Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan tiga alasan kemungkinan Presiden Muammar Qadhafi tak mudah runtuh oleh tekanan. Di bawah ini lanjutan dari tulisan pertama.
***
Keempat, Suku-suku di Libya bisa berperan penting
Libya, seperti Yaman dan Iraq, merupakan satu negara di mana asal suku menjadi penentu kesetiaan, tetapi dalam beberapa tahun terakhir perbedaan suku menjadi kabur dan kesukuan tidak lagi penting seperti pada tahun 1969.
Kolonel Qadhafi sendiri berasal dari suku Qadhaththa. Selama 41 tahun berkuasa dia menunjuk anggota suku itu menduduki jabatan penting di rejimnya seperti pada badan yang bertanggungjawab atas keamanan dirinya.
Seperti Saddam Hussein di Iraq dan Presiden Ali Abdullah Shaleh di Yaman, Kolonel Qadhafi ditengarai suka ‘mengadu’ satu suku dengan suku lain dengan tujuan tidak ada pemimpin suku yang menjadi ancaman terhadap rejimnya.
Pengamat Libya kini berspekulasi apakah rejim Qadhafi akan bisa mewujudkan perkiraan mereka akan perang saudara dengan mempersenjatai suku-suku yang loyal kepada rejim dan mengatasi para pengunjuk rasa yang sudah menguasai bagian timur negara itu.
Kelima, Adu kuat Qadhafi dan Barat.
Kecil Muammar Qadhafi bisa runtuh dari dalam. Apalagi yang bergolak dan menginkan perobahan politik disebutnya sebagai daerah yang sejak lama menginginkan “kemerdekaan”. Ini bisa menjadi alasan Qadhafi mencari dukungan pada rakyatnya bahwa ia berhak “menghalau” para ‘pemberontak’ yang ingin melepaskan diri.
Qadhafi bisa saja runtuh seketika melalui campur tangan asing. Dan inilah yang memang sangat diharapkan Barat. Setidaknya ini didasarkan pada pernyataan mantan diplomat Libya dan penerjemah Khadafi, Abubaker Saad.
“Jika Anda pemimpin dan tidak menawarkan kompromi apa pun atau bahkan menerima ide untuk duduk dan berdialog, maka satu-satunya alternatif adalah menyingkirkannya. Dan pada dasarnya dia harus dibunuh untuk benar-benar mengakhiri seluruh situasi ini,” tegas Saad yang kini menjadi profesor sejarah dan budaya non-Barat di Western Connecticut State University, AS kepada Voice of Amerika.
Dengan pidatonya yang mengatakan akan “meninggal sebagai syuhada di tanah leluhurnya” dan berjuang “hingga titik darah penghabisan”, cukup menjadi sinyal pada dunia, bila kasus Qadhafi tak bisa disamakan dengan Tunisa atau Mesir. Kecuali ada takdir lain, sebagaimana AS memperlakukan Afghanistan dan Iraq dengan alasan “memburu“ Usamah bin Ladin.
Hanya saja, Obama harus berfikir 10 kali lipat untuk meniru pendahulunya, George W Bush yang telah dianggap memperburuh hubungan dengan dunia Islam.*/habis