Hidayatullah.com–Jaksa penuntut umum Mesir telah meminta pembekuan segala aset yang dimilikinya mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak di luar negeri, serta rekening yang dimilikinya, berikut rekening istrinya Suzanne, dan kedua putranya, Gamal dan Aala, bersama dengan istri mereka.
Meguid Abdel Mahmoud membuat permintaan pada hari Ahad (20/2) sebagai sinyal pertama bahwa rekening presiden terguling akan dicekal oleh para penguasa yang memimpin saat ini sejak 11 Februari.
Laporan media memperkirakan, total kekayaan mantan presiden itu mencapai miliaran dolar. Pengunjuk rasa anti-Mubarak menuduh mantan presiden itu memboroskan kekayaan bangsa negeri Arab yang paling padat penduduknya itu, namun para pembantu bersikeras Mubarak tidak berbuat kesalahan.
JPU juga mengajukan tuntutan pertama melawan kelompok pejabat tinggi yang saat ini berada dalam penahanan dan sedang dilakukan penyelidikan untuk kesalahan-kesalahannya saat bekerja dalam pemerintahan Mubarak.
Habib el-Adly, mantan Menteri Dalam Negeri, dan Zuhair el-Gharana, yang menjabat sebagai Menteri Pariwisata, telah didakwa dalam kasus pencucian uang dan penyalahgunaan kekuasaan untuk mereguk keuntungan finansial.
Lanjutkan Transisi
Dalam perkembangan lain, David Cameron, Perdana Menteri Inggris, tiba di Mesir hari Senin (21/2) untuk mendesak sebuah “kelanjutan transisi” untuk demokrasi, dan mengadakan pembicaraan dengan Hussein Tantawi, penguasa militer yang memimpin negara secara de fakto, dan Ahmed Shafiq, Perdana Menteri.
Cameron adalah pemimpin dunia pertama yang mengunjungi Mesir sejak Mubarak mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 11 Februari.
“Ini adalah kesempatan besar bagi kami untuk berkunjung dan berbicara dengan mereka yang sedang menjalankan transisi di Mesir, untuk memastikan benar-benar kelanjutan transisi dari kekuasaan militer ke kekuasaan sipil, dan mengetahui apa yang dapat dilakukan dari para negara sahabat seperti Inggris dan lainnya di Eropa untuk membantu Mesir,” Cameron mengatakan.
Namun, pejabat Inggris mengatakan, pemimpin mereka tidak akan berbicara dengan Ikhwanul Muslimin, kelompok politik terbesar di Mesir yang ingin demokrasi berdasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Para pejabat mengatakan, akan lebih baik bagi Cameron untuk bertemu kelompok-kelompok oposisi lainnya guna menggarisbawahi bahwa kelompok-kelompok Islam bukan satu-satunya alternatif pengganti Mubarak.
“Yang begitu menyegarkan bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah revolusi Islam,” kata Cameron.
“Mereka yang di jalanan bukanlah ekstremis, melainkan orang-orang yang ingin memiliki basis kebebasan. yang hal itu di Inggris sangat dijamin.”
Cameron juga diharapkan mendesak penguasa interim Mesir untuk mengakhiri keadaan darurat yang dilaksanakan Mubarak, setelah pembunuhan Anwar Sadat, pendahulunya, pada tahun 1981, dan mendiskusikan hubungan perdagangan dengan negara itu.
Kunjungannya itu muncul di tengah sedang berlangsungnya demonstrasi di dunia pan-Arab, sebagaimana terjadi di Libya, Bahrain, Yaman dan Aljazair.*
Keterangan foto: Pada saat demonstrasi besar-besaran di Mesir, 300 orang telah tewas dan 5500 orang lainnya mengalami luka-luka.