Hidayatullah.com–Di negara pecahan Somali masih terlihat bekas-bekas perang dan selama perang saudara, perempuan yang banyak berperan dalam masyarakat Muslim Somali yang didominasi pria ini. Meningkatnya peran wanita itu bisa dirasakan langsung di ibukota Hargeisa.
Di salah satu pusat perbelanjaan di Hargeisa, seorang ibu menegaskan bahwa toko yang dia jaga adalah miliknya. "Saya punya toko ini dan sayalah yang memberi nafkah pada keluarga, jadi kalau suami saya atau salah seorang dari kami tidak bekerja, maka yang lainnya harus mendukung keluarga," katanya.
Dua puluh tahun lalu, amat sulit menemukan perempuan di dalam masyarakat Islam Somalia yang didominasi kaum pria.
Perempuan, antara lain, tidak ikut dalam pengambilan keputusan, seperti dijelaskan Suad Ibrahim, seorang peneliti di Akademi Perdamaian Somaliland.
"Selalu laki-laki yang mengambil keputusan. Tradisinya adalah perempuan diminta pendapatnya namun di belakang layar," tambah Suad.
Makin meningkat
Jika keluarga punya enam atau lima anak, maka ayah atau ibu akan lebih cenderung memilih anak laki-laki yang ke sekolah
Perempuan juga di-nomorduakan dalam pendidikan, apalagi jika satu keluarga besar harus memilih untuk menyekolahkan anak laki-laki atau perempuan.
Menurut Amiran Ali, seorang pegiat dari Komite Perempuan Somaliland, anak laki-laki selalu diproritaskan.
"Jika keluarga punya enam anak atau lima anak, maka ayah atau ibu akan lebih cenderung memilih anak laki-laki yang ke sekolah."
Walaupun tanpa pendidikan, dan kesempatan yang lebih kecil dalam keputusan, semakin banyak saja kaum wanita yang menjadi pemberi nafkah utama keluarga.
Di masa paska perang Somaliland, kata Worris Husseini, seorang dosen ekonomi di Universitas Hargeisa, tidak ada masalah kalau perempuan yang menjadi sumber nafkah utama.
"Dalam kenyataannya itu masalah yang mudah. Bukan seperti yang dipikirkan orang tentang negara Muslim, yang membuat perempuan lebih rendah. Itu tidak benar, dan cuma media saja yang melaporkan seperti itu."
Belum sepenuhnya
Masyarakat Somali, di Somalia dan Somaliland, kebanyakan didominasi pria. Di Universitas Hargeisa, kini mahasiswa perempuan bisa ditemukan dimana-mana, padahal 20 tahun lalu hanya segelintir saja.
Seorang mahasiswa perempuan mengatakan bahwa kini mereka bukan hanya mendapat pelajaran yang sama, tapi juga berpeluang untuk mengejar karir yang sama.
Dan peran perempuan yang semakin besar ini membuat masyarakat Somaliland mau tidak mau harus menerima kenyataan, kata Abdullahi Sheikh Hassan, salah seorang anggota Dewan Sesepuh Adat yang berpengaruh.
"Masyarakat kami mulai menyadari bawha selama perang yang berkepanjangan, perempuan yang menjadi kekuatan masyarakat," tuturnya.
"Merekalah yang memberi makanan, merekalah yang bersama anak-anak dan mereka jugalah yang membantu dan bekerja di rumah sakit mengobati yang terluka. Mereka menjadi bagian utama dari masyarakat," tambah Sheikh Hassan.
Memang bidang politik tampaknya masih belum sepenuhnya tersentuh reformasi persamaan hak, namun itu soal waktu saja.
Bahkan saat ini perempuan sudah mendapat kesempatan untuk ikut mencalonkan diri dalam pemilihan umum.
Masyarakat kami mulai menyadari bawha selama perang yang berkepanjangan, perempuan yang menjadi kekuatan masyarakat
Namun tantangan masih tetap ada, kata Abdi Attlee dari Akademi Perdamaian Somaliland. "Ada tantangan dan bagi pria yang mndominasi posisi ini, ada seruan agar sistemnya jangan memberikan kesempatan kepada perempuan, posisi-posisi yang diorganisir oleh pria," kata Abdi Atlee.
Akhir tahun ini, pemilihan parlemen akan digelar dan perempuan dibolehkan untuk ikut serta. Tapi kaum perempuan Somaliand sudah melihat lebih jauh lagi, yaitu mengirim perwakilan ke Dewan Sesepuh Adat Somaliland.
Tentu perjalanan masih jauh, tapi di abad 21, perempuan Somaliland semakin menegaskan peran mereka yang tidak bisa dibatasi lagi. (bbc)