Hidayatullah.com—Beginilah jika politisi di Belanda banyak terpengaruh media. Mendengar nama Islam saja mereka sudah merinding. Apalagi mendengar undang-undang syariah. Yang ada di kepala mereka adalah hukum rajam, potong tangan, atau hukum cambuk.
Kepanikan politisi Belanda ini muncul karena ada isu hukum Islam sudah diterapkan di banyak mesjid di Belanda. Meski baru desas-desus, tak urung Menteri Kehakiman, Hirsch Ballin, langsung memerintahkan untuk meneliti lebih jauh.
“Kita tidak menerima adanya pemaksaan. Tidak bisa orang memaksa seorang perempuan untuk menerima sesuatu, dengan alasan itulah aturan Islam. Dan karena itu, kaum wanita tidak bisa tidak, harus menerimanya. Hal ini tidak sesuai dengan sisten hukum kita. Jadi, tidak boleh terjadi,” ujar Hirsch Ballin dikutip Radio Nedherlands.
Umumnya mayoritas anggota perlemen di Tweede Kamer akan langsung sewot jika mendengar soal syariah. Yang ada dalam pikiran mereka adalah poligami dan wanita wajib melayani kebutuhan seksual suami setiap saat.
Dalam sebuah debat mengenai hukum Islam, banyak sekali contoh bentuk ketakutan politisi Belanda. Anggota parlemen dari Partai Sosialis, Sadet Karabulut pernah mengatakan, hukum Islam tak cocok dengan budaya Belanda.
“Ini kembali ke abad pertengahan. Mendiskriminasi perempuan. Derajat mereka lebih rendah dari warga non-Muslim. Hal itu sama sekali tidak cocok, dengan nilai-nilai dasar hukum negara kita. Hal-hal seperti itu, harus kita tentang dengan tegas,” ujar Sadet Karabulut.
Pengadilan Yahudi
Meski Belanda adalah negara sekuler, khususnya untuk Islam mereka tak menerima sepenuh hati. Rasa ambigu ini terlihat jelas dari pernyataan Maurits Berger, guru besar Islam pada Universitas Leiden. Berger sangat menentang beberapa hal prinsip syariah, namun dia juga masih menerima beberapa prinsip lain. Ia, misalnya tak menerima hukum rajam, tapi menerima hukum perkawinan.
“Misalnya hukum perkawinan, orang boleh saja secara sukarela mengikuti aturan agama, yang kadang membedakan hak wanita dan pria. Hal ini juga berlaku di kalangan Yahudi dan Kristen orthodoks. Saya harap pemerintah tidak ikut mengatur bagaimana cara orang hidup,” ujar Berger.
Menurut Maurits Berger, sulit untuk menolak penerapan hukum Islam bagi kaum Muslimin. Menurutnya, ini karena di Belanda, sudah berabad-abad juga berlaku pengadilan Yahudi dan Katolik. Pendeta dan Rabi sering juga mengeluarkan putusan bertentangan dengan sistem hukum Belanda.
“Menurut hukum Belanda, bisa saja status seseorang tercatat telah bercerai. Tapi menurut hukum gereja masih menikah. Menurut gereja Katolik, orang tidak bisa bercerai. Dan wanita Yahudi orthodoks, dalam segala urusan, harus mendapat izin suami. Negara tidak mengakui semua ikatan pernikahan agama tersebut. Tapi, juga tidak melarang. Karena itu, mendiang seniman Belanda, Anton Heyboer, bisa hidup bersama empat wanita sekaligus,” tambah Maurits Berger.
Pesan keliru
Namun apapun itu, menurut mayoritas politisi di parlemen Belanda, pembentukan pengadilan Islam, hanya memberi pesan keliru. Partai kanan, PVV, bahkan menuntut Menteri Kehakiman menindak tegas masjid-masjid dan imam yang melaksanakan pengadilan syariah.
“Kaum muslimin yang tinggal di Belanda, dan menganggap hukum Islam lebih penting ketimbang hukum Belanda, tidak pantas menetap di sini. Kabinet harus menutup masjid-masjid yang melakukan hal ini. Imam yang melakukan hal ini, dan punya dua kewarga-negaraan, harus diusir,” ujar salah satu anggota PVV.
Tapi, menurut Menteri Hirsch Ballin, hal ini masalah pelik. Sejauh ini, adanya pengadilan syariah hanya atas dasar desas-desus. Pihak kejaksaan tidak akan ragu-ragu untuk bertindak. Departemen Kehakiman juga akan melakukan penelitian mengenai adanya pengadilan syariah di Belanda. Penelitian ini harus selesai dalam beberapa bulan mendatang.
Inilah untungnya Belanda sudah ditendang dari Indonesia. Kalau tidak begitu, kemungkinan juga bisa mengganggu praktik keberagamaan Islam di Indonesia. [rnwl/cha/hidayatullah.com]