Hidayatullah.com–“Kami baru melantik beberapa anggota baru dalam sidang redaksi al-Jazeera, termasuk mencari jalan terbaik menjualnya,” kata seorang pegawai Qatar yang meminta identitasnya dirahasiakan.
“Kami memang pusing bukan saja disebabkan tekanan Amerika tetapi juga pening terhadap pengiklan negara lain,” katanya beralasan kepada koran New York Times (NYT) kemarin malam. Rencana penjualan stasiun TV tersebut banyak diduga akan membawa kepada perubahan cara pemberitaan TV yang populer sejak serangan AS ke Iraq tahun 2003 itu.
Para pejabat AS seperti Wakil Presiden, Dick Cheney, Donald H Rumsfeld, Condoleezza Rice dan Colin L Powell pernah menyuarakan kemarahan terhadap pemberitaan al-Jazeera khususnya mengenai Iraq kepada pemimpin Qatar.
Memetik seorang pejabat Amerika, NYT mengatakan, al-Jazeera bukan saja tidak disukai pemerintahan AS tetapi juga dianggap mencetuskan kemarahan warga Arab Saudi, Iran, Mesir dan negara lain. “Tentu apa yang mereka lakukan ada betulnya,” kata pejabat itu dikutip NYT.
NYT memetik pejabat di Washington yang mengakui bahwa mereka keberatan mengulas mengenai al-Jazeera karena tidak ingin dituduh mencoba menghambat kebebasan bersuara.
Salah seorang awak pemberitaan al-Jazeera, Ahmed Sheikh, mengatakan, “Kami faham mengapa Amerika tidak suka dengan berita kami.
“Tetapi, jika ada siapapun yang ingin menjadikan kami menjadi jurubicara mereka, kami tidak akan melakukannya.
“Kami pihak yang bebas dan tidak memihak serta tidak pernah ditekan pemerintahan Qatar supaya mengubah pemberitaan.”
Tekanan pada pihak al-Jazeera itu begitu kuat, ujar pejabat senior Qatar. Karenanya, pihak pemerintah Qatar berusaha secepat mungkin untuk menjual stasiun TV itu ke pasar. Pejabat Qatar mengatakan bisa menjual stasiun kebanggaan orang Arab itu akhir tahun ini.
Menurut emir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al Thani anggaran al-Jazeera akhir tahun lalu mencapai 120 juta dolar, termasuk subsidi 50 juta USD dari pemerintah Qatar.
Propaganda
Amerika telah mengincar televisi yang memulai siaran tahun 1996 itu sejak lama. Terutama semenjak berbagai liputannya di Iraq tahun 2003. Kebencian AS semakin meningkat setelah media tersebut menyiarkan liputan langsung mengenai korban-korban sipil pemboman gencar AS di kota Fallujah pada bulan April.
Jurubicara militer AS, Mark Kimmitt, pernah melakukan propaganda dengan menyerukan agar mengalihkan siaran al-Jazeera pada saluran media lain.
Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld bahkan lebih jauh lagi. “Saya dapat mengatakan dengan tegas bahwa apa yang dilakukan Al Jazeera adalah jahat, tidak tepat, dan tidak dapat dimaafkan.”
“Namun anda tahu apa yang dilakukan pasukan kita,” tambahnya, “mereka tidak keliling dan membunuhi ratusan orang sipil. Hal tersebut omong kosong! Apa yang dilakukan stasiun TV tersebut amat memalukan.”
Propaganda dan kebencian AS terhadap al-Jazeera bukan hal baru. Dalam beberapa peristiwa, para koresponden al-Jazeera sering dilarang memasuki kantor-kantor pemerintah atau konferensi pers di Iraq.
Sejak peristiwa penjajahan AS ke Iraq, penonton al-Jazeera diperkirakan mencapai 30 hingga 50 juta orang, jauh meninggalkan penonton dari stasiun televisi lain. Seorang politikus Arab mengatakan, peristiwa ini melengkapi wajah ganda pemerintahan Amerika juga suka memberangus kebebasan. (NYT/bh/ips/cha)