Hidayatullah.com–Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo dalam pidato nasionalnya menyebut nama Mylene Amerol-Macumbal, peraih peringkat kedua ujian nasional pengacara. Mengenakan busana Muslimah dengan kerudung yang anggun, Mylene Macumbal berdiri di hadapan Kongres untuk menyambut senyum dari presiden.
Ia adalah seorang ibu dan istri, dan ia menjadi wanita Muslim pertama yang meraih peringkat teratas dalam ujian menjadi pengacara. Di sela-sela jadwalnya yang padat sebagai seorang istri, ibu dan, mahasiswa, ia berhasil meraih nilai ujian pengacara yang hanya selisih 0,5 dari peringkat pertama.
Dalam wawancara dengan MindaNews, Macumal mengatakan, ia berhutang atas kesuksesannya kepada sang suami, Judge Arassad Macumbal dari Iligan City, yang juga punya prestasi akademis. Judge Macumbal adalah peraih peringkat ke-9 ujian lisensi nasional untuk para insinyur di tahun 1993. Mereka memiliki seorang putra berusia 5 tahun bernama Rocky.
“Saya bukan orang Maranao pertama yang bisa meraih peringkat teratas di ujian pengacara ini. Cjamal Boloto, lulusan sebuah sekolah hukum di Manila, berhasil masuk 10 besar di tahun 1960-an. Tapi memang saya wanita Maranao pertama yang menempati peringkat kedua pada ujian itu. Membutuhkan waktu hampir 5 dekade untuk menempatkan lagi orang Maranao dalam daftar peringkat teratas. Saya senang bisa menempatkan Mindanao State University, Mindanao, masyarakat Maranao, dan orang Moro dalam pandangan yang positif. Saya akan dengan tulus melayani mereka, karena adalah kewajiban saya untuk menolong mereka,” katanya.
Berencana untuk menjadi pengacara di pengadilan, wanita peraih peringkat tinggi ini mengatakan bahwa masalah perdamaian dan hukum di Mindanao mempunyai sejarah yang dalam.
“Masalahnya sangat rumit. Orang harus melihat sejarah kami ke belakang untuk bisa mengetahui kenapa kami mempunyai masalah bangsa Moro. Masalah itu mungkin masalah politik. Tapi, seharusnya tidak dilihat semata dari kacamata politik. Pemerintah juga seharusnya serius melihat masalah sosial dan ekonomi kami. Semua pihak harus saling percaya, memegang teguh perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang ada.”
Menekankan bahwa tidak adanya kesungguhan untuk mencari pemecahan masalah, ia menjelaskan bahwa banyak persangkaan yang salah terhadap Muslim Filipina, sehingga diperlukan untuk melihat kembali sejarah mereka. [di/sg/hidayatullah.com]