibah, juga guru ngaji dan pendidik yang ulet.*/Ainuddin Chalik, Kisah ini telah dimuat juga di Majalah Hidayatullah
Rubrik ini atas kerjasama hidayatullah.com dengan Persaudaraan Dai Nusantara (Pos Dai), bantu dakwah para dai melalui Rekening Bank: Bank BSM: 733-30-3330-7 atau BNI 9254-5369-72 a/n Yayasan Hidayatullah. Informasi berbagai program dakwah dapat di klik di www.posdai.com