Hidayatullah.com–Sebuahperaturan hukum berusia hampir satu abad yang didukung oleh Ku Klux Klan, yaitumenjauhkan umat Katolik dari sekolah-sekolah umum, masih tercantum dalamUndang-undang di Oregon, salah satu negara bagian yang masih melarang gurumengenakan pakaian keagamaan di dalam kelas.
Peraturan ituasal mulanya ditujukan untuk para pendeta dan biarawati yang kerap mengenakanpakaian keagamaan mereka. Seorang guru yang baru menganut agama Shikh pernahmencoba mendobrak peraturan itu di tahun 1980. Ia ingin mengenakan turban saatmengajar.
Negara bagianPennsylvania dan Nebraska memberlakukan peraturan yangsama.
Tahun 1991seorang guru Muslim di Pennsylvania menuntut agar diperbolehkan mengenakankerudung di kelas, namun tidak berhasil.
Sejauh ini,kasus seperti di atas tidak menimbulkan masalah hukum yang serius di Nebraska.
Kenyataan bahwaperaturan itu masih ada, mengejutkan sebagian besar penduduk Oregon. SebabGubernur Ted Kulongoski telah menandatangani Undang-Undang Kebebasan Beragamadi Tempat Kerja pada bulan Juli, yang memperbolehkan para pekerja mengenakanpakaian keagamaannya saat bekerja.
Undang-undangyang baru itu tidak mengubah larangan bagi guru yang telah berlaku sejak tahun1920-an, setelah ketentuan menyangkut hal tersebut ditentang oleh AmericanCivil Liberties Union dengan alasan anak-anak yang masih mudah dipengaruhi tidak boleh diindoktrinasioleh guru mereka.
Masihdiberlakukannya peraturan itu juga mengejutkan Mona Elgindy, seorang mahasiswahukum di Universitas Loyola Chicago yang menulis karya ilmiah terkait isutersebut. Ia adalah mantan guru yang beragama Islam.
“Saya terusmeneiti dan meneliti, saya berpikir pasti akan menemukan sesuatu yang menggantiatau mencabut peraturan itu. Tapi ternyata tidak ada,” kata Elgindy.
Dalam papernyayang merupakan satu dari sedikit tulisan ilmiah yang membahas pakaiankeagamaan, Elgindy menulis bahwa ia tidak berhasil menemukan bukti bahwaperaturan seperti itu pernah diajukan oleh para murid. Sebaliknya, sejarahdalam dunia hukum itu justru diukir oleh guru yang berusaha mempertahankanpekerjaan mereka, setelah ditegur pengurus sekolah terkait masalah itu.
Putusanpengadilan federal di Oregon dan Pennsylvania menolak tuntutan para guru denganalasan bertentangan dengan Amandemen Pertama. Guru bebas menjalankan agamanyatapi sekolah tidak diperbolehkan mendukung agama apapun.
Michael Kaufman,dosen Elgindy yang juga pakar pendidikan, mengatakan bahwa peraturan yangmelarang pakaian keagamaan biasanya diterapkan secara umum. Namun, telahterjadi perubahan bertahap, kebebasan beragama para guru dilindungi, sepanjangtidak mengganggu keadaan kelas.
“Sekarangini terjadi perubahan yang hampir menyeluruh,” kata Kaufman.”Sekarang hukum harus netral terhadap agama, artinya negara bagian atausekolah tidak bisa bersikap suka atau tidak suka terhadap agama.”
Beberapalarangan yang masih ada sekarang ini, “perlu dikaji lagi secarahukum,” kata Kaufman.
Selama delapantahun menjadi guru di Chicago, Elgindy mengatakan ia tidak pernah bermasalahdengan cara berpakaian dan kerudungnya.
Ia mengatakanhal itu tidak pernah menyulitkannya, bahkan ia mendapat semacam dukunganpositif. Rekan-rekannya berkata, “Inilah seseorang yang berasal dari latarbelakang yang berbeda dan menambah semarak keberagaman di kalangan staf.”
Salah satucontoh perubahan sikap hukum terhadap agama adalah ketika pengadilan bandingpada tahun 1999 memutuskan bahwa anggota polisi yang beragama Islam di Newark,New Jersey, harus diperbolehkan memelihara jenggot.
Tom Hutton,pengacara senior untuk National School Boards Association, mengatakan tidaktahu apakah masih ada kasus yang belum selesai terkait larangan itu.Menurutnya, masalah itu terserah masing-masing individu, dan jika mempermasalahkannya maka dibutuhkanenergi yang banyak.
Juru bicaraDewan negara bagian Oregon, Dave Hunt, ingin memasukkan profesi guru dalamUndang-Undang Kebebasan Beragama di Tempat Kerja. Tapi ditentang oleh ACLU yanglebih mementingkan pembahasan masalah krisis dan tingginya tingkatpengangguran.
Dave Findaque,direktur eksekutif ACLU wilayah Oregon, mengatakan bahwa peraturan itu menjaminnetralitas agama di sekolah-sekolah umum, dan itu bukanlah masalah yang mudah.
MenurutFindaque, selama ini sekolah menjadi semacam ajang tempur dari agama tertentuuntuk membuktikan sebagai yang terbaik, diakui, dan menjaring pengikut baru.
Dan pertarungansemacam itu tidak banyak berubah sejak abad ke-19, ketika warga Pennsylvaniamenyetujui larangan bagi biarawati mengenakan pakaian keagamaannya di sekolahpada tahun 1895. Demikian kata Stuart Knade, pengacara untuk PennsylvaniaSchool Boards Association.
Upaya memastikanbahwa agama netral di sekolah justru berasal dari wali murid yang keercayaanagamanya kuat. “Jadi ada semacam ironi yang menarik,” kata Knade.
Rajdeep SinghJolly, direktur hukum Sikh American Legal Defense and Education Fund, danIbrahim Hooper, jurubicara Council on American-Islamic Relations, mengatakanbahwa larangan itu tidak konstitusional dan diskriminatif, karena menyangkutkaum minoritas.
Kelompok Shikhtelah meminta agar Departemen Kehakiman Amerika mengkaji apakah peraturan diOregon itu melanggar Bab VII dari Undang-Undang Hak Sipil Federal. Dan merekasudah menerima jawaban, bahwa departemen itu akan mempertimbangkannya.
Jolly dan Hoopersepakat jika para guru tidak boleh membicarakan dan mengajak muridnya untukmengikuti agama mereka, tapi jangan dilarang berpakaian sesuai tuntunanagamanya.[di/ap/hidayatullah.com]